4.000 Pekerja Lokal di Freeport Hanya Digaji UMR
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN) Peradi Otto Hasibuan mengaku kaget dengan informasi yang didapatnya dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, mengenai penghasilan para pekerja PT Freeport Indonesia yang ada di Papua. Sebab, orang Indonesia yang bekerja di raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut hanya digaji sebatas upah minimum rata-rata (UMR) yang ada di Indonesia.
(Baca Juga: Lawan Freeport, Jonan Tancap Gas Kumpulkan Para Advokat
Sebagai perusahaan tambang kelas kakap, Otto berekspektasi bahwa karyawan-karyawan Freeport akan mendapat penghasilan istimewa dengan gaji di atas rata-rata. Apalagi, medan tempat mereka bekerja cukup sulit dan dengan pekerjaan berat.
"Ternyata kalau kita lihat pegawainya itu hanya mendapat UMR. Sama dengan kita ini, enggak ada istimewanya. Bagaimana di Jakarta, disana juga lebih kurang Rp3,3 juta juga gajinya. Padahal kerjanya luar biasa. Memang itu tidak melanggar hukum, tapi tidak mendapat keistimewaan rupanya. Kita pikir orang bekerja disana itu mewah," katanya di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).
(Baca Juga: Skenario Pemerintah Kuasai Saham Freeport Diyakini Tak Berjalan Mulus
Tak hanya itu, sambung Kuasa Hukum Jessica Kumala Wongso ini, dari 12.000 jumlah pegawai Freeport ternyata hanya 4.000 pekerja dari lokal. Sementara sisanya adalah ekspatriat dengan upah dolar Amerika Serikat (USD). Pegawai Freeport yang berasal dari Indonesia pun paling banyak bekerja di level paling bawah.
Dengan kenyataan tersebut, Otto berpendapat bahwa sebesar apapun keuntungan yang dihasilkan Freeport dari upayanya mengeruk tambang di Bumi Cendrawasih, maka hal tersebut tidak akan terlalu berdampak banyak terhadap ekonomi di Papua. Sebab, para ekspatriat tersebut tentu akan membawa penghasilannya ke asal mereka.
"Jadi kalau ada uang masuk pada mereka, berarti yang 8.000 orang juga akan membawa keluar dong uangnya ini. Tidak akan mendapatkan kemakmuran juga bagi rakyat Papua. Karena tertinggal uang itu hanya di tangan 4.000 orang, dan itu low class sekali," tandasnya.
(Baca Juga: Lawan Freeport, Jonan Tancap Gas Kumpulkan Para Advokat
Sebagai perusahaan tambang kelas kakap, Otto berekspektasi bahwa karyawan-karyawan Freeport akan mendapat penghasilan istimewa dengan gaji di atas rata-rata. Apalagi, medan tempat mereka bekerja cukup sulit dan dengan pekerjaan berat.
"Ternyata kalau kita lihat pegawainya itu hanya mendapat UMR. Sama dengan kita ini, enggak ada istimewanya. Bagaimana di Jakarta, disana juga lebih kurang Rp3,3 juta juga gajinya. Padahal kerjanya luar biasa. Memang itu tidak melanggar hukum, tapi tidak mendapat keistimewaan rupanya. Kita pikir orang bekerja disana itu mewah," katanya di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).
(Baca Juga: Skenario Pemerintah Kuasai Saham Freeport Diyakini Tak Berjalan Mulus
Tak hanya itu, sambung Kuasa Hukum Jessica Kumala Wongso ini, dari 12.000 jumlah pegawai Freeport ternyata hanya 4.000 pekerja dari lokal. Sementara sisanya adalah ekspatriat dengan upah dolar Amerika Serikat (USD). Pegawai Freeport yang berasal dari Indonesia pun paling banyak bekerja di level paling bawah.
Dengan kenyataan tersebut, Otto berpendapat bahwa sebesar apapun keuntungan yang dihasilkan Freeport dari upayanya mengeruk tambang di Bumi Cendrawasih, maka hal tersebut tidak akan terlalu berdampak banyak terhadap ekonomi di Papua. Sebab, para ekspatriat tersebut tentu akan membawa penghasilannya ke asal mereka.
"Jadi kalau ada uang masuk pada mereka, berarti yang 8.000 orang juga akan membawa keluar dong uangnya ini. Tidak akan mendapatkan kemakmuran juga bagi rakyat Papua. Karena tertinggal uang itu hanya di tangan 4.000 orang, dan itu low class sekali," tandasnya.
(akr)