Siaga, Dana Asing Terus Minggat dari Pasar Modal
A
A
A
JAKARTA - Investor asing terus menarik dana mereka dari pasar saham dalam negeri dalam tiga hari terakhir yang mencapai Rp5 triliun. Kondisi ini menurut Institute Development of Economics and Finance (Indef) meningkatkan indikasi risiko pada pasar keuangan.
Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sejumlah faktor yang membuat dana asing keluar dari pasar saham dipicu Trump effect atau pulangnya dana-dana asing ke Amerika Serikat. Para pelaku pasar melakukan risk aversion usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Nahasnya, dana asing yang pulang tersebut sebagian besar berasal dari negara berkembang seperti Indonesia. "Ada kekhawatiran kebijakan Trump yang cenderung proteksionis membuat perekonomian negara berkembang goyah, terutama bagi negara yang punya porsi ekspor besar ke AS," jelas dia di Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Seperti diketahui Trump nampaknya bersikukuh melakukan perombakan terhadap kerja sama perdagangan luar negerinya termasuk NAFTA dan TPP. Era perdagangan bebas di ujung tanduk, apalagi setelah Brexit beberapa waktu yang lalu.
The Economist Intellegence Unit bahkan menyebutkan bahwa kebijakan proteksi Trump sebagai salah satu ancaman terbesar perekonomian global saat ini. Menghadapi situasi yang surprise ini menurut dia tentu butuh persiapan yang cukup matang. "Nasib perdagangan Indonesia pun dipertaruhkan," imbuh dia.
Dia menambahkan pada satu sisi hampir 80% ekspor Indonesia secara keseluruhan adalah komoditas mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga. Di sisi yang lain Indonesia masih bergantung pada ekspor ke negara tujuan utama yaitu Amerika, China dan Jepang yang ketiganya saling berkaitan.
Lanjut dia dengan kondisi yang tak menentu, membuat investor mengatur strategi baru. Menurutnya dibanding istilah investor sedang wait and see lebih pas sebenarnya rethinking new strategy.
Investor memikirkan strategi terbaik untuk menanggulangi ketidakpastian di negara berkembang paska Trump Effect, terlebih pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun dari 5,18% menjadi 5,02% di triwulan III 2016. Sementara itu paska periode pertama Tax Amnesty, uang tebusan kembali loyo dan dana repatriasi belum bisa ditarik ke Indonesia karena berbagai alasan.
"Imbasnya perekonomian domestik kehilangan sumber pertumbuhan baru," papar dia.
Oleh karena itu dia menyarakan sebelum terlambat, otoritas moneter dan fiskal harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk di akhir tahun 2016. Hal yang perlu diwaspadai adalah stabilitas di sektor keuangan. Pasar saham diprediksi mengalami puncak gejolak saat Fed di bulan Desember mengumumkan kenaikan Fed Rate.
Menurutnya, kondisi ini sudah mulai tercium saat imbal surat utang AS bertenor 2,10 dan 30 tahun menunjukkan kenaikan yield atau imbal hasil yang sangat tinggi paska terpilihnya Trump. Lonjakan yield jadi pertanda bahwa inflasi AS dalam jangka pendek maupun panjang diprediksi akan naik. Inflasi yang meningkat jelas direspon dengan kenaikan Fed rate.
Karena Indonesia menganut paham devisa bebas maka aksi jual besar-besaran di pasar saham dan surat utang oleh investor asing, diterangkan olehnya bukan hal yang tidak mungkin. "Satu-satunya jalan untuk mencegah hal tersebut adalah memberlakukan capital control dan membuat Perpu UU Lalu Lintas Devisa Negara. Tanpanya ekonomi akan terus terombang-ambing dana asing," pungkasnya.
Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sejumlah faktor yang membuat dana asing keluar dari pasar saham dipicu Trump effect atau pulangnya dana-dana asing ke Amerika Serikat. Para pelaku pasar melakukan risk aversion usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Nahasnya, dana asing yang pulang tersebut sebagian besar berasal dari negara berkembang seperti Indonesia. "Ada kekhawatiran kebijakan Trump yang cenderung proteksionis membuat perekonomian negara berkembang goyah, terutama bagi negara yang punya porsi ekspor besar ke AS," jelas dia di Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Seperti diketahui Trump nampaknya bersikukuh melakukan perombakan terhadap kerja sama perdagangan luar negerinya termasuk NAFTA dan TPP. Era perdagangan bebas di ujung tanduk, apalagi setelah Brexit beberapa waktu yang lalu.
The Economist Intellegence Unit bahkan menyebutkan bahwa kebijakan proteksi Trump sebagai salah satu ancaman terbesar perekonomian global saat ini. Menghadapi situasi yang surprise ini menurut dia tentu butuh persiapan yang cukup matang. "Nasib perdagangan Indonesia pun dipertaruhkan," imbuh dia.
Dia menambahkan pada satu sisi hampir 80% ekspor Indonesia secara keseluruhan adalah komoditas mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga. Di sisi yang lain Indonesia masih bergantung pada ekspor ke negara tujuan utama yaitu Amerika, China dan Jepang yang ketiganya saling berkaitan.
Lanjut dia dengan kondisi yang tak menentu, membuat investor mengatur strategi baru. Menurutnya dibanding istilah investor sedang wait and see lebih pas sebenarnya rethinking new strategy.
Investor memikirkan strategi terbaik untuk menanggulangi ketidakpastian di negara berkembang paska Trump Effect, terlebih pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun dari 5,18% menjadi 5,02% di triwulan III 2016. Sementara itu paska periode pertama Tax Amnesty, uang tebusan kembali loyo dan dana repatriasi belum bisa ditarik ke Indonesia karena berbagai alasan.
"Imbasnya perekonomian domestik kehilangan sumber pertumbuhan baru," papar dia.
Oleh karena itu dia menyarakan sebelum terlambat, otoritas moneter dan fiskal harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk di akhir tahun 2016. Hal yang perlu diwaspadai adalah stabilitas di sektor keuangan. Pasar saham diprediksi mengalami puncak gejolak saat Fed di bulan Desember mengumumkan kenaikan Fed Rate.
Menurutnya, kondisi ini sudah mulai tercium saat imbal surat utang AS bertenor 2,10 dan 30 tahun menunjukkan kenaikan yield atau imbal hasil yang sangat tinggi paska terpilihnya Trump. Lonjakan yield jadi pertanda bahwa inflasi AS dalam jangka pendek maupun panjang diprediksi akan naik. Inflasi yang meningkat jelas direspon dengan kenaikan Fed rate.
Karena Indonesia menganut paham devisa bebas maka aksi jual besar-besaran di pasar saham dan surat utang oleh investor asing, diterangkan olehnya bukan hal yang tidak mungkin. "Satu-satunya jalan untuk mencegah hal tersebut adalah memberlakukan capital control dan membuat Perpu UU Lalu Lintas Devisa Negara. Tanpanya ekonomi akan terus terombang-ambing dana asing," pungkasnya.
(akr)