Kinerja Bursa Terbaik dan Terburuk di Asia Sepanjang 2016

Sabtu, 01 Oktober 2016 - 21:21 WIB
Kinerja Bursa Terbaik...
Kinerja Bursa Terbaik dan Terburuk di Asia Sepanjang 2016
A A A
NEW JERSEY - Tahun 2016 menyisakan tiga bulan lagi menuju tutup buku. Sepanjang sembilan bulan ini, ragam peristiwa ekonomi banyak bermunculan, seperti hengkangnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), pertumbuhan di pasar negara maju yang melambat drastis, serta investor yang berselancar mencari pertumbuhan di negara berkembang.

Lantas bagaimana dengan Asia? CNBC, Sabtu (10/1/2016) memotret gejolak tersebut dan kaitannya dengan bursa di Asia, tentang siapa yang menjadi pemenang dan siapa yang menjadi pecundang. Berikut penelusurannya.

Kantor berita yang bermarkas di Fort Lee, New Jersey, Amerika Serikat melansir Pakistan sebagai negara dengan indeks bursanya melesat tinggi sepanjang 2016. Memang agak mengagetkan? Pasalnya, stabilitas politik di Pakistan kerap panas-dingin, namun para analis mengatakan fundamental negara tersebut relatif stabil.

Indeks bursa efek Karachi 100 milik Pakista menjadi pemain terbaik di kawasan Asia, dengan keuntungan hampir mencapai 23,19%. “Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mereka untuk tahun fiskal 16 (berakhir Juni 2016) tertinggi dalam tujuh tahun, yaitu 4,7%. Meski mungkin akan direvisi menjadi 4,5%,” ujar Standard Chartered bank dalam sebuah catatan pekan ini.

Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Nawaz Sharif, Pakistan mampu menghindari krisis pembayaran eksternal berkat program pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan investasi dari China. Masuknya aliran dana itu, menurut MSCI Emerging Markets Index menjadi pemanis bagi indeks pasar di negara berkembang tersebut.

Membuntuti Pakistan adalah Vietnam VN-Index yang naik 18,91% year-to-date. “Vietnam menjadi salah satu titik terang di Asia,” ujar Vishnu Varathan, ekonom senior di Mizuho Bank.

Bergesernya ekonomi padat karya di China, diambil baik oleh Vietnam dengan proporsi infrastruktur yang relatif baik serta biaya upah yang rendah. Sehingga mereka menuai manfaat dari relokasi pabrik China ke negara itu. Namun, Varathan mengingatkan agar Vietnam membentengi sektor perbankan mereka.

Ketiga adalah Bursa Efek Indonesia (BEI) yang naik 16,80% year-to-date. IMF melihat Indonesia berkembang dengan sehat 4,9% pada tahun ini dan diprediksi mencapai 5,3% pada tahun 2017.
Para analis Standard Chartered mengatakan hal ini disebabkan konsumsi swasta di Indonesia yang tetap terjaga, mulai berkurangnya impor, investasi swasta yang besar yang mendukung pertumbuhan di semester kedua, begitu juga kontribusi pemerintah dalam menjaga makroekonomi.

Lantas yang menjadi pesakitan sepanjang tahun ini, urutan pertama mendera kepada China Shanghai Composite, yang menjadi pemain terburuk di Benua Kuning. Bursa China turun 15,09% year-to-date. Indeks saudaranya Shenzen Composite juga turun 13,59%, setelah menjadi pemain terbaik di wilayah Asia pada tahun 2015.

Penyebabnya, pada awal tahun ini, pasar China terganggu oleh likuiditas berkepanjangan di sektor keuangan yang membuat investor menepi. Namun, kata ANZ, prospek ekonomi China mulai stabil kembali. Momentum pertumbuhan di ekonomi terbesar kedua di dunia itu mulai pulih berkat kinerja yang kuat dari pasar perumahan.

“Semangat dari pasar properti adalah pedang bermata dua. Penjualan properti besar-besaran telah mendorong pertumbuhan, tetapi hal lain mengakibatkan lonjakan pinjaman hipotek dan risiko keuangan. Berdasarkan latar belakang ini, People’s Bank of China kemungkinan akan mempertahankan kebijakan suku bunga,” kata analis.

Pukulan kedua paling besar dialami indeks Jepang Nikkei 225 yang turun 13,57% year-to-date. Pembuat kebijakan negara tersebut selalu bergulat dengan ekonomi mereka yang nyaris “mati”, dimana inflasi Jepang gagal mencapai target 2% sepanjang hampir satu dekade.

Saham juga mendapat tekanan dari yen yang relatif kuat, sejak diperkenalkannya suku bunga deposito negatif pada akhir Januari. Analis Standard Chartered lantas berharap pertumbuhan PDB Jepang anteng pada 0,7% pada tahun ini dan 0,6% pada 2017. Serta mengharapkan konsumsi swasta dan investasi bisnis pada Q4 2016.

Nah, berbicara kuartal terakhir tahun ini ada beberapa risiko utama yang bisa menghambat investasi. Diantaranya pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November, kemungkinan kenaikan suku bunga dari Federal Reserve pada bulan Desember, serta isu-isu yang sedang berlangsung di sekitar bank-bank Eropa, pertumbuhan rendah dan momen inflasi di Jepang, dan faktor geopolitik di anak benua India serta Laut China Selatan.

Sementara itu, Kepala Investasi Strategi dan Kepala Ekonom di AMP Capital, Shane Oliver mencatat periode kelemahan pasar saham musiman (Agustus-Oktober) sejauh ini telah berlalu tanpa kecelakaan besar. Kendati demikian, ia mewanti-wanti agar pasar Asia berhati-hati terhadap saham dalam jangka pendek sebagai risiko tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7967 seconds (0.1#10.140)