Membandingkan Rencana Ekonomi Trump vs Hillary
A
A
A
NEW YORK - Sebagai negara adidaya, pemilihan Presiden Amerika Serikat menarik untuk dicermati, terutama soal rencana ekonomi kedua capres: Donald John Trump (Partai Republik) kontra Hillary Rodham Clinton dari Partai Demokrat. Pengusaha asal New York, Carl Icahn menyebut rencana ekonomi dari Trump sangat brilian.
Melansir Bloomberg, Rabu (10/8), Icahn bahkan berharap Trump memenangkan pemilihan suara Presiden AS pada bulan November mendatang. “Dengan tema ekonominya, ia (Trump) harus menang telak dan tidak ada alasan untuk tidak memilih dia,” kata Icahn.
Meski Icahn seorang konglomerat seperti Trump, namun dirinya mengatakan memuji sang capres bukan karena latar belakang sesama pengusaha. Bahkan, Icahn mengaku tidak bergabung dengan kelompok Trump, hal ini demi menjaga independensinya. Dan pemilik Icahn Enterprises ini mengaku berhubungan baik dengan Clinton. “Yang sangat penting bagi negara ini untuk melihat Trump menang,” ujarnya kepada CNBC, Rabu (10/8/2016).
Melansir BBC, Selasa (9/8), kedua kandidat telah menyampaikan visi mereka bagi ekonomi AS bila terpilih menjadi orang nomor satu di negeri Abang Sam. Trump fokus pada pemotongan pajak, menghilangkan regulasi yang memberatkan, dan penawaran perdagangan bebas yang baru.
Hillary, di sisi lain, ingin menaikkan pajak terhadap orang kaya, meningkatkan pengeluaran dengan pelatihan kerja, dan pajak yang lebih rendah pada perusahaan yang mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja. Berikut beberapa pandangan berbeda keduanya.
Pajak
Trump mengatakan pemotongan pajak untuk semua orang. “Orang kaya akan membayar secara adil tapi tidak ada yang membayar begitu banyak sehingga merusak kemampuan kita untuk bersaing,” kata dia.
Hillary ingin memberlakukan pajak yang sama untuk setiap orang Amerika dan menambahkan braket tambahan untuk yang berpenghasilan tinggi. Yaitu tambahan pajak 4% bagi orang yang penghasilan lebih dari USD5 juta per tahun atau setara Rp65 miliar (estimasi kurs Rp13.097).
Braket pajak Trump
Pendapatan di bawah USD29.000 (Rp380 juta) - membayar 0%
USD29.000 hingga USD54.000 membayar 12%
USD 54.000 sampai USD154.000 - membayar 25%
Di atas USD154.000 - membayar 33%
Braket pajak Hillary
Pendapatan di bawah USD9.275 (Rp121,4 juta) - membayar 0%
USD9.275 untuk USD37.650 - membayar 15%
USD37.650 untuk USD91.150 - membayar 25%
USD91.150 untuk USD190.150 - membayar 28%
USD190.150 untuk USD413.350 - membayar 33%
USD413.350 untuk USD415.050 - membayar 35%
USD415.050 untuk USD5.000.000 - membayar 39,6%
Lebih dari USD5 juta - membayar 43,6% (braket baru)
Namun kedua kandidat mengusulkan menutup celah pajak yang biasanya dimanfatkaan oleh orang-orang kaya.
Penawaran perdagangan bebas
Trump telah melakukan yang terbaik untuk memanfaatkan ketidakpuasan sekitar transaksi perdagangan. Proposal ekonominya menyarankan negosiasi ulang kesepakatan perdagangan dengan tujuan untuk kepentingan Amerika. Seperti penawaran Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), Trump telah berjanji tidak akan melakukannya jika tidak mencapai kesepakatan yang “memenangkan” Amerika.
Trump berjanji untuk bertindak keras terhadap negara-negara yang melanggar perjanjian perdagangan dengan menerapkan tarif baru dan mengejar kasus mereka di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Secara khusus bahkan Trump melabeli China sebagai manipulator dari tarif perdagangan bebas. Ia menyerukan tarif 35% atas barang Meksiko dan tarif 45% untuk barang-barang dari China. Artinya satu televisi dari Meksiko yang berharga USD100 akan kena biaya menjadi USD135.
