Gurih Bisnis Impor Gas di Balik Rencana Holding BUMN Migas
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai ada maksud lain dari rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membentuk holding BUMN migas. Saat ini, proses pembentukan holding BUMN migas sendiri masih dalam proses dimana PT Pertamina (Persero) akan menjadi induk holding dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) akan berada di bawah Pertamina.
Dia menilai, gurihnya bisnis impor gas yang tinggi menjadi tujuan di balik holdingisasi migas. Bahkan, sejak 2013 Pertamina telah menandatangani perjanjian impor gas dari beberapa