Hingga Mei 2016, BI Amankan 1.372 Lembar Upal
A
A
A
YOGYAKARTA - Mendekati Hari Raya Idul Fitri, Bank Indonesia (BI) mengimbau masyarakat untuk mewaspadai beredarnya uang palsu alias upal. Dengan memanfaatkan berbagai kelemahan yang ada, pengedar upal bisa leluasa mengedarkannya. Mereka biasanya memanfaatkan pengetahuan minim dari warga.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta, Hilman Tisnawan mengatakan, sebenarnya di bulan Ramadhan dan mendekati Idul Fitri ini, potensi peningkatan peredaran uang palsu memang ada. Tetapi potensi tersebut masih kalah jauh dengan saat musim pemilihan umum (pemilu) ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Kalau Pilkada justru potensi naiknya cukup besar,” tuturnya, Kamis (9/6/2016).
Hilman mengatakan, biasanya para pengedar memang menggunakan tangan masyarakat untuk mengedarkan uang mereka. Menyasar ke kampung-kampung atau ke pasar tradisional, dimana pengetahuan masyarakat akan uang palsu masih minim. Modus yang mereka gunakan adalah dengan membeli produk di pasar tradisional.
Sampai pertengahan Juni dan memasuki bulan Ramadhan ini, Bank Indonesia menyatakan belum ada laporan peningkatan penemuan uang palsu. Dari temuan sebelumnya, biasanya laporan paling banyak diterima di bank-bank di luar Yogyakarta, seperti Kota Magelang dan kota-kota kecil lainnya.
Di Yogyakarta, jumlah upal masih minim dan masih kalah bila dibandingkan dengan yang berasal dari luar Kota Gudeg. Sampai dengan bulan Mei 2016 lewat, BI menyatakan telah mengamankan 1.372 lembar uang palsu.
Upal tersebut mulai dari lembaran Rp10.000 hingga Rp100.000 dengan nilai total lebih dari Rp100 juta. Hilman mengungkapkan memang paling banyak uang yang dipalsukan adalah pecahan Rp100.000 dan Rp50.000.
Data BI Yogyakarta menyatakan upal lembaran Rp100.000 yang diamankan pada Januari lalu sebanyak 147 lembar, Februari 169 lembar, Maret 148 lembar, April 136 lembar dan Mei lalu terdapat 179 lembar. Adapun pecahan Rp50.000 uang palsu yang diamankan pada Januari sebanyak 111 lembar, Februari 160 lembar, Maret 107 lembar, April 73 lembar, dan Mei 130 lembar.
“Pecahan Rp20.000 memang ada tapi sedikit. Dan sebagian besar yang diamankan berasal dari luar Yogyakarta dan paling banyak di Magelang,” ungkapnya.
Untuk bulan Juni ini, pihaknya belum bisa memastikan apakah ada peningkatan atau tidak dibanding dengan bulan sebelumnya. Kemungkinan baru dapat diketahui di pertengahan bulan Ramadhan.
Peredaran uang palsu tersebut memang mengancam pasar-pasar tradisional. Sularno, seorang pedagang tempe di pasar Beringharjo, Yogyakarta, mengaku sudah tiga kali mendapatkan uang palsu. Terakhir ia mendapatkan beberapa pekan yang lalu. Ia tidak bisa berbuat banyak selain hanya menerima keapesannya sebagai rezeki yang belum menjadi haknya.
“Saya awalnya tidak tahu. Tahunya pas saya beli bensin oleh SPBU dianggap palsu,” paparnya.
Meski ia mengaku telah berhati-hati namun tetap saja masih kecolongan. Biasanya, bila pria berkacamata ini ragu saat bertransaksi dengan pembeli, ia meraba pada bagian uang yang terdapat sejenis pita pengaman yang bila diraba akan terasa kasar. Biasanya, pengedar memanfaatkan kelengahan ketika pembeli sedang ramai.
