Bersaing di Level Global Perlu Sertifikasi SNI
A
A
A
JAKARTA - Era perdagangan bebas harus disikapi serius kalangan industri dan dunia usaha di dalam negeri. Industri di dalam negeri dihadapkan pada persaingan perdagangan yang sangat ketat dalam memasarkan barang dan jasa yang dihasilkan.
Diantaranya dari sisi pemenuhan standar atau spesifikasi negara tujuan ekspor maupun sistem penilaian kesesuaian untuk meningkatkan daya saing atau keberterimaannya di pasar global.
Pemerintah pun menyiapkan strategi melindungi produk dalam negeri agar mampu bersaing. Melalui Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan, pemerintah tak hanya memberlakukan kewajiban Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan (K3L) juga penerapan wajib SNI (Standar Nasional Indonesia).
Pengawasan dilakukan mulai dari pra pasar sebelum masuk ke Indonesia, melalui pengawasan di kepabeanan oleh Bea Cukai, termasuk produk dari luar negeri (impor) untuk memiliki sertifikat SNI.
Nah, untuk produk dalam negeri agar mampu bersaing di kancah internasional, Badan Standarisasi Nasional (BSN) memastikan ketersediaan SNI untuk 12 sektor dalam perjanjian MEA. Ketersediaan SNI tersebut meliputi 223 SNI Sektor Jasa Kesehatan, 20 SNI Sektor Jasa Penerbangan, 4 SNI Sektor Jasa Pariwisata, 285 SNI Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (e-ASEAN).
Selain itu, 90 SNI Sektor Jasa Logistik, 137 SNI Sektor Karet dan Produk Karet, 376 SNI Sektor Tekstil dan Produk Tekstil, 198 SNI Sektor Otomotif, 550 SNI Sektor Perikanan, 1.000 SNI Sektor Produk Berbasis Agro, 251 SNI Sektor Produk Berbasis Kayu, dan 705 SNI Sektor Elektronika. BSN terus mengembangkan SNI dan melakukan kaji ulang SNI maksimal lima tahun sekali.
Per Juni 2016, SNI yang masih berlaku sebanyak 8.981 SNI. Pengembangan dan penerapan SNI, lanjutnya, didukung oleh ketersediaan 227 lembaga sertifikasi serta 1.171 laboratorium, lembaga inspeksi, dan penyelenggara uji profisiensi yang terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) I Made Dana Tangkas menilai perlu penerapan SNI dalam setiap produk. "Kita harus ikuti ketentuan pemerintah. Di Industri automotif ada Japan standard, European standard, tapi SNI diperlukan dan harus diikuti oleh kalangan industri," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (28/2/2017).
Made menambahkan, saat ini sedang dibahas juga kesepakatan standarisasi produk otomotif di level ASEAN. "Ada 19 item yang saat ini sedang dibahas," tuturnya.
Tentunya dengan standarisasi ini diharapkan produk asal Indonesia mampu memenuhi mutu yang ditetapkan oleh negara-negara pengimpor produk asal Indonesia.
Tak hanya industri automotif, industri pelumas yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Pelumas Dalam Negeri (Aspelindo) menilai penerapan SNI untuk produk pelumas perlu guna melindungi perkembangan industri oli di dalam negeri. "Perlu adanya suatu standar untuk melindungi konsumen dan produsen pelumas dalam negeri. SNI wajib akan menjamin mutu pelumas yang beredar, sehingga konsumen akan diuntungkan," ujar Humas Aspelindo Arya Dwi Paramita.
Penerapan SNI bisa memberikan perlindungan terhadap produsen maupun konsumen, serta mencegah peredaran oli impor yang tidak jelas mutu maupun kualitasnya. "Efeknya juga dapat memajukan industri pelumas dalam negeri sekaligus meningkatkan daya saing industri dalam menghadapi MEA," tegasnya.
