Alasan Freeport Ngotot Minta Pajak di IUPK Sama dengan KK

Rabu, 15 Februari 2017 - 10:58 WIB
Alasan Freeport Ngotot Minta Pajak di IUPK Sama dengan KK
Alasan Freeport Ngotot Minta Pajak di IUPK Sama dengan KK
A A A
JAKARTA - PT Freeport Indonesia hingga saat ini belum menerima keputusan pemerintah yang telah menyetujui perubahan status kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Freeport ingin p‎emerintah menyepakati syarat-syarat yang diajukannya sebelum status KK berubah jadi IUPK.

(Baca Juga: Freeport Tolak IUPK yang Diterbitkan Pemerintah)

Salah satu syarat yang diminta Freeport adalah agar aturan pajak dan royalti di IUPK bersifat naildown seperti yang ada di KK, yakni besaran pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport bersifat tetap dan tidak ada perubahan hingga masa kontrak berakhir.

Sementara, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017, aturan pajak dan royalti bersifat prevailing atau mengikuti aturan pajak yang berlaku. Sehingga, pajak yang dibayarkan Freeport berubah-ubah sesuai aturan pajak yang berlaku saat itu.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai wajar jika Freeport meminta aturan pajak bersifat naildown. Sebab, skema tersebut akan lebih memberikan kepastian untuk investor.

"Ini tentu harus kita lihat dari kedua belah pihak sebenarnya. Kalau naildown itu kan sebenarnya mengikuti kontrak. Kontraknya A, kalau aturannya B atau C tetap A dia. Itu naildown. Memberi kepastian dari sisi investor. Artinya 20-30 tahun dia akan mendapat kepastian bahwa tidak akan ada perubahan," katanya saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Rabu (15/2/2017).

Namun, kata Yustinus, aturan pajak naildown sejatinya juga memiliki risiko. Sebab, jika sejak awal pajak sudah ditetapkan tinggi maka saat aturan pajak di Indonesia berubah lebih longgar, perusahaan tidak bisa mengikuti aturan pajak yang baru tersebut.

"Misalnya, kalau dulu pajaknya 30% sekarang jadi 20% kan enggak ikut 20%. Jadi sebenarnya rugi dari sisi pajak, tapi untung dari sisi kepastian. Dia bisa memprediksi beban dia dalam waktu 20-‎30 tahun berapa," imbuh dia.

Sementara untuk prevailing, dia menilai bahwa skema pajak tersebut cukup dihindari perusahaan. Sebab, aturan pajak bisa berubah setiap waktu dan hal tersebut akan menciptakan ketidakpastian untuk investor.

"Jadi, karena tidak pasti biasanya dihindari perusahaan (prevailing). Peraturan pajak kan dua tiga tahun bisa berubah. Menciptakan ketidakpastian," ungkapnya.

Yustinus menambahkan, aturan pajak yang bersifat naildown biasanya diinginkan perusahaan yang menanamkan investasi jangka panjang. "Karena menyangkut uang gede. Nah, kalau pemegang IUP lain mungkin enggak, karena‎ investasinya juga enggak terlalu besar. Di sini sebenarnya banyak aspek yang bisa dijalani," tutur dia.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7757 seconds (0.1#10.140)