Sejarah Freeport di Indonesia 3 (Selesai): Gunung Emas Bernama Grasberg

Selasa, 28 Februari 2017 - 05:50 WIB
Sejarah Freeport di...
Sejarah Freeport di Indonesia 3 (Selesai): Gunung Emas Bernama Grasberg
A A A
SEPULUH tahun setelah beroperasi, PT Freeport Indonesia mengalami masalah. Pasalnya, kandungan bijih di Ertsberg mulai menipis. Hal ini ditambah dengan anjloknya harga tembaga di pasaran dunia karena mulai digunakannya serat optik dan alumunium sebagai pengganti kawat tembaga saat itu. Harga tembaga pun melorot berkisar 60 sen sampai 70 sen dolar AS per pon.

Freeport pun gamang. Beberapa dewan direktur mulai berpikir untuk melego operasi mereka di Irian Jaya dan mencari peluang bisnis lain yang lebih menguntungkan. Namun, beberapa manajer Freeport yakin masih banyak tembaga di wilayah tersebut, apalagi kondisi geologis sangat mendukung keyakinan tersebut.

Di saat pergulatan batin, perubahan terjadi di induk perusahaan. Freeport Sulphur yang telah bersalin nama menjadi Freeport Minerals Company bergabung dengan McMoRan Oil and Gas. Perusahaan yang dibentuk tahun 1967 ini, merupakan akronim dari tiga pendirinya: William Kennon McWilliams Jr (“Mc”), James Robert Moffet (“Mo”), yang merupakan geolog perminyakan dan Byron McLean Rankin Jr (“Ran”), seorang ahli pemasaran dan penjualan.

Pernikahan kedua perusahaan ini di tahun 1981, membuat namanya berubah menjadi Freeport-McMoRan Incorporated. Seiring dengan itu, tampuk kepemimpinan pun berubah. James Robert Moffet atau yang dikenal dengan Jim Bob ditunjuk sebagai chief executive officer. Mereka juga melakukan perubahan landasan operasi, dengan memindahkan kantor pusat dari New York ke New Orleans di Negara Bagian Louisiana.

Mendapat posisi puncak, Jim Bob langsung memerintahkan seluruh awaknya untuk meningkatkan upaya eksplorasi. Selama bertahun-tahun, ahli geologi Freeport Dave Potter bersama rekan-rekannya hanya memandang Grasberg sebagai gunung rumput dari tepi Ertsberg.

Di saat harga tembaga menukik, harga emas menunjukkan kemilaunya, yaitu USD450 per troy ons (t.oz). Freeport pun langsung demam emas. Potter yang sebelumnya hanya memandang Grasberg, dipindahkan ke bagian eksplorasi pada operasi penambangan.

“Pikiran saya hanya tertuju pada emas. Karena saya tidak terlalu berpengalaman dalam sistem tembaga porfiri. Setelah saya pikirkan kembali, barangkali hal itu ada baiknya. Karena dengan demikian, saya tidak terpengaruh oleh pendapat yang menyatakan bahwa di sana tidak terdapat apa-apa!,” ujarnya seperti dikutip dalam buku Grasberg: Mining the richest and most remote deposit of copper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya Indonesia.

Ia pun mengambil beberapa contoh batuan dari puncak Grasberg. Setelah dianalisa, terdapat “anomali” yang kuat, bahasa geologi yang lazim dipakai dengan kandungan emas antara satu hingga dua gram per ton. Angka ini tentu saja sebuah harapan. Terlebih karena “anomali” tersebut terdapat di daerah permukaan yang luas.

Potter kemudian menancapkan alat bor untuk pertama kali di Grasberg pada tahun 1985. Freeport lantas memulai operasi penambangan di Grasberg. Tambang ini berlokasi terpencil di daerah pegunungan setinggi 4.200 meter. Lapisan udaranya pun tipis dan diselimuti oleh kabut.

Pada pagi hari, matahari menyinari Grasberg menciptakan panorama luar biasa indah pada tumpukan salju dan puncak gunung saling berbaris bersama jurang-jurang yang curam. Sebuah pemandangan yang memotivasi Freeport untuk menggalinya lebih jauh.

Dengan segera, Freeport membuat perencanaan tambang terbuka untuk menggali batuan bijih. Mereka membuat studi kelayakan awal dengan proyeksi produksi sebesar 32.000 ton per hari, kendati mereka optimistis cadangan yang ada sangat melimpah. Studi kelayakan ini dikenal dengan nama “Program 32K” untuk tahap pertama proyek Grasberg. Program 32K ini menelan biaya USD125 juta.

Strategi penambangan ini ditetapkan bahwa 20.000 ton ditambang dari bawah tanah dan 12.000 ton dari puncak Grasberg. Namun untuk membuat terowongan ke bawah tanah tidaklah mudah. Para pekerja hanya mampu membuat kemajuan beberapa inci dalam sehari. Pembuatan terowongan pun menjadi salah satu titik kritis, sehingga membahayakan investasi.

Para pekerja Filipina yang bertugas sebagai pengawas proyek memberi solusi unik atau bisa disebut berbau klenik. Mereka membawa ayam berbulu hitam (ayam cemani) dari kota dan memotong kepalanya lalu menyebarkan darah ayam di sekitar tempat kerja. Hari berikutnya, para pekerja mencapai kemajuan pesat dalam pemasangan batang besi penguat sehingga mampu dengan cepat mencapai batuan yang lebih stabil. Sejak saat itu, terowongan tersebut diberi nama terowongan Ayam Hitam. Pekerja Indonesia pun melakukan hal sama setiap kali mendapatkan kesulitan.