Saat ini, kebutuhan atas standarisasi produk makin mendesak, karena makin banyak pelumas dengan merk tidak jelas dan kualitas seadanya beredar di daerah. Untuk itu, pemberlakuan SNI ini bisa menjaga kualitas pelumas yang sudah beredar dan memberikan perlindungan terhadap industri secara keseluruhan.
Menentukan buruk atau baiknya kualitas harus ada standarnya, disitulah pentingnya SNI. "Kami sebagai produsen lebih mengutamakan kepercayaan dan perlindungan konsumen dan tentunya fair competition," kata Arya.
Asosiasi tidak mempermasalahkan masuknya produk impor pelumas asalkan barang tersebut harus memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan data BPS dan Kementerian Perindustrian, industri pelumas dalam negeri mampu memproduksi pelumas jadi sebesar 1,8 juta kiloliter per tahun. Namun, kemampuan pasar domestik untuk menyerap produksi pelumas dalam negeri hanya 47% dari total produksi pelumas jadi yang dihasilkan di dalam negeri. SNI untuk produk pelumas merupakan sebuah keharusan dan sudah dibahas dengan berbagai pihak, termasuk dari industri atau asosiasi.
Hal ini dinilai sebagai langkah tepat untuk melindungi industri dalam negeri sekaligus meningkatkan posisi tawar industri terhadap berbagai produk impor sejenis. "Setiap SNI yang ditetapkan, dalam proses perumusannya melibatkan pemangku kepentingan. Selanjutnya SNI tersebut harus diterapkan sesuai tujuan yang melandasi proses perumusannya," ujar Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Donny Purnomo.
Sejumlah manfaat penerapan SNI terkait barang dan jasa yakni masyarakat akan lebih yakin akan produk yang digunakan. Tak hanya industri besar, kalangan UKM dapat menerapkan SNI dengan mengenal terlebih dahulu Sistem Standardisasi Nasional (SSN), memahami SNI yang terkait dengan UKM seperti SNI sistem manajemen HACCP, SNI ISO 9001 dan SNI Produk; menerapkan SNI melalui pengadaan insentif UKM; serta memperoleh sertifikasi SNI (produk atau sistem manajemen keamanan pangan/HACCP).
Dengan penerapan SNI, diharapkan UKM memperoleh manfaat seperti jaminan mutu; kepercayaan dari pihak yang berkepentingan (partner usaha, regulator). Juga meningkatkan daya saing produk, efisiensi proses produksi, keteraturan dalam organisasi UKM, mampu mengidentifikasi bila ada masalah, serta memberikan perlindungan keselamatan, keamanan atau kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
Untuk mencapai produk atau jasa yang bermutu diperlukan standar yang menjadi ukuran yang telah disepakati semua stakeholder dan ditetapkan pemerintah. Karena itu diperlukan program perumusan standar yang sesuai dengan kebutuhan nasional sehingga tercapai harmonisasi standar regional maupun internasional.
Dengan terpenuhinya SNI, diharapkan sektor UKM dapat meningkatkan dan menambah keunggulan kompetitif produknya dalam persaingan perdagangan global.
Badan Standarisasi Nasional (BSN) menekankan pentingnya unsur pembinaan terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan terkait penerapan SNI pada UKM. Sebab, tanpa SNI, produk lokal yang tak memiliki daya saing di kancah global akan tergilas oleh produk dari negara lain yang jauh lebih kompetitif. Diharapkan, melalui pembinaan yang dilakukan oleh BSN kepada pelaku usaha, tujuan dari penerapan SNI tersebut bisa dipahami.
Penerapan SNI, selain melindungi konsumen dari masalah keamanan, keselamatan, kesehatan, dan fungsi kelestarian lingkungan hidup, SNI juga mampu meningkatkan daya saing produk lokal di kancah global.
Seperti yang diberlakukan di negara maju seperti di kawasan Eropa dan Amerika, produk Indonesia juga perlu distandarisasi, sehingga masyarakat mendapatkan jaminan kualitas dan keamanan produk. Penerapan SNI bahkan memfasilitasi inovasi supaya bisa mengarah kepada hilirisasi. Dengan hilirisasi akan mendorong produk massal, yang berpeluang membuka lapangan kerja baru.
