Kadin Pertanyakan Progres Megaproyek Listrik 35.000 MW
A
A
A
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mempertanyakan soal progres pembangunan megaproyek listrik 35 ribu megawatt (MW). Pasalnya, hingga saat ini belum terlihat progres dari tender yang dilaksanakan PT PLN (Persero).
Ketua Komisaris Tetap Industri Energi Migas Kadin, Agustinus Santoso mengatakan, hal ini bakal berdampak buruk ke depannya. Selain membuat banyak investor ragu, juga berpengaruh pada penilaian lender (pemberi pinjaman) terhadap bankability para bidder.
“Kami pertanyakan ini. Jangan sampai PLN menjadi tidak investor oriented," kata Santoso dalam keterangannya kepada wartawan, Jakarta, Sabtu (24/9/2016).
Santoso mencontohkan proyek PLTU Jawa-1, dimana terdapat klausul yang membuat ketidapastian revenue investor. Klausul terkait gangguan suplai LNG menyatakan, jika PLN beujm mampu menyediakan LNG maka bidder tidak akan dibayar meskipun pembangkit beroperasi.
“Klausul itu mengarah ke arah yang tidak fair dan memunculkan ketidakpastian revenue,” kata dia.
Ketidakpastian tersebut, menurut Santoso berdampak sangat luas. Termasuk diantaranya terhadap bankability para bidder. Pihak bank, tegas Santoso, tentu tidak akan memberi pinjaman jika terdapat ketidakpastian. Sebab, siapa yang akan menanggung pinjaman para investor jika mereka tidak dibayar oleh PLN.
"Padahal dalam hal ini, Dirut PLN adalah mantan orang bank, yang tentunya sangat paham masalah ini. Seharusnya ini bisa diselesaikan oleh beliau," lanjut Santoso.
Menurut Santoso, klausul tersebut menunjukkan bahwa PLN ragu-ragu. Pasalnya, PLN mengubah skema tender, yakni dengan mengambilalih penyediaan LNG yang sebelumnya dilakukan investor.
Itulah sebabnya, seperti juga proyek pembangkit lain, tender Jawa-1 pun berpotensi mengalami kemangkrakan. Para bidder kemungkinan akan memasukkan catatan terhadap klausul tersebut. Dan jika semua peserta memasukkan catatan, imbuh Santoso, berarti bahwa para bidder tidak taat terhadap persyaratan. Dan jika itu terjadi, maka tidak akan diputuskan oleh PLN. Artinya, tender tersebut tidak berhasil dan PLN akan melakukan tender ulang.
“PLN harus menghindari situasi ini. Kalau tidak dihindari, ongkosnya sangat mahal dan tidak akan ada investor yang sanggup. Jika itu terjadi, maka PLN harus membangun sendiri. Padahal, jika itu terjadi, maka tidak akan bisa seefisien seperti dilakukan swasta,” kata Santoso.
Bukan hanya PLTU Jawa-1 yang bermasalah. Pada PLTU Jawa-5, misalnya. PLN membatalkan tender setelah proses tender berlangsung 14 bulan. Ujung-ujungnya, PLN melakukan penunjukan langsung kepada anak perusahaannya, Indonesia Power.
“Dari sisi keuangan, Indonesia Power tidak akan mampu menjalankan sendiri. Karena Indonesia Power juga memiliki tanggung jawab pengerjaan pembangkit-pembangkit lain. Maka Indonesia Power harus menggandeng mitra. Yang menjadi masalah, dalam menentukan mitra, Indonesia Power berpotensi mendapat tekanan dari PLN” lanjut dia.
Selain itu, kegagalan juga terjadi di PLTU Sumsel 9, PLTU Sumsel 10, PLTMG Pontianak, dan PLTG Scattered. Pada PLTU Jawa-7 terjadi pelanggaran proses tender, kata dia, pemenang tidak memasukkan harga (EPC).
Ketua Komisaris Tetap Industri Energi Migas Kadin, Agustinus Santoso mengatakan, hal ini bakal berdampak buruk ke depannya. Selain membuat banyak investor ragu, juga berpengaruh pada penilaian lender (pemberi pinjaman) terhadap bankability para bidder.
“Kami pertanyakan ini. Jangan sampai PLN menjadi tidak investor oriented," kata Santoso dalam keterangannya kepada wartawan, Jakarta, Sabtu (24/9/2016).
Santoso mencontohkan proyek PLTU Jawa-1, dimana terdapat klausul yang membuat ketidapastian revenue investor. Klausul terkait gangguan suplai LNG menyatakan, jika PLN beujm mampu menyediakan LNG maka bidder tidak akan dibayar meskipun pembangkit beroperasi.
“Klausul itu mengarah ke arah yang tidak fair dan memunculkan ketidakpastian revenue,” kata dia.
Ketidakpastian tersebut, menurut Santoso berdampak sangat luas. Termasuk diantaranya terhadap bankability para bidder. Pihak bank, tegas Santoso, tentu tidak akan memberi pinjaman jika terdapat ketidakpastian. Sebab, siapa yang akan menanggung pinjaman para investor jika mereka tidak dibayar oleh PLN.
"Padahal dalam hal ini, Dirut PLN adalah mantan orang bank, yang tentunya sangat paham masalah ini. Seharusnya ini bisa diselesaikan oleh beliau," lanjut Santoso.
Menurut Santoso, klausul tersebut menunjukkan bahwa PLN ragu-ragu. Pasalnya, PLN mengubah skema tender, yakni dengan mengambilalih penyediaan LNG yang sebelumnya dilakukan investor.
Itulah sebabnya, seperti juga proyek pembangkit lain, tender Jawa-1 pun berpotensi mengalami kemangkrakan. Para bidder kemungkinan akan memasukkan catatan terhadap klausul tersebut. Dan jika semua peserta memasukkan catatan, imbuh Santoso, berarti bahwa para bidder tidak taat terhadap persyaratan. Dan jika itu terjadi, maka tidak akan diputuskan oleh PLN. Artinya, tender tersebut tidak berhasil dan PLN akan melakukan tender ulang.
“PLN harus menghindari situasi ini. Kalau tidak dihindari, ongkosnya sangat mahal dan tidak akan ada investor yang sanggup. Jika itu terjadi, maka PLN harus membangun sendiri. Padahal, jika itu terjadi, maka tidak akan bisa seefisien seperti dilakukan swasta,” kata Santoso.
Bukan hanya PLTU Jawa-1 yang bermasalah. Pada PLTU Jawa-5, misalnya. PLN membatalkan tender setelah proses tender berlangsung 14 bulan. Ujung-ujungnya, PLN melakukan penunjukan langsung kepada anak perusahaannya, Indonesia Power.
“Dari sisi keuangan, Indonesia Power tidak akan mampu menjalankan sendiri. Karena Indonesia Power juga memiliki tanggung jawab pengerjaan pembangkit-pembangkit lain. Maka Indonesia Power harus menggandeng mitra. Yang menjadi masalah, dalam menentukan mitra, Indonesia Power berpotensi mendapat tekanan dari PLN” lanjut dia.
Selain itu, kegagalan juga terjadi di PLTU Sumsel 9, PLTU Sumsel 10, PLTMG Pontianak, dan PLTG Scattered. Pada PLTU Jawa-7 terjadi pelanggaran proses tender, kata dia, pemenang tidak memasukkan harga (EPC).
(ven)