Swastanisasi Listrik, SP PLN Kecam Menteri Sudirman Said
A
A
A
JAKARTA - Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) mengecam pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang memaksa PLN untuk tunduk terhadap upaya swastanisasi pembangkit listrik dan peraturan yang merugikan PLN dan kelistrikan nasional
(Baca: Tak Pernah Sowan, Menteri ESDM Semprot Dirut PLN)
Ketum SP PLN Jumadis Abda mengatakan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari PLN, pihaknya merasa mempunyai kewajiban moral untuk mengingatkan dan mengoreksi kebijakan yang keliru terhadap kelistrikan nasional.
Menurutnya, jika salah melangkah dan mengambil kebijakan termasuk adanya unsur kepentingan tertentu dalam penentuan arah kelistrikan ini, maka dampak kerugiannya bukan saja dirasakan oleh PLN tetapi juga bangsa dan negara serta seluruh masyarakat Indonesia.
"Sebab itu agar pengelolaan kelistrikan berjalan dengan baik, maka sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2, tidak bisa dinafikan bahwa kelistrikan, termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dikuasai negara, oleh BUMN tentunya dalam hal ini PLN," kata dia dalam rilisnya, Jakarta. Minggu (24/7/2016).
Dia menilai, Sudirman sebagai orang yang bertanggung jawab mengawal kelistrikan dalam penguasaan negara justru bertingkah sebaliknya dan berusaha memarginalkan PLN untuk pembangunan kelistrikan.
(Baca: Jarang Komunikasi, Bos PLN Bantah Tak Akur dengan Menteri ESDM)
Terutama, lanjut Jumadis, di sektor pembangkit yang memberikan pengembalian (profit) yang lebih baik. Pembangunannya dan kepemilikan asetnya diserahkan kepada perusahaan perseorangan privat/swasta. Di mana, perusahaan negara disuruh membeli dengan sistem take or pay.
"Ambil tidak diambil energi listrik (kWh) yang dihasilkan pembangkit swasta itu maka PLN harus bayar. Akan ada kerugian PLN Rp140 triliun per tahun setelah selesai pembangunannya, dan potensi pemadaman di seluruh Indonesia seperti yang terjadi di Nias beberapa waktu lalu. Sehingga Indonesia menjadi Nias kedua," tuturnya.
Pihaknya memaparkan berbagai upaya swastanisasi dan keberpihakan kepada perusahaan privat itu dalam kelistrikan nasional oleh Menteri Sudirman. Di antaranya, upaya pemecahan kelistrikan di 6 Propinsi di Indonesia Timur. Lalu, program pembangunan pembangkit 35.000 MW yang melebihi kapasitas yang dibutuhkan dan kecenderungan seluruhnya diserahkan kepada swasta.
Selain itu, intervensi perubahan RUPTL terutama untuk porsi PLN dalam pembangunan pembangkit yang berusaha diperkecil, harga beli energi listrik (kWh) dari IPP PLTMH yang harus dibeli PLN kelewat mahal sesuai Permen ESDM No 19/2015 atau lebih mahal dari harga jual PLN kepada masyarakat.
(Baca: Sudirman Said Sebut PLN Doyan Protes Kebijakan)
Kemudian, Menteri ESDM mempertanyakan pembatalan pelelangan dan pengambil alihan pembangunan PLTU Jawa 5 oleh PLN untuk kepentingan sistem kelistrikan yang lebih baik di pulau Jawa. Terakhir, PLN diinstruksikan untuk tidak membangun pabrik penghasil kWh listrik (pembangkit) untuk program 35.000 MW. Di mana, PLN diminta membeli kWh saja dari swasta.
Atas dasar itu, SP PLN seluruh Indonesia mengecam upaya dan pernyataan Sudirman Said untuk menjadikan kelistrikan bangsa ini semakin terpuruk dan kerdil serta lebih mengedepankan kepentingan perusahaan privat/swasta, mengakomodir upaya swastanisasi kelistrikan yang pada akhirnya bisa membangkrutkan PLN.
Selain itu, membuat tarif listrik lebih mahal dan tidak stabil. Sehingga, berdampak terganggunya ekonomi bangsa Indonesia yang menyengsarakan seluruh masyarakat Indonesia.
"SP PLN menantang Menteri Sudirman Said untuk berdebat secara terbuka ke ruang publik di media televisi nasional untuk meng-clear-kan masalah ini dan agar dapat diketahui dan dipahami seluruh masyarakat Indonesia," tandas Jumadis.
