Sejarah Freeport di Indonesia 1: Dari Laporan Dozy hingga Penemuan Ertsberg

Sabtu, 25 Februari 2017 - 07:20 WIB
Sejarah Freeport di...
Sejarah Freeport di Indonesia 1: Dari Laporan Dozy hingga Penemuan Ertsberg
A A A
PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali menjadi buah bibir. Musababnya, mereka menolak perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan status tersebut adalah aturan yang diterbitkan Pemerintah Indonesia dan harus ditaati semua perusahaan tambang yang beroperasi di republik ini, tanpa pengecualian.

Sengkarut pendapat membuat perusahaan yang berafiliasi dengan Freeport McMoRan itu, mengancam melakukan PHK massal. Tidak hanya itu, mereka juga akan memperkarakan Pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional.

PTFI dan Pemerintah Indonesia mempunyai deadline 120 hari sesuai dengan perjanjian, untuk menyelesaikan perbedaan.

Sepak terjang Freeport di Indonesia sendiri, sejatinya tidak bisa dilupakan dari geolog asal Belanda bernama Jean Jacques Dozy. Ia merupakan salah satu ahli pemotretan geologi yang pertama di dunia. Bersama rekannya, Frits Julius Wissel dan Antonie Hendrikus Colijn, ketiganya melakukan ekspedisi Cartensz pada 29 Oktober 1936. Colijn merupakan putra dari Perdana Menteri Belanda 1925-1926, Hendrikus Colijn.

Dalam ekspedisi itu, Dozy membuat catatan tentang batuan hitam kokoh berbentuk aneh, menonjol di kaki pegunungan setinggi 3.500 meter di pedalaman New Guinea (sekarang Papua). Dalam catatannya, ia menuliskan kata “Ertsberg” yang dalam bahasa Belanda berarti “Gunung Bijih”. Selain itu, Dozy juga mengenali sebuah gunung tanpa pepohonan dan menamakannya “Grasberg” yang berarti “Gunung Rumput”.

“Pada akhir perjalanan, kami menemukan cebakan bijih yang jelas mengandung mineral kalkopirit, malasit, lazulit dan bornit. Diperkirakan lebar cebakan bijih ini sekitar 100 meter. Kami juga mengambil beberapa contoh batuan,” tulis Dozy, seperti dikutip dalam buku “Grasberg: Mining the richest and most remote deposit of copper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya Indonesia”.

Karena penampilannya yang menyolok, sebagai seorang geologi, Dozy tidak bisa melewatkan soal Ertsberg. “Dengan sebelah matapun saya dapat mengetahui apa yang saya lihat. Bercah-bercah warna hijau dan biru sangat mudah dikenali. Jelas itulah bijih tembaga,” katanya.

Ia pun mengambil beberapa contoh bebatuan. Lantas dikirim ke laboratorium untuk dianalisa. Hasil analisa Dozy kemudian diterbitkan dalam Jurnal Geologi Leiden pada 1939.

Perang Dunia Kedua menghentikan semua kegiatan eksplorasi mineral di Papua. Laporan Dozy yang diterbitkan Universitas Leiden, tergeletak begitu saja di perpusatakaan saat Jerman menduduki Belanda.

Laporan ini muncul kembali pada 1959. Sebuah pertambangan Belanda bernama Oost Borneo Maatschappij (OBM) mengoperasikan tambang batubara dan nikel di Kalimantan dan Sulawesi. Namun, kedua tambang ini dinasionalisasi oleh Pemerintahan Soekarno. Dengan tersisa dana 70.000 gulden, mereka mencari nikel di New Guinea.

Insinyur pertambangan Jan van Gruisen melakukan studi kepustakaan dan menemukan laporan Dozy. Gruisen lantas mengajukan konsesi ke Pemerintah Belanda. Karena tidak mempunyai dana yang cukup untuk eksplorasi, Gruisen menghubungi kawannya insinyur pertambangan asal Amerika Serikat: Forbes Wilson, yang kelak menjadi pimpinan eksplorasi di Freeport Sulphur (nama awal Freeport McMoRan).

