DPR Pertanyakan Keputusan Jokowi Turunkan Harga Gas Industri
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha mempertanyakan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menurunkan harga gas industri di bawah USD6 per MMBTU. Pasalnya, keinginan tersebut akan memberatkan industri hulu migas.
Dia mengungkapkan, tingkat kesulitan lapangan minyak dan gas (migas) di Indonesia berbeda-beda. Jika harga gas dipatok di kisaran tersebut, maka pemerintah perlu mengubah kembali kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dengan kontraktor.
"Harga gas kalau ada patokan itu agak bingung, karena harga gas tidak jauh dari bagaimana menghitung keekonomian. Kalau offshore itu agak sulit, jadi harga keekonomiannya lebih mahal dibanding onshore. Itu yang harusnya dipikirkan," ujarnya, dalam sebuah diskusi di Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (9/10/2016).
Menurut Satya, pemerintah perlu mengubah porsi bagi hasil (profit split) yang didapat pemerintah dan kontraktor. Pemerintah tidak lagi bisa mematok porsi bagi hasil 70:30 seperti yang biasa ditentukan dalam PSC migas.
"Kalau pemerintah mematok USD6 per MMBTU, itu musti ditarik PSC profit splitnya berapa. Itu musti diotak-atik karena tidak bisa dengan profit split yang kaku sudah ditentukan di awal," imbuhnya.
Jika kontrak bagi hasil diubah, lanjut politisi Partai Golkar ini, maka pemerintah juga harus siap kehilangan sebagian pendapatan (revenue) dari industri migas. Sebab, kontraktor tidak akan mau berinvestasi di hulu migas Tanah Air jika harganya tidak menguntungkan mereka.
"Kontraktor itu kan tidak akan berinvestasi begitu melihat output harganya tidak mencerminkan keekonomian lapangan. Ukurannya misalkan investment rate-nya sekian. Dia kan sudah memutuskan di awal POD-nya begitu. Terus tahu-tahu muncul aturan harus di bawah USD6. Jadi harus dibenahi dulu perjanjian yang ada di-upstream-nya," tandas Satya.
Dia mengungkapkan, tingkat kesulitan lapangan minyak dan gas (migas) di Indonesia berbeda-beda. Jika harga gas dipatok di kisaran tersebut, maka pemerintah perlu mengubah kembali kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dengan kontraktor.
"Harga gas kalau ada patokan itu agak bingung, karena harga gas tidak jauh dari bagaimana menghitung keekonomian. Kalau offshore itu agak sulit, jadi harga keekonomiannya lebih mahal dibanding onshore. Itu yang harusnya dipikirkan," ujarnya, dalam sebuah diskusi di Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (9/10/2016).
Menurut Satya, pemerintah perlu mengubah porsi bagi hasil (profit split) yang didapat pemerintah dan kontraktor. Pemerintah tidak lagi bisa mematok porsi bagi hasil 70:30 seperti yang biasa ditentukan dalam PSC migas.
"Kalau pemerintah mematok USD6 per MMBTU, itu musti ditarik PSC profit splitnya berapa. Itu musti diotak-atik karena tidak bisa dengan profit split yang kaku sudah ditentukan di awal," imbuhnya.
Jika kontrak bagi hasil diubah, lanjut politisi Partai Golkar ini, maka pemerintah juga harus siap kehilangan sebagian pendapatan (revenue) dari industri migas. Sebab, kontraktor tidak akan mau berinvestasi di hulu migas Tanah Air jika harganya tidak menguntungkan mereka.
"Kontraktor itu kan tidak akan berinvestasi begitu melihat output harganya tidak mencerminkan keekonomian lapangan. Ukurannya misalkan investment rate-nya sekian. Dia kan sudah memutuskan di awal POD-nya begitu. Terus tahu-tahu muncul aturan harus di bawah USD6. Jadi harus dibenahi dulu perjanjian yang ada di-upstream-nya," tandas Satya.
(dmd)