Baca Juga:
Disemprot Sudirman Said, Ini Tanggapan Bos PLN
Sudirman Said Minta Rini Tak Jadikan PLN Cuma Cari Duit
Bos PLN Bantah Disebut Hanya Mencari Keuntungan
(Baca: Tak Pernah Sowan, Menteri ESDM Semprot Dirut PLN)
Ketum SP PLN Jumadis Abda mengatakan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari PLN, pihaknya merasa mempunyai kewajiban moral untuk mengingatkan dan mengoreksi kebijakan yang keliru terhadap kelistrikan nasional.
Menurutnya, jika salah melangkah dan mengambil kebijakan termasuk adanya unsur kepentingan tertentu dalam penentuan arah kelistrikan ini, maka dampak kerugiannya bukan saja dirasakan oleh PLN tetapi juga bangsa dan negara serta seluruh masyarakat Indonesia.
"Sebab itu agar pengelolaan kelistrikan berjalan dengan baik, maka sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2, tidak bisa dinafikan bahwa kelistrikan, termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dikuasai negara, oleh BUMN tentunya dalam hal ini PLN," kata dia dalam rilisnya, Jakarta. Minggu (24/7/2016).
Dia menilai, Sudirman sebagai orang yang bertanggung jawab mengawal kelistrikan dalam penguasaan negara justru bertingkah sebaliknya dan berusaha memarginalkan PLN untuk pembangunan kelistrikan.
(Baca: Jarang Komunikasi, Bos PLN Bantah Tak Akur dengan Menteri ESDM)
Terutama, lanjut Jumadis, di sektor pembangkit yang memberikan pengembalian (profit) yang lebih baik. Pembangunannya dan kepemilikan asetnya diserahkan kepada perusahaan perseorangan privat/swasta. Di mana, perusahaan negara disuruh membeli dengan sistem take or pay.
"Ambil tidak diambil energi listrik (kWh) yang dihasilkan pembangkit swasta itu maka PLN harus bayar. Akan ada kerugian PLN Rp140 triliun per tahun setelah selesai pembangunannya, dan potensi pemadaman di seluruh Indonesia seperti yang terjadi di Nias beberapa waktu lalu. Sehingga Indonesia menjadi Nias kedua," tuturnya.
Pihaknya memaparkan berbagai upaya swastanisasi dan keberpihakan kepada perusahaan privat itu dalam kelistrikan nasional oleh Menteri Sudirman. Di antaranya, upaya pemecahan kelistrikan di 6 Propinsi di Indonesia Timur. Lalu, program pembangunan pembangkit 35.000 MW yang melebihi kapasitas yang dibutuhkan dan kecenderungan seluruhnya diserahkan kepada swasta.
Selain itu, intervensi perubahan RUPTL terutama untuk porsi PLN dalam pembangunan pembangkit yang berusaha diperkecil, harga beli energi listrik (kWh) dari IPP PLTMH yang harus dibeli PLN kelewat mahal sesuai Permen ESDM No 19/2015 atau lebih mahal dari harga jual PLN kepada masyarakat.
(Baca: Sudirman Said Sebut PLN Doyan Protes Kebijakan)
Kemudian, Menteri ESDM mempertanyakan pembatalan pelelangan dan pengambil alihan pembangunan PLTU Jawa 5 oleh PLN untuk kepentingan sistem kelistrikan yang lebih baik di pulau Jawa. Terakhir, PLN diinstruksikan untuk tidak membangun pabrik penghasil kWh listrik (pembangkit) untuk program 35.000 MW. Di mana, PLN diminta membeli kWh saja dari swasta.
Atas dasar itu, SP PLN seluruh Indonesia mengecam upaya dan pernyataan Sudirman Said untuk menjadikan kelistrikan bangsa ini semakin terpuruk dan kerdil serta lebih mengedepankan kepentingan perusahaan privat/swasta, mengakomodir upaya swastanisasi kelistrikan yang pada akhirnya bisa membangkrutkan PLN.
Selain itu, membuat tarif listrik lebih mahal dan tidak stabil. Sehingga, berdampak terganggunya ekonomi bangsa Indonesia yang menyengsarakan seluruh masyarakat Indonesia.
"SP PLN menantang Menteri Sudirman Said untuk berdebat secara terbuka ke ruang publik di media televisi nasional untuk meng-clear-kan masalah ini dan agar dapat diketahui dan dipahami seluruh masyarakat Indonesia," tandas Jumadis.
Baca Juga:
Disemprot Sudirman Said, Ini Tanggapan Bos PLN
Sudirman Said Minta Rini Tak Jadikan PLN Cuma Cari Duit
Bos PLN Bantah Disebut Hanya Mencari Keuntungan
(izz)