Investasi Blok Masela Disesuaikan Harga Minyak Dunia
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah meyakini biaya investasi pengembangan ladang gas di Blok Masela bisa lebih murah. Hal itu disebabkan karena fluktuasi harga minyak dunia cenderung menurun.
“Penyesuaian investasi disebabkan karena harga minyak turun akibatnya penawaran terhadap jasa penunjang bisa relatif rendah karena over supply,” ujar Deputi Pengendalian Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Muliawan Haji di Jakarta, Senin (22/8/2016).
Berdasarkan hasil kajian konsultan independen beberapa waktu lalu, investasi pengembangan gas di laut lebih murah daripada di darat. Adapun investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan gas di darat sekitar USD19,3 miliar sedangkan jika dikembangkan di laut membutuhkan dana USD14,8 miliar. Berdasarkan data SKK Migas, belanja modal pembangunan kilang darat di Tanimbar membutuhkan biaya USD19,3 miliar, di Babar USD20,9 miliar dan di Aru USD22,3 miliar.
Muliawan menyebut hasil kajian terhadap pengembangan wilayah tersebut dilakukan pada 2013 saat harga minyak berada pada kisaran USD80 per barel. Kondisi itu berubah ketika tren harga minyak dalam kondisi menurun seperti saat ini berada pada kisaran USD40 per barel sehingga biaya tekonologi, baik dari biaya penunjang seperti jasa dan kontruksi menjadi lebih murah.
Dengan asumsi tersebut, kata Muliawan, investasi pengembangan Blok Masela di darat bisa dipangkas lebih murah dari perkiraan awal yakni menjadi USD15 miliar atau setara Rp195 triliun dari sebelumnya USD19,3 miliar. Saat ini, kajian komprehensif terkait investasi dan pengembangan wilayah di Blok Masela masih terus di kaji oleh pemerintah, SKK Migas dan Inpex Corporation selaku investor.
“Saat ini tim dari Inpex, SKK Migas, dan ESDM lagi mereview biaya-biaya yang harus diinvestasikan. Mudah-mudahan bisa turun,” ujarnya.
Sementara itu, Senior Manager Communication & Relations Department Inpex Corporation Usman Slamet tidak bersedia menjawab jika terjadi kemungkinan penurunan investasi pengembangan Blok Masela di darat. Namun pihaknya akan berusaha segera melaksanakan pengembangan Blok Masela.
“Saat ini kami sedang berbicara intensif dengan pemerintah dan SKK Migas agar pengembangan gas Blok Masela segera terlaksana,” ujar dia.
Pakar energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpendapat bahwa keputusan terkait investasi pengembangan Blok Masela lebih murah dinilai terlalu dini. Menurut dia kajian secara komprehensif harus dilakukan terlebih dahulu. Pasalnya hingga kini belum ada hasil kajian secara komprhensif terkait pengembangan wilayah Blok Masela, baik itu di Tanimbar, di Babar ataupun di Aru.
Dia menyebut, penyesuaian investasi pengembangan gas di Blok Masela merupakan hal yang wajar. Tentunya semua pihak harus melihat perkembangan situasi ekonomi, inflasi dan harga minyak dunia ke depan karena proses pengembangan Blok Masela rentan waktunya cukup panjang bahkan memerlukan waktu bertahun-tahun mencapai berproduksi.
“Pertimbangan terhadap rentan rencana penyusunan dan pelaksanaan diperlukan waktu bertahun-tahun sehingga bisa saja realisasi investasi lebih mahal karena pengaruh situasi ekonomi dan inflasi. Hal semacam ini wajar saja terjadi,” tutup Pri Agung.
Sebagai informasi, Inpex memiliki 65% saham, sedangkan Shell memiliki 35%. Adapun kontrak ke dua investor tersebut di Blok Masela akan berakhir pada 2028.
“Penyesuaian investasi disebabkan karena harga minyak turun akibatnya penawaran terhadap jasa penunjang bisa relatif rendah karena over supply,” ujar Deputi Pengendalian Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Muliawan Haji di Jakarta, Senin (22/8/2016).
Berdasarkan hasil kajian konsultan independen beberapa waktu lalu, investasi pengembangan gas di laut lebih murah daripada di darat. Adapun investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan gas di darat sekitar USD19,3 miliar sedangkan jika dikembangkan di laut membutuhkan dana USD14,8 miliar. Berdasarkan data SKK Migas, belanja modal pembangunan kilang darat di Tanimbar membutuhkan biaya USD19,3 miliar, di Babar USD20,9 miliar dan di Aru USD22,3 miliar.
Muliawan menyebut hasil kajian terhadap pengembangan wilayah tersebut dilakukan pada 2013 saat harga minyak berada pada kisaran USD80 per barel. Kondisi itu berubah ketika tren harga minyak dalam kondisi menurun seperti saat ini berada pada kisaran USD40 per barel sehingga biaya tekonologi, baik dari biaya penunjang seperti jasa dan kontruksi menjadi lebih murah.
Dengan asumsi tersebut, kata Muliawan, investasi pengembangan Blok Masela di darat bisa dipangkas lebih murah dari perkiraan awal yakni menjadi USD15 miliar atau setara Rp195 triliun dari sebelumnya USD19,3 miliar. Saat ini, kajian komprehensif terkait investasi dan pengembangan wilayah di Blok Masela masih terus di kaji oleh pemerintah, SKK Migas dan Inpex Corporation selaku investor.
“Saat ini tim dari Inpex, SKK Migas, dan ESDM lagi mereview biaya-biaya yang harus diinvestasikan. Mudah-mudahan bisa turun,” ujarnya.
Sementara itu, Senior Manager Communication & Relations Department Inpex Corporation Usman Slamet tidak bersedia menjawab jika terjadi kemungkinan penurunan investasi pengembangan Blok Masela di darat. Namun pihaknya akan berusaha segera melaksanakan pengembangan Blok Masela.
“Saat ini kami sedang berbicara intensif dengan pemerintah dan SKK Migas agar pengembangan gas Blok Masela segera terlaksana,” ujar dia.
Pakar energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpendapat bahwa keputusan terkait investasi pengembangan Blok Masela lebih murah dinilai terlalu dini. Menurut dia kajian secara komprehensif harus dilakukan terlebih dahulu. Pasalnya hingga kini belum ada hasil kajian secara komprhensif terkait pengembangan wilayah Blok Masela, baik itu di Tanimbar, di Babar ataupun di Aru.
Dia menyebut, penyesuaian investasi pengembangan gas di Blok Masela merupakan hal yang wajar. Tentunya semua pihak harus melihat perkembangan situasi ekonomi, inflasi dan harga minyak dunia ke depan karena proses pengembangan Blok Masela rentan waktunya cukup panjang bahkan memerlukan waktu bertahun-tahun mencapai berproduksi.
“Pertimbangan terhadap rentan rencana penyusunan dan pelaksanaan diperlukan waktu bertahun-tahun sehingga bisa saja realisasi investasi lebih mahal karena pengaruh situasi ekonomi dan inflasi. Hal semacam ini wajar saja terjadi,” tutup Pri Agung.
Sebagai informasi, Inpex memiliki 65% saham, sedangkan Shell memiliki 35%. Adapun kontrak ke dua investor tersebut di Blok Masela akan berakhir pada 2028.
(ven)