Pedagang buah di pasar yang sama, Suginem juga pernah mendapatkan uang palsu dari pembelinya yang curang. Ia mendapatkanya belum lama ini dan memilihnya untuk menyobek uang pecahan Rp50.000 yang palsu tersebut. Kini ia lebih berhati-hati menerima uang pecahan yang agak besar, ia mencoba merabanya apakah palsu atau asli. “Sedikit sulit membedakan. Tetapi coba saya lakukan,” tuturnya.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta, Hilman Tisnawan mengatakan, sebenarnya di bulan Ramadhan dan mendekati Idul Fitri ini, potensi peningkatan peredaran uang palsu memang ada. Tetapi potensi tersebut masih kalah jauh dengan saat musim pemilihan umum (pemilu) ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Kalau Pilkada justru potensi naiknya cukup besar,” tuturnya, Kamis (9/6/2016).
Hilman mengatakan, biasanya para pengedar memang menggunakan tangan masyarakat untuk mengedarkan uang mereka. Menyasar ke kampung-kampung atau ke pasar tradisional, dimana pengetahuan masyarakat akan uang palsu masih minim. Modus yang mereka gunakan adalah dengan membeli produk di pasar tradisional.
Sampai pertengahan Juni dan memasuki bulan Ramadhan ini, Bank Indonesia menyatakan belum ada laporan peningkatan penemuan uang palsu. Dari temuan sebelumnya, biasanya laporan paling banyak diterima di bank-bank di luar Yogyakarta, seperti Kota Magelang dan kota-kota kecil lainnya.
Di Yogyakarta, jumlah upal masih minim dan masih kalah bila dibandingkan dengan yang berasal dari luar Kota Gudeg. Sampai dengan bulan Mei 2016 lewat, BI menyatakan telah mengamankan 1.372 lembar uang palsu.
Upal tersebut mulai dari lembaran Rp10.000 hingga Rp100.000 dengan nilai total lebih dari Rp100 juta. Hilman mengungkapkan memang paling banyak uang yang dipalsukan adalah pecahan Rp100.000 dan Rp50.000.
Data BI Yogyakarta menyatakan upal lembaran Rp100.000 yang diamankan pada Januari lalu sebanyak 147 lembar, Februari 169 lembar, Maret 148 lembar, April 136 lembar dan Mei lalu terdapat 179 lembar. Adapun pecahan Rp50.000 uang palsu yang diamankan pada Januari sebanyak 111 lembar, Februari 160 lembar, Maret 107 lembar, April 73 lembar, dan Mei 130 lembar.
“Pecahan Rp20.000 memang ada tapi sedikit. Dan sebagian besar yang diamankan berasal dari luar Yogyakarta dan paling banyak di Magelang,” ungkapnya.
Untuk bulan Juni ini, pihaknya belum bisa memastikan apakah ada peningkatan atau tidak dibanding dengan bulan sebelumnya. Kemungkinan baru dapat diketahui di pertengahan bulan Ramadhan.
Peredaran uang palsu tersebut memang mengancam pasar-pasar tradisional. Sularno, seorang pedagang tempe di pasar Beringharjo, Yogyakarta, mengaku sudah tiga kali mendapatkan uang palsu. Terakhir ia mendapatkan beberapa pekan yang lalu. Ia tidak bisa berbuat banyak selain hanya menerima keapesannya sebagai rezeki yang belum menjadi haknya.
“Saya awalnya tidak tahu. Tahunya pas saya beli bensin oleh SPBU dianggap palsu,” paparnya.
Meski ia mengaku telah berhati-hati namun tetap saja masih kecolongan. Biasanya, bila pria berkacamata ini ragu saat bertransaksi dengan pembeli, ia meraba pada bagian uang yang terdapat sejenis pita pengaman yang bila diraba akan terasa kasar. Biasanya, pengedar memanfaatkan kelengahan ketika pembeli sedang ramai.
Pedagang buah di pasar yang sama, Suginem juga pernah mendapatkan uang palsu dari pembelinya yang curang. Ia mendapatkanya belum lama ini dan memilihnya untuk menyobek uang pecahan Rp50.000 yang palsu tersebut. Kini ia lebih berhati-hati menerima uang pecahan yang agak besar, ia mencoba merabanya apakah palsu atau asli. “Sedikit sulit membedakan. Tetapi coba saya lakukan,” tuturnya.
(ven)