Opsi Solusi Konflik Freeport ala Ekonom ITB

Jum'at, 24 Februari 2017 - 19:02 WIB
Opsi Solusi Konflik...
Opsi Solusi Konflik Freeport ala Ekonom ITB
A A A
JAKARTA - Konflik antara PT Freeport Indonesia dan pemerintah menurut Ekonom Institut Teknologi Bandung (ITB) Anggoro Budhi Nugroho dapat diredakan lewat dua opsi langkah. Dua opsi tersebut yakni solusi kompromi dan keras.

(Baca Juga: Jokowi Siap Turun Tangan jika Freeport Terus Berulah
Opsi yang kompromistis adalah solusi saling menguntungkan kedua pihak. "Kalau mau win win solution, kita hitung ulang, tapi dengan meminimalkan ruang kerugian Indonesia," kata Pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB ini.

Langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai regulasi khusus untuk pelaksanaan Undang-undang (UU) Minerba. Prinsipnya, memberi waktu ke pihak investor untuk memenuhi kewajibannya, tapi dengan sanksi yang tegas dan jelas atas wanprestasi.

PP harus berisi aturan dispensasi umum bagi semua kontraktor kalau belum mampu membangun smelter sesuai tenggat. Jadi PP harus didesain secara umum, tidak hanya berlaku bagi Freeport. "Sebab solusi ini bisa jadi preseden dan kebingungan bagi perusahaan tambang lain. Varian regulasi apa lagi ini?," kata Anggoro.

Dalam UU Minerba yang keluar pada 2009 di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), diatur salah satunya tentang larangan ekspor konsentrat mentah dan kewajiban membangun fasilitas pemurnian (smelter) bagi perusahaan penambang mineral. "Biaya pembangunan smelter ini yang perlu dihitung ulang bersama," paparnya.

Opsi Keras


Jika pemerintah cenderung bersikeras dan menutup negosiasi ulang, lanjut dia opsi keras bisa ditempuh namun harus ditakar resikonya. "Tapi kalau tak mau jalan tengah, harus siap skenario yang mungkin terjadi," terang dia.

Dia menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus dikaji dan dipersiapkan jika pemerintah masih saling ngotot dengan Freeport. Pertama, kerugian berupa penghentian operasi yang dampaknya menambah pengangguran dan terhentinya transfer teknologi serta multiplier effect perekonomian dari operasi Freeport. Kedua, sudah siap belum teknologi kita untuk melanjutkan penambangan. "Yang ketiga, ongkos politik internasional mengingat presiden AS sekarang tipe unipolar," katanya.

Dia menambahkan, konflik dengan Freeport yang memanas belakangan ini merupakan warisan rezim sebelumnya. "Istilahnya Jokowi ketiban sampur (kejatuhan sampur) atau cuci piring dari kebijakan rezim sebelumnya," ujar dia.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.2927 seconds (0.1#10.140)