Wilson yang saat itu ada di Eropa bereaksi spontan atas laporan Dozy. “Saya demikian terkesan sehingga bulu kuduk saya berdiri.” Yang menarik bagi Wilson bukan saja Ertsberg, juga keseluruhan kondisi geologis yang diceritakan dalam laporan Dozy.

Laporan Dozy itu mencatat contoh batuan bijih yang diambil, pada dasarnya bijih tembaga kontak-metasomatis yang mengandung emas. Beberapa bongkahan batuan bijih dari permukaan mengandung tembaga cukup kaya (0-40%), sedangkan kandungan emas juga agak lumayan besar (0-15 gram per ton).

Wilson lantas tidak membuang waktu, kemudian menemui Dozy di Den Haag. Saat bertemu, ia lantas “menodongkan” beberapa pertanyaan. “Kabarnya anda pernah berkelana di New Guinea dan menemukan cebakan bijih, berapa besar sih cebakan tersebut?,” penasaran Wilson.

Pertanyaan Wilson membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy.

Dozy lantas menjawab tanpa berlebih-lebihan. “Begini, cebakan bijih tersebut merupakan sebuah dinding dengan ketinggian 75 meter dan dengan lebar kira-kira sama.”

Forbes Wilson menjadi orang pertama yang mampu menerawang adanya potensi anomali geologis yang ditemukan dalam ekspedisi Dozy ke pegunungan Cartensz pada 1936. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Wilson mengirim telegram ke New York yang kemudian menjadi markas besar Freeport. Ia pun mendapat kewenangan menggunakan dana sebesar USD120.000 untuk mengevaluasi dan mengambil contoh deposit di Ertsberg.

Pada akhir 1950-an, jumlah USD120.000 setara dengan USD1,2 juta saat ini. Dalam bukunya The Conquest of Copper Mountain, Wilson menyiapkan diri untuk bisa mencapai Ertsberg, termasuk menghentikan kebiasaanya merokok yang sudah dijalani lebih 30 tahun.

Pada April 1960, Wilson pun bertolak ke New Guinea. Sesampainya di Ertsberg, dirinya lebih takjub dari apa yang diceritakan Dozy. Wilson lantas menulis kesan pertamanya tentang Ertsberg:

“Ertsberg ternyata lebih besar dari yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya memandang untuk beberapa menit dengan perasaan kagum dan dengan lambat saya mendekati kaki bukit ini. Saya baru mengenal Ertsberg dalam setahun tetapi rasanya saya telah menunggu kesempatan bertemu langsung ini selama hidup saya. Dengan palu geologi, saya memecahkan beberapa bongkahan batu yang terlepas dari masa utama. Ketika lapisan luar batuan yang teroksidasi, saya kupas dengan palu. Di dalamnya terlihat kilauan warna keemasan mineral kalkopirit, yakni mineral sulfida emas dan tembaga. Semua yang dikatakan oleh Dozy kepada saya dalam rapat di Den Haag merupakan kenyataan.”

Berdasarkan 300 kilogram contoh batuan yang dibawa pulang, Ertsberg ternyata terdiri dari 40%-50% oksida besi dalam bentuk mineral magnetit; 3,5% tembaga dakan bentuk mineral kalkopirit dan bornit (keduanya sulfida besi dan tembaga). Ertsberg pun menjadi deposit tembaga terkaya yang pernah ditemukan di atas tanah.

Analisa laboratorium dari hasil yang dibawa Wilson menyatakan kandungan tembaga sebesar “13 acres”, kode yang dibuat Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Dan untuk setiap kedalaman 100 meter, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih. Jumlah perkiraan saat itu mencapai 50 juta ton bijih.

Hasil ini membuat Wilson menyebutnya “bagaikan gunung emas di bulan”. Untuk menambang dan mengolah mineral ini, diperlukan dana jutaan dolar Amerika Serikat. Wilson mendesak dewan direktur Freeport untuk segera menambang endapan bijih yang terkandung dalam gunung itu.

Ia pun meyakinkan investor dan para pemberi pinjaman untuk melakukan pemboran inti ke dalam tanah dan dengan pasti menetapkan ukuran, bentuk dan jumlah kandungan bijih dalam batuan. Karena itu Erstberg perlu dibor.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0949 seconds (0.1#10.140)