Peran Bulog Penyangga dan Penstabil Harga Daging Tak Maksimal
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Peternakan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Yeka Hendra Fatika mengatakan, sudah dua tahun terakhir ini pemerintah memberlakukan impor daging secondary cut hanya untuk BUMN yakni Bulog. Meski demikian, fungsi Bulog yang diamanahkan untuk penyangga dan penstabil harga tidak berjalan maksimal.
Selama ini, karena yang boleh impor hanya Bulog, sehingga importir umum pun hanya memperoleh izin manufacturing yang dagingnya hanya untuk keperluan industri.
"Ini fungsi Bulog sebagai penyangga dan penstabil harga, artinya juga tidak berjalan sebagaimana mestinya walaupun sudah di berikan izin khusus," kata Yeka di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Data menyebutkan, dari Januari hingga Mei 2016, Bulog hanya mengimpor 5 kontainer secondary cut, padahal seharusnya bisa mengantisipasi dengan mengimpor secondary cut dengan jumlah lebih besar dalam rangka Ramadhan dan Idul Fitri.
Alhasil, jika sudah memasuki Ramadhan, Bulog baru mulai membeli barang, maka harga sudah terlanjur naik dari negara asalnya dan barang sudah terlanjur kosong di pasaran.
"Hal yang kemudian menjadi pertanyaan lagi adalah pembukaan sumber India sebagai sumber baru apakah sudah tepat? Apakah sudah ada jaminan kesehatan dan kehalalan? Jangan hanya karena ingin menekan harga lalu mengesampingkan faktor lain," kata dia.
Kemudian, jika daging India dibuka dan dijual dengn harga di bawah HPP sapi lokal hari ini, bagaimana soal kabar peternak lokal yang juga menggantungkan nasib dari ternaknya. Pemerintah harusnya bisa melihat ini.
"Anggaplah Bulog dapat mendistribusikan dengan baik daging India, lalu bagaimana dengan sapi lokal, apa mereka harus merugi dan kita akan dibuat ketergantungan dengan negara India?" tuturnya.
Seharusnya, harga HPP sapi lokal dalam negeri bisa setara dengan India. Karena, jika membuka keran impor secara besar besaran, tidak menjamin masalah selesai. "Bahkan, peternakan lokal yang tadinya mulai dilirik karena menghasilkan, akan kembali ditinggalkan dan swasembada daging akan semakin jauh," pungkas dia.
Selama ini, karena yang boleh impor hanya Bulog, sehingga importir umum pun hanya memperoleh izin manufacturing yang dagingnya hanya untuk keperluan industri.
"Ini fungsi Bulog sebagai penyangga dan penstabil harga, artinya juga tidak berjalan sebagaimana mestinya walaupun sudah di berikan izin khusus," kata Yeka di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Data menyebutkan, dari Januari hingga Mei 2016, Bulog hanya mengimpor 5 kontainer secondary cut, padahal seharusnya bisa mengantisipasi dengan mengimpor secondary cut dengan jumlah lebih besar dalam rangka Ramadhan dan Idul Fitri.
Alhasil, jika sudah memasuki Ramadhan, Bulog baru mulai membeli barang, maka harga sudah terlanjur naik dari negara asalnya dan barang sudah terlanjur kosong di pasaran.
"Hal yang kemudian menjadi pertanyaan lagi adalah pembukaan sumber India sebagai sumber baru apakah sudah tepat? Apakah sudah ada jaminan kesehatan dan kehalalan? Jangan hanya karena ingin menekan harga lalu mengesampingkan faktor lain," kata dia.
Kemudian, jika daging India dibuka dan dijual dengn harga di bawah HPP sapi lokal hari ini, bagaimana soal kabar peternak lokal yang juga menggantungkan nasib dari ternaknya. Pemerintah harusnya bisa melihat ini.
"Anggaplah Bulog dapat mendistribusikan dengan baik daging India, lalu bagaimana dengan sapi lokal, apa mereka harus merugi dan kita akan dibuat ketergantungan dengan negara India?" tuturnya.
Seharusnya, harga HPP sapi lokal dalam negeri bisa setara dengan India. Karena, jika membuka keran impor secara besar besaran, tidak menjamin masalah selesai. "Bahkan, peternakan lokal yang tadinya mulai dilirik karena menghasilkan, akan kembali ditinggalkan dan swasembada daging akan semakin jauh," pungkas dia.
(izz)