Hal ini demi mendorong masyarakat AS untuk membeli lebih banyak produk buatan Amerika sendiri. Namun, kebijakan ini dianggap pendukung Hillary akan menimbulkan balasan dari Meksiko yang akan menempatkan pajak impor atas produk AS. Sehingga sulit bagi AS untuk menjual barang-barang mereka ke luar negeri. Apalagi Meksiko merupakan mitra ekspor terbesar kedua bagi mereka.
Kubu Hillary menyebut kebijakan perdagangan Trump akan mengarah kepada perang dagang sehingga menyulitkan Amerika untuk bersaing di panggung global.
Namun isteri dari bekas Presiden AS, Bill Clinton itu, mendukung Trans-Pacific Partnership (TPP), yang mendorong liberalisasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Namun, saat pemaparan visi ekonomi ini, Hillary bersikap plin-plan dengan mengatakan akan melakukan negosiasi ulang yang akan memenangkan AS dalam persaingan perdagangan bebas. Bukan kali ini saja sikap wishy-washy dari Hillary. Pada 2007, ia mengkritik kesepakatan perdagangan dengan Korea Selatan, namun balik mendukung saat menjadi Sekretaris Negara AS, termasuk dari mendukung NAFTA tiba-tiba jadi mengkritiknya.
Lapangan pekerjaan
Kedua kandidat telah berjanji untuk meningkatkan lapangan pekerjaan di Amerika. Ya, tingkat pengangguran di era Barack Obama sangat besar, meski ada perbaikan sedikit 4,9% pada tahun ini.
Trump berfokus mendorong lebih banyak perusahaan membuka usahanya di AS. Terutama investasi di bidang infrastruktur, memotong defisit perdagangan, menurunkan pajak, dan menghapus peraturan untuk memudahkan perusahaan dalam berinvestasi di sektor padat karya.
Dalam pidatonya, Trump menyatakan ingin meningkatkan tenaga kerja di bidang manufaktur, yang telah menurun sebanyak 5 juta orang sejak Obama.
Adapun Hillary menyerukan untuk meningkatkan pelatihan kerja, yang dananya berasal dari penerimaan pajak dari orang kaya Amerika. Dia mendorong untuk belanja infrastruktur dan investasi di bidang energi baru untuk mengangkat jumlah pekerjaan di sektor tersebut.
Melansir Bloomberg, Rabu (10/8), Icahn bahkan berharap Trump memenangkan pemilihan suara Presiden AS pada bulan November mendatang. “Dengan tema ekonominya, ia (Trump) harus menang telak dan tidak ada alasan untuk tidak memilih dia,” kata Icahn.
Meski Icahn seorang konglomerat seperti Trump, namun dirinya mengatakan memuji sang capres bukan karena latar belakang sesama pengusaha. Bahkan, Icahn mengaku tidak bergabung dengan kelompok Trump, hal ini demi menjaga independensinya. Dan pemilik Icahn Enterprises ini mengaku berhubungan baik dengan Clinton. “Yang sangat penting bagi negara ini untuk melihat Trump menang,” ujarnya kepada CNBC, Rabu (10/8/2016).
Melansir BBC, Selasa (9/8), kedua kandidat telah menyampaikan visi mereka bagi ekonomi AS bila terpilih menjadi orang nomor satu di negeri Abang Sam. Trump fokus pada pemotongan pajak, menghilangkan regulasi yang memberatkan, dan penawaran perdagangan bebas yang baru.
Hillary, di sisi lain, ingin menaikkan pajak terhadap orang kaya, meningkatkan pengeluaran dengan pelatihan kerja, dan pajak yang lebih rendah pada perusahaan yang mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja. Berikut beberapa pandangan berbeda keduanya.
Pajak
Trump mengatakan pemotongan pajak untuk semua orang. “Orang kaya akan membayar secara adil tapi tidak ada yang membayar begitu banyak sehingga merusak kemampuan kita untuk bersaing,” kata dia.
Hillary ingin memberlakukan pajak yang sama untuk setiap orang Amerika dan menambahkan braket tambahan untuk yang berpenghasilan tinggi. Yaitu tambahan pajak 4% bagi orang yang penghasilan lebih dari USD5 juta per tahun atau setara Rp65 miliar (estimasi kurs Rp13.097).
