Pertumbuhan Ekonomi Asia Diklaim Solid Usai Dihantam Brexit
A
A
A
JAKARTA - Pertumbuhan perekonomian negara berkembang di Asia dan Pasifik diklaim masih solid oleh Kepala Ekonom Asian Development Bank (ADB) Shang-Jin Wei. Hal ini lantaran kinerja positif dicatatkan oleh Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara untuk membantu mengimbangi penurunan perekonomian Amerika Serikat (AS) dan guncangan pasar jangka pendek akibat Brexit.
Menurutnya Brexit memang berpengaruh terhadap mata uang dan pasar modal negara berkembang di Asia, tapi dampaknya terhadap ekonomi riil dalam jangka pendek diperkirakan sangat kecil.
"Namun, mengingat lemahnya prospek pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri utama, para pembuat kebijakan harus tetap waspada dan tanggap terhadap potensi guncangan eksternal, demi memastikan pertumbuhan di kawasan ini tetap kuat," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Dia menambahkan di Asia Tenggara, proyeksi pertumbuhan subkawasan ini pada 2016 dan 2017 tidak berubah sebesar 4,5% dan 4,8%, dengan kinerja solid di sebagian besar perekonomian pada paruh pertama 2016, yang didorong oleh pengeluaran rumah tangga.
"Pengecualiannya adalah Vietnam yang menghadapi tekanan perekonomian akibat memburuknya kekeringan sehingga terjadi kontraksi di sektor pertanian," imbuhnya.
Disamping itu, masih lemahnya harga komoditas dan resesi di Federasi Rusia semakin menurunkan prospek pertumbuhan Asia Tengah, dengan perkiraan tahun 2016 sebelumnya sebesar 2,1% dipangkas menjadi 1,7% dan untuk 2017 dari 2,8% menjadi 2,7%.
Menurut dia, merosotnya pendapatan dari ekspor hidrokarbon berdampak terhadap upaya konsolidasi fiskal di Azerbaijan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sedangkan tingkat remitansi yang menurun, terutama dari Federasi Rusia, semakin mencederai konsumsi domestik di subkawasan ini.
Dia memprediksi, di Pasifik, pertumbuhan 2016 akan turun ke 3,9% pada 2016 dari sebelumnya 7,1% pada 2015, dengan perekonomian Fiji yang terkena dampak berat Badai Winston. ADB juga memproyeksikan inflasi di kawasan Asia yang sedang berkembang akan mencapai 2,8% pada 2016 dan 3,0% pada 2017 atau mengalami kenaikan 0,3% untuk kedua tahun tersebut dari prakiraan sebelumnya.
Kenaikan ini sebagian besar adalah akibat meningkatnya kembali harga minyak dan pangan. "Harga minyak kembali naik setelah menyentuh titik terendahnya awal tahun ini dan harga pangan naik hampir 9% pada Juni 2016 dibandingkan setahun sebelumnya, menandai lima bulan berturut-turut indeks tersebut mengalami kenaikan," jelasnya.
Menurutnya Brexit memang berpengaruh terhadap mata uang dan pasar modal negara berkembang di Asia, tapi dampaknya terhadap ekonomi riil dalam jangka pendek diperkirakan sangat kecil.
"Namun, mengingat lemahnya prospek pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri utama, para pembuat kebijakan harus tetap waspada dan tanggap terhadap potensi guncangan eksternal, demi memastikan pertumbuhan di kawasan ini tetap kuat," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Dia menambahkan di Asia Tenggara, proyeksi pertumbuhan subkawasan ini pada 2016 dan 2017 tidak berubah sebesar 4,5% dan 4,8%, dengan kinerja solid di sebagian besar perekonomian pada paruh pertama 2016, yang didorong oleh pengeluaran rumah tangga.
"Pengecualiannya adalah Vietnam yang menghadapi tekanan perekonomian akibat memburuknya kekeringan sehingga terjadi kontraksi di sektor pertanian," imbuhnya.
Disamping itu, masih lemahnya harga komoditas dan resesi di Federasi Rusia semakin menurunkan prospek pertumbuhan Asia Tengah, dengan perkiraan tahun 2016 sebelumnya sebesar 2,1% dipangkas menjadi 1,7% dan untuk 2017 dari 2,8% menjadi 2,7%.
Menurut dia, merosotnya pendapatan dari ekspor hidrokarbon berdampak terhadap upaya konsolidasi fiskal di Azerbaijan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sedangkan tingkat remitansi yang menurun, terutama dari Federasi Rusia, semakin mencederai konsumsi domestik di subkawasan ini.
Dia memprediksi, di Pasifik, pertumbuhan 2016 akan turun ke 3,9% pada 2016 dari sebelumnya 7,1% pada 2015, dengan perekonomian Fiji yang terkena dampak berat Badai Winston. ADB juga memproyeksikan inflasi di kawasan Asia yang sedang berkembang akan mencapai 2,8% pada 2016 dan 3,0% pada 2017 atau mengalami kenaikan 0,3% untuk kedua tahun tersebut dari prakiraan sebelumnya.
Kenaikan ini sebagian besar adalah akibat meningkatnya kembali harga minyak dan pangan. "Harga minyak kembali naik setelah menyentuh titik terendahnya awal tahun ini dan harga pangan naik hampir 9% pada Juni 2016 dibandingkan setahun sebelumnya, menandai lima bulan berturut-turut indeks tersebut mengalami kenaikan," jelasnya.
(akr)