Diantaranya dari sisi pemenuhan standar atau spesifikasi negara tujuan ekspor maupun sistem penilaian kesesuaian untuk meningkatkan daya saing atau keberterimaannya di pasar global.
Pemerintah pun menyiapkan strategi melindungi produk dalam negeri agar mampu bersaing. Melalui Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan, pemerintah tak hanya memberlakukan kewajiban Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan (K3L) juga penerapan wajib SNI (Standar Nasional Indonesia).
Pengawasan dilakukan mulai dari pra pasar sebelum masuk ke Indonesia, melalui pengawasan di kepabeanan oleh Bea Cukai, termasuk produk dari luar negeri (impor) untuk memiliki sertifikat SNI.
Nah, untuk produk dalam negeri agar mampu bersaing di kancah internasional, Badan Standarisasi Nasional (BSN) memastikan ketersediaan SNI untuk 12 sektor dalam perjanjian MEA. Ketersediaan SNI tersebut meliputi 223 SNI Sektor Jasa Kesehatan, 20 SNI Sektor Jasa Penerbangan, 4 SNI Sektor Jasa Pariwisata, 285 SNI Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (e-ASEAN).
Selain itu, 90 SNI Sektor Jasa Logistik, 137 SNI Sektor Karet dan Produk Karet, 376 SNI Sektor Tekstil dan Produk Tekstil, 198 SNI Sektor Otomotif, 550 SNI Sektor Perikanan, 1.000 SNI Sektor Produk Berbasis Agro, 251 SNI Sektor Produk Berbasis Kayu, dan 705 SNI Sektor Elektronika. BSN terus mengembangkan SNI dan melakukan kaji ulang SNI maksimal lima tahun sekali.
Per Juni 2016, SNI yang masih berlaku sebanyak 8.981 SNI. Pengembangan dan penerapan SNI, lanjutnya, didukung oleh ketersediaan 227 lembaga sertifikasi serta 1.171 laboratorium, lembaga inspeksi, dan penyelenggara uji profisiensi yang terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) I Made Dana Tangkas menilai perlu penerapan SNI dalam setiap produk. "Kita harus ikuti ketentuan pemerintah. Di Industri automotif ada Japan standard, European standard, tapi SNI diperlukan dan harus diikuti oleh kalangan industri," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (28/2/2017).
Made menambahkan, saat ini sedang dibahas juga kesepakatan standarisasi produk otomotif di level ASEAN. "Ada 19 item yang saat ini sedang dibahas," tuturnya.
Tentunya dengan standarisasi ini diharapkan produk asal Indonesia mampu memenuhi mutu yang ditetapkan oleh negara-negara pengimpor produk asal Indonesia.
Tak hanya industri automotif, industri pelumas yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Pelumas Dalam Negeri (Aspelindo) menilai penerapan SNI untuk produk pelumas perlu guna melindungi perkembangan industri oli di dalam negeri. "Perlu adanya suatu standar untuk melindungi konsumen dan produsen pelumas dalam negeri. SNI wajib akan menjamin mutu pelumas yang beredar, sehingga konsumen akan diuntungkan," ujar Humas Aspelindo Arya Dwi Paramita.
Penerapan SNI bisa memberikan perlindungan terhadap produsen maupun konsumen, serta mencegah peredaran oli impor yang tidak jelas mutu maupun kualitasnya. "Efeknya juga dapat memajukan industri pelumas dalam negeri sekaligus meningkatkan daya saing industri dalam menghadapi MEA," tegasnya.
Saat ini, kebutuhan atas standarisasi produk makin mendesak, karena makin banyak pelumas dengan merk tidak jelas dan kualitas seadanya beredar di daerah. Untuk itu, pemberlakuan SNI ini bisa menjaga kualitas pelumas yang sudah beredar dan memberikan perlindungan terhadap industri secara keseluruhan.