Braket pajak Trump
Pendapatan di bawah USD29.000 (Rp380 juta) - membayar 0%
USD29.000 hingga USD54.000 membayar 12%
USD 54.000 sampai USD154.000 - membayar 25%
Di atas USD154.000 - membayar 33%
Braket pajak Hillary
Pendapatan di bawah USD9.275 (Rp121,4 juta) - membayar 0%
USD9.275 untuk USD37.650 - membayar 15%
USD37.650 untuk USD91.150 - membayar 25%
USD91.150 untuk USD190.150 - membayar 28%
USD190.150 untuk USD413.350 - membayar 33%
USD413.350 untuk USD415.050 - membayar 35%
USD415.050 untuk USD5.000.000 - membayar 39,6%
Lebih dari USD5 juta - membayar 43,6% (braket baru)
Namun kedua kandidat mengusulkan menutup celah pajak yang biasanya dimanfatkaan oleh orang-orang kaya.
Penawaran perdagangan bebas
Trump telah melakukan yang terbaik untuk memanfaatkan ketidakpuasan sekitar transaksi perdagangan. Proposal ekonominya menyarankan negosiasi ulang kesepakatan perdagangan dengan tujuan untuk kepentingan Amerika. Seperti penawaran Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), Trump telah berjanji tidak akan melakukannya jika tidak mencapai kesepakatan yang “memenangkan” Amerika.
Trump berjanji untuk bertindak keras terhadap negara-negara yang melanggar perjanjian perdagangan dengan menerapkan tarif baru dan mengejar kasus mereka di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Secara khusus bahkan Trump melabeli China sebagai manipulator dari tarif perdagangan bebas. Ia menyerukan tarif 35% atas barang Meksiko dan tarif 45% untuk barang-barang dari China. Artinya satu televisi dari Meksiko yang berharga USD100 akan kena biaya menjadi USD135.
Hal ini demi mendorong masyarakat AS untuk membeli lebih banyak produk buatan Amerika sendiri. Namun, kebijakan ini dianggap pendukung Hillary akan menimbulkan balasan dari Meksiko yang akan menempatkan pajak impor atas produk AS. Sehingga sulit bagi AS untuk menjual barang-barang mereka ke luar negeri. Apalagi Meksiko merupakan mitra ekspor terbesar kedua bagi mereka.
Kubu Hillary menyebut kebijakan perdagangan Trump akan mengarah kepada perang dagang sehingga menyulitkan Amerika untuk bersaing di panggung global.
Namun isteri dari bekas Presiden AS, Bill Clinton itu, mendukung Trans-Pacific Partnership (TPP), yang mendorong liberalisasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Namun, saat pemaparan visi ekonomi ini, Hillary bersikap plin-plan dengan mengatakan akan melakukan negosiasi ulang yang akan memenangkan AS dalam persaingan perdagangan bebas. Bukan kali ini saja sikap wishy-washy dari Hillary. Pada 2007, ia mengkritik kesepakatan perdagangan dengan Korea Selatan, namun balik mendukung saat menjadi Sekretaris Negara AS, termasuk dari mendukung NAFTA tiba-tiba jadi mengkritiknya.
Lapangan pekerjaan
Kedua kandidat telah berjanji untuk meningkatkan lapangan pekerjaan di Amerika. Ya, tingkat pengangguran di era Barack Obama sangat besar, meski ada perbaikan sedikit 4,9% pada tahun ini.
Trump berfokus mendorong lebih banyak perusahaan membuka usahanya di AS. Terutama investasi di bidang infrastruktur, memotong defisit perdagangan, menurunkan pajak, dan menghapus peraturan untuk memudahkan perusahaan dalam berinvestasi di sektor padat karya.
Dalam pidatonya, Trump menyatakan ingin meningkatkan tenaga kerja di bidang manufaktur, yang telah menurun sebanyak 5 juta orang sejak Obama.
Adapun Hillary menyerukan untuk meningkatkan pelatihan kerja, yang dananya berasal dari penerimaan pajak dari orang kaya Amerika. Dia mendorong untuk belanja infrastruktur dan investasi di bidang energi baru untuk mengangkat jumlah pekerjaan di sektor tersebut.
(ven)