Cegah Krisis Keuangan Jadi Tantangan Dewan Komisioner OJK Baru

Jum'at, 27 Januari 2017 - 19:20 WIB
Cegah Krisis Keuangan...
Cegah Krisis Keuangan Jadi Tantangan Dewan Komisioner OJK Baru
A A A
JAKARTA - Calon Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru untuk periode 2017-2022 bakal menghadapi tantangan terkait stabilitas sistem keuangan. Dimana terdapat risiko terjadinya gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri.

"Misalnya risiko capital outflows ketika US Fed Fund naik, mengakibatkan suku bunga di dalam negeri juga cenderung naik. Sementara iklim dunia usaha masih belum pulih, pada akhirnya akan mengakibatkan kenaikan NPL (rasio kredit bermasalah) di sistem Perbankan," kata Ekonom senior Kenta Institute Eric Sugandi di Jakarta, Jumat (27/1/2017).

(Baca Juga: Calon DK OJK Harus Mampu Membaca Tren dan Tantangan Ekonomi)

Oleh karena itu, menurutnya anggota DK OJK yang baru harus melakukan supervisi sistem finansial dan lembaga-lembaga keuangan domestik, baik perbankan maupun industri keuangan non bank (IKNB) secara pruden. Serta kerjasama dan koordinasi rutin dengan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan LPS untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Lanjut dia menerangkan risiko kedua adalah perkembangan inovasi keuangan, misalnya fintech yang jauh lebih cepat daripada regulasi yang ada. Oleh sebab itu, anggota DK OJK yang baru harus meningkatkan kemampuan personil OJK dan rekrutmen tenaga profesional berpengalaman dari pasar finansial dan lembaga keuangan untuk menjadi regulator dengan seleksi yang ketat.

Risiko ketiga adalah potensi terjadinya kejahatan finansial misalnya investasi bodong dan atau manipulasi pasar oleh oknum pelaku pasar finansial (misalnya pengerekan / rigging suku bunga bank. Dengan demikian, anggota DK OJK harus melakukan supervisi secara pruden dan kerjasama dengan lembaga penegak hukum seperti unit ekonomi Polri.

"Anggota DK OJK yang menjabat saat ini sudah melakukan upaya yang baik dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Yang perlu ditingkatkan adalah kecepatan OJK dalam membuat regulasi dan melakukan pengawasan terhadap inovasi-inovasi keuangan baru, misalnya fintech," paparnya.

Menurut dia krisis ekonomi di Indonesia seperti terjadi pada 1998, bermula dari buruknya sistem pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan khususnya sektor perbankan yang tidak mampu mencegah dampak krisis moneter dari negara lain.

Sejak OJK berdiri dan mulai memegang kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor perbankan pada 2014, kinerja dan stabilitas industri jasa keuangan khususnya perbankan berada dalam kondisi normal.

Total aset perbankan sampai November 2016 mencapai Rp6.582 triliun meningkat dibanding posisi 2014 sebesar Rp5.615 triliun. Sedangkan rasio permodalan (CAR) meningkat dari posisi 19,57% di Desember 2014 menjadi 23,04% pada Nopember 2016.

Sementara total kredit mencapai Rp4.285 triliun meningkat dibanding Desember 2014 sebesar Rp3.674 triliun, dengan jumlah dana pihak ketiga yang juga meningkat dari Rp4.114 triliun menjadi Rp4.837 triliun.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7804 seconds (0.1#10.140)