Menentukan buruk atau baiknya kualitas harus ada standarnya, disitulah pentingnya SNI. "Kami sebagai produsen lebih mengutamakan kepercayaan dan perlindungan konsumen dan tentunya fair competition," kata Arya.
Asosiasi tidak mempermasalahkan masuknya produk impor pelumas asalkan barang tersebut harus memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan data BPS dan Kementerian Perindustrian, industri pelumas dalam negeri mampu memproduksi pelumas jadi sebesar 1,8 juta kiloliter per tahun. Namun, kemampuan pasar domestik untuk menyerap produksi pelumas dalam negeri hanya 47% dari total produksi pelumas jadi yang dihasilkan di dalam negeri. SNI untuk produk pelumas merupakan sebuah keharusan dan sudah dibahas dengan berbagai pihak, termasuk dari industri atau asosiasi.
Hal ini dinilai sebagai langkah tepat untuk melindungi industri dalam negeri sekaligus meningkatkan posisi tawar industri terhadap berbagai produk impor sejenis. "Setiap SNI yang ditetapkan, dalam proses perumusannya melibatkan pemangku kepentingan. Selanjutnya SNI tersebut harus diterapkan sesuai tujuan yang melandasi proses perumusannya," ujar Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Donny Purnomo.
Sejumlah manfaat penerapan SNI terkait barang dan jasa yakni masyarakat akan lebih yakin akan produk yang digunakan. Tak hanya industri besar, kalangan UKM dapat menerapkan SNI dengan mengenal terlebih dahulu Sistem Standardisasi Nasional (SSN), memahami SNI yang terkait dengan UKM seperti SNI sistem manajemen HACCP, SNI ISO 9001 dan SNI Produk; menerapkan SNI melalui pengadaan insentif UKM; serta memperoleh sertifikasi SNI (produk atau sistem manajemen keamanan pangan/HACCP).
Dengan penerapan SNI, diharapkan UKM memperoleh manfaat seperti jaminan mutu; kepercayaan dari pihak yang berkepentingan (partner usaha, regulator). Juga meningkatkan daya saing produk, efisiensi proses produksi, keteraturan dalam organisasi UKM, mampu mengidentifikasi bila ada masalah, serta memberikan perlindungan keselamatan, keamanan atau kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
Untuk mencapai produk atau jasa yang bermutu diperlukan standar yang menjadi ukuran yang telah disepakati semua stakeholder dan ditetapkan pemerintah. Karena itu diperlukan program perumusan standar yang sesuai dengan kebutuhan nasional sehingga tercapai harmonisasi standar regional maupun internasional.
Dengan terpenuhinya SNI, diharapkan sektor UKM dapat meningkatkan dan menambah keunggulan kompetitif produknya dalam persaingan perdagangan global.
Badan Standarisasi Nasional (BSN) menekankan pentingnya unsur pembinaan terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan terkait penerapan SNI pada UKM. Sebab, tanpa SNI, produk lokal yang tak memiliki daya saing di kancah global akan tergilas oleh produk dari negara lain yang jauh lebih kompetitif. Diharapkan, melalui pembinaan yang dilakukan oleh BSN kepada pelaku usaha, tujuan dari penerapan SNI tersebut bisa dipahami.
Penerapan SNI, selain melindungi konsumen dari masalah keamanan, keselamatan, kesehatan, dan fungsi kelestarian lingkungan hidup, SNI juga mampu meningkatkan daya saing produk lokal di kancah global.
Seperti yang diberlakukan di negara maju seperti di kawasan Eropa dan Amerika, produk Indonesia juga perlu distandarisasi, sehingga masyarakat mendapatkan jaminan kualitas dan keamanan produk. Penerapan SNI bahkan memfasilitasi inovasi supaya bisa mengarah kepada hilirisasi. Dengan hilirisasi akan mendorong produk massal, yang berpeluang membuka lapangan kerja baru.
(ven)