Kemasan Polos Picu Peredaran Rokok Ilegal
A
A
A
JAKARTA - Hari tanpa tembakau sedunia bertema “Bersiaplah dengan Kemasan Polos tanpa Merek” yang diperingati 31 Mei 2016 lalu menyisakan cerita baru. Penelitian terbaru menunjukkan, kemasan polos (plain packaging) tanpa merek menjadi primadona baru sumber pendanaan kejahatan melalui penyebaran rokok ilegal.
Pemerintah Indonesia, berada di bawah tekanan yang luar biasa untuk mempertimbangkan kebijakan kemasan polos. Sebuah studi yang didukung Bea dan Cukai Indonesia menunjukkan, rokok ilegal di Indonesia terus meningkat secara konsisten, minimal 1% per tahun. Yakni, dari 6,8% pada 2010 menjadi 11,6% pada 2014. Hasil penelitian lainnya menyebutkan, persentase kerugian pemerintah sebesar USD300 juta-USD700 juta.
Konsultan keamanan yang pernah bekerja selama 26 tahun di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Thomas Lesnak memaparkan, Departemen Luar Negeri AS, Interpol, dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap rokok ilegal sebagai epidemi yang mendanai organisasi kriminal dan teroris internasional di seluruh dunia. Setiap tahun, lebih dari 400 miliar batang rokok dijual secara ilegal di seluruh dunia.
“Tidak ada komoditas lain yang mudah untuk diselundupkan. Cukup melintasi perbatasan dengan sedikit risiko demi keuntungan yang besar,” ujar Lesnak dalam studinya yang dipublikasikan, Rabu (8/6/2016).
Menurut Lesnak, pola pelanggaran hukum yang dilakukan organisasi penyelundup tembakau mengalami peningkatan di seluruh dunia. Pada Maret lalu, Kepolisian Kanada menggagalkan operasi penyelundupan rokok ilegal terbesar dalam sejarah Amerika Utara. Keuntungan dari hasil operasi penyelundupan itu rencananya akan digunakan untuk membeli kokain dan melakukan pencucian uang di Eropa.
“Baru-baru ini, pihak berwenang menyita tembakau dan senjata yang ditujukan untuk sejumlah kelompok teroris di Lybia,” kata Lesnak.
Australia adalah negara pertama yang menerapkan kebijakan kemasan polos tanpa merek, diikuti sejumlah negara lain. Terbaru adalah Irlandia yang mulai memberlakukan kebijakan rokok ilegal tersebut sejak Mei 2016.
Menurut Lesnak penerapan kebijakan “kemasan polos tanpa merek” terhadap semua produk tembakau yang dijual di Australia justru semakin memberikan kelonggaran bagi pelaku kriminalitas.
Di Australia, penggunaan semua merek dagang pada kemasan rokok dan produk tembakau yang dijual harus menggunakan kemasan rancangan pemerintah. Tujuannya untuk mengurangi konsumsi rokok. “Hasilnya sejauh ini, menguntungkan pelaku kriminal,” beber Lesnak.
KPMG, salah satu firma konsultan bisnis terbesar di dunia, mengeluarkan laporan komprehensif pada 2014 bahwa terjadi peningkatan produk tembakau ilegal di Australia hampir sebesar 25% hanya dalam dua tahun setelah kebijakan kemasan polos diberlakukan. Masalah ini menjadi semakin pelik, sehingga pemerintah Australia terpaksa membentuk tim khusus pengendalian produk tembakau ilegal.
“Ini menunjukkan bahwa pemerintah, tanpa disadari, membuat sebuah kejahatan yang sudah dipandang sebagai kejahatan sepele, menjadi semakin mudah dilakukan dan menguntungkan,” tandas Lesnak.
Pemerintah Indonesia, berada di bawah tekanan yang luar biasa untuk mempertimbangkan kebijakan kemasan polos. Sebuah studi yang didukung Bea dan Cukai Indonesia menunjukkan, rokok ilegal di Indonesia terus meningkat secara konsisten, minimal 1% per tahun. Yakni, dari 6,8% pada 2010 menjadi 11,6% pada 2014. Hasil penelitian lainnya menyebutkan, persentase kerugian pemerintah sebesar USD300 juta-USD700 juta.
Konsultan keamanan yang pernah bekerja selama 26 tahun di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Thomas Lesnak memaparkan, Departemen Luar Negeri AS, Interpol, dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap rokok ilegal sebagai epidemi yang mendanai organisasi kriminal dan teroris internasional di seluruh dunia. Setiap tahun, lebih dari 400 miliar batang rokok dijual secara ilegal di seluruh dunia.
“Tidak ada komoditas lain yang mudah untuk diselundupkan. Cukup melintasi perbatasan dengan sedikit risiko demi keuntungan yang besar,” ujar Lesnak dalam studinya yang dipublikasikan, Rabu (8/6/2016).
Menurut Lesnak, pola pelanggaran hukum yang dilakukan organisasi penyelundup tembakau mengalami peningkatan di seluruh dunia. Pada Maret lalu, Kepolisian Kanada menggagalkan operasi penyelundupan rokok ilegal terbesar dalam sejarah Amerika Utara. Keuntungan dari hasil operasi penyelundupan itu rencananya akan digunakan untuk membeli kokain dan melakukan pencucian uang di Eropa.
“Baru-baru ini, pihak berwenang menyita tembakau dan senjata yang ditujukan untuk sejumlah kelompok teroris di Lybia,” kata Lesnak.
Australia adalah negara pertama yang menerapkan kebijakan kemasan polos tanpa merek, diikuti sejumlah negara lain. Terbaru adalah Irlandia yang mulai memberlakukan kebijakan rokok ilegal tersebut sejak Mei 2016.
Menurut Lesnak penerapan kebijakan “kemasan polos tanpa merek” terhadap semua produk tembakau yang dijual di Australia justru semakin memberikan kelonggaran bagi pelaku kriminalitas.
Di Australia, penggunaan semua merek dagang pada kemasan rokok dan produk tembakau yang dijual harus menggunakan kemasan rancangan pemerintah. Tujuannya untuk mengurangi konsumsi rokok. “Hasilnya sejauh ini, menguntungkan pelaku kriminal,” beber Lesnak.
KPMG, salah satu firma konsultan bisnis terbesar di dunia, mengeluarkan laporan komprehensif pada 2014 bahwa terjadi peningkatan produk tembakau ilegal di Australia hampir sebesar 25% hanya dalam dua tahun setelah kebijakan kemasan polos diberlakukan. Masalah ini menjadi semakin pelik, sehingga pemerintah Australia terpaksa membentuk tim khusus pengendalian produk tembakau ilegal.
“Ini menunjukkan bahwa pemerintah, tanpa disadari, membuat sebuah kejahatan yang sudah dipandang sebagai kejahatan sepele, menjadi semakin mudah dilakukan dan menguntungkan,” tandas Lesnak.
(dmd)