Rok Makin Mini, Saham Makin Moncer

Senin, 31 Oktober 2016 - 06:02 WIB
Rok Makin Mini, Saham...
Rok Makin Mini, Saham Makin Moncer
A A A
MEMPREDIKSI harga saham di masa depan sungguh tidak mudah. Padahal, hanya ada tiga kemungkinan harga saham: naik, tetap, atau turun. Berbagai metode, mulai dari yang sangat scientific seperti menggunakan formula canggih fisika, atau yang lebih sederhana seperti mengamati grafik harga saham, hingga yang primitif seperti mengamati panjangnya rok wanita yang sedang jadi mode.

Lho koq ? Indikator tidak umum ini disebut Hemline Indicator atau Index (Indikator Tepi Bawah Rok). Ada pepatah di Amerika Serikat “the shorter the skirt, the stronger the economy .” Wanita ternyata cenderung menutupi kakinya saat ekonomi memburuk!

Hemline Index pertama kali ditemukan oleh Profesor George Taylor dari Wharton School (University of Pennsylvania) pada 1926 saat ujung bawah rok makin menjauh dari lantai ketika bursa saham sedang bullish pada 1920-an. Ketika AS mengalami resesi ekonomi hebat (Great Depression) akhir 1920-an, bagian tepi bawah rok kembali mencium lantai.

Menurut Skirt Length Theory (Teori Panjang Rok), ketika ekonomi mulai membaik, masyarakat menjadi lebih bahagia dan perancang busana cenderung memilih mode yang memperlihatkan bagian tubuh (misalnya rok makin mini). Hal yang sebaliknya terjadi saat ekonomi memburuk.

Maka, jika kita mengikuti strategi investasi Warren Buffett, saat rok makin mini, juallah saham (jual saat harga tinggi) dan saat rok makin panjang, belilah saham (beli saat harga rendah). Di AS, Business Insider menyediakan Hemline Index dengan mengukur panjangrok (BI Hemline Index), semakin pendek hemline, semakin tinggi indeksnya.

Namun, banyak yang mengkritik bahwa Hemline Indicator adalah lagging indicator (indikator yang terlambat). Misalnya, saat ekonomi membaik dan rok makin mini, harga saham sudah naik juga sehingga investor atau trader saham tidak bisa memetik keuntungan.

Maka, untuk memprediksi harga saham di AS dengan baik, Anda harus menjadi peramal mode yang baik, apakah rok bakalan mini atau menyentuh lantai. Namun, Profesor Baardwijk dan Franses dari The Erasmus School of Economics menganalisis panjang rok di majalah mode Prancis L’Officiel setiap bulan selama periode 1921-2009.

Mereka menemukan bahwa panjang rok tidak memiliki kemampuan untuk meramal kondisi perekonomian. Masih banyak indikator lain yang “mboten-mboten “ misalnya Superbowl Indicator. Di AS sepak bola ala Amerika (American Football) sangat populer. Olahraga yang menggunakan bola rugby ini memiliki liga profesional yang disebut National Football League (NFL).

Liga ini diikuti klub-klub profesional yang terbagi atas dua divisi: NFC dan AFC. Juara dari masing-masing divisi akan bertemu di final untuk memperebutkan piala yang diberi nama Superbowl. Biasanya final Superbowl diadakan di akhir Januari setiap tahun. Final Superbowl menjadi tontonan televisi paling populer.

Misalnya, Superbowl 2016 ditonton oleh 120 juta pemirsa televisi. Yang menarik, dari data historis ditemukan tim dari divisi NFC yang menang di final, Dow Jones Industrial Average Index pada tahun tersebut bakal naik. Namun, saat tim dari Divisi AFC yang menang, investor saham siap-siap gigit jari karena indeks Down Jones akan turun.
Hebatnya, korelasi antara hasil Superbowl dan indeks harga saham cukup tinggi. Hingga 2015 indikator ini cukup akurat dalam menebak pergerakan harga saham (diukur dengan indeks saham S&P 500) di sebuah tahun. Dari 48 tahun, indikator ini benar sebanyak 39 kali.

Apa kaitannya antara hasil final kompetisi American Football dengan kinerja pasar modal AS? Secara teori tidak ada. Kemungkinan besar korelasi tinggi ini hanyalah faktor kebetulan. Perlu diingat bahwa dua variabel yang memiliki korelasi, belum tentu memiliki hubungan sebab-akibat.

Maka itu, tidak ada alasan ilmiah untuk menggunakan indikator ini sebagai peramal harga saham. Walau tingkat kesuksesannya cukup tinggi (81%), beranikan kita mempertaruhkan uang kita untuk sebuah korelasi yang tidak jelas hubungannya?

Tahun ini Superbowl dimenangi oleh Denver Broncos, tim dari Divisi AFC, dan Indeks S&P 500 dari awal tahun hingga saat ini masih mencatat kenaikan 4%. Masih ada waktu dua bulan sebelum tutup tahun. Bisa jadi hasil pilpres di AS November nanti atau keputusan Janet Yellen tentang suku bunga AS akhir tahun ini bisa membantu Superbowl Indicator menggenapi ramalannya.

Jelas bahwa setiap investor/trader ingin mendapatkan saham pemenang dan menghindari saham pecundang. Setiap investor/trader memiliki metode atau teori untuk memilih saham. Investor/ trader amatiran menggunakan indikator yang sederhana dan lugu. Sebaiknya, daripada menghabiskan waktu menemukan atau menggunakan indikator yang “mboten mboten”, kita bisa mulai menabung saham.

Beli saham saat kita punya dana dengan mengenali secara baik perusahaannya, dan pegang saham tersebut hingga kita membutuhkan uang atau ketika harga saham sudah naik tinggi.

Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0858 seconds (0.1#10.140)