Selanjutnya, penambangan di Gunung Grasberg dilakukan di lima titik, dimulai dari bagian puncak. Dan hasilnya menunjukkan kadar emas dan tembaga. Yang lebih mencegangkan adalah hasil pemboran kelima. Pasalnya dari 611 meter kedalaman bor, 591 meter menembus lapisan bijih yang mengandung kadar tembaga 1,69% dan kadar emas 1,77 gram per ton. “Hasil pemboran ini yang paling hebat yang pernah ada dalam sejarah industri pertambangan,” tulis George A Mealey, penulis buku Grasberg, yang merupakan chief operating officer dari Freeport-McMoRan Copper & Gold.

Grasberg pun menjadi emas paling besar dan paling berkilau dalam mahkota Freeport. Dan tambang Grasberg mencapai produksi dengan sangat cepat. Apalagi dengan dibangunnya Heat Road pada 1993 yang memungkinkan shovel dan truk-truk berat diangkut ke tambang. Dan awal 1995, produksi Grasberg telah berlipat ganda. Pada awalnya, Operasi Grasberg rata-rata mampu menghasilkan batuan sebesar 10 ton per hari per pegawai menjadi 150 ton per hari per pegawai.

Jumlah pekerja pun meningkat hingga lebih dari 1.000 tenaga kerja, dengan operasi penambangan berjalan dalam dua shift, selama 24 jam sehari, 365 hari per tahun. Semua kerja keras ini menghasilkan satu miliar pon tembaga dan 1,4 juta t.oz emas.

Penambangan Freeport di Indonesia menjelma menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan operasi Freeport di Indonesia telah tumbuh melebihi induknya. Freeport pun beruntung dapat melakukan eksplorasi di beberapa daerah produktif dalam wilayah Kontrak Karya.

Seiring dengan cadangan tambahan dan cadangan bawah tanah di daerah yang berdekatan dan di Grasberg, Freeport-McMoRan Inc membentuk Freeport-McMoRan Copper & Gold dan mencatatkan namanya di bursa saham New York, dengan kode emiten FCX, sebagai pemilik tunggal seluruh aset di Indonesia.

Potensi ini membuat Freeport pada 30 Desember 1991, melakukan Kontrak Karya kedua. Ketika itu, posisi Menteri Pertambangan dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita. Penandatanganan KK kedua itu untuk masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Artinya Kontrak Karya Freeport baru habis pada tahun 2041.

Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Susilo Siswoutomo mengatakan kalau KK PT Freeport Indonesia habis pada 2021 dan mereka baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak tambang paling cepat pada 2019.

Kondisi Freeport pun di Indonesia semakin cerah, bahkan menjelang pergantian milenium. Ketika menulis buku Grasberg, Mealey mencatat Freeport telah menemukan lebih dari 75 lokasi yang memiliki potensi mineral. Bahkan pria yang pernah menjadi Kepala Proyek Pengembangan Tambang El Teniente di Chili itu, menyatakan cadangan bijih di sekitar Grasberg dapat ditambang lebih dari 100 tahun, merupakan kesempatan yang jarang ada di daerah pertambangan lain di muka bumi.

Eksplorasi cadangan tembaga dan emas mencapai puncaknya pada 2001 di Tambang Grasberg, dengan kapasitas produksi mencapai hingga 238 ribu ton per hari. Grasberg pun menjadi cadangan emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga terbesar ketiga di kolong langit.

Lantas bagaimana kontribusi Freeport untuk Indonesia? CEO Freeport-McMoRan Inc., Richard Adkerson mengklaim telah berkontribusi bagi perekonomian di Indonesia, khususnya wilayah Papua. “90 persen perekonomian di Papua ditopang oleh Freeport,” ujar Richard dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2/2017).

Namun Menteri ESDM Ignasius Jonan menyebut kontribusi Freeport bagi Indonesia sangat kecil, bahkan membandingkannya dengan devisa dari Tenaga Kerja Indonesia sebesar Rp144 triliun dan cukai rokok sebesar Rp139 triliun setiap tahunnya.

Kontribusi PT Freeport Indonesia (PTFI) kepada Pemerintah pada tahun 2015 hanya sebesar USD368 juta ekuivalen Rp4,9 triliun. Dalam lembar fakta kontribusi finansial PTFI yang terbitkan pada 2016, jumlah tersebut terdiri atas royalty senilai USD122 juta atau sekitar Rp1,6 triliun, pajak dan pungutan lainnya USD246 juta (Rp3,3 triliun). Bahkan kontribusi tersebut terus menurun sejak 2010. Ndilalahnya, pemasukan melalui dividen sudah tidak ada sejak tahun 2012.

Tidak hanya itu, Freeport juga mangkir dari kewajibannya membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk hasil tambangnya. Termasuk kewajiban divestasi saham sebesar 51% kepada pihak Indonesia. Sekarang mereka menolak perubahan status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kewajiban tersebut sejatinya selesai pada 2014, namun pemerintah memberi kelonggaran hingga Januari 2017.

Alih-alih taat, Freeport pun tidak mau merealisasikannya. Bahkan mereka berencana menggugat Pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase internasional. Dalil mereka, Pemerintah Indonesia telah melanggar kontrak dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 pada 12 Januari lalu. Kini, Pemerintah dan PTFI memiliki tenggat waktu 120 hari untuk menyelesaikan sengkarut tersebut.

Baca Juga: Sejarah Freeport di Indonesia 1: Dari Laporan Dozy hingga Penemuan Ertsberg Sejarah Freeport di Indonesia 2: Ertsberg dan Andil Julius Tahija
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0989 seconds (0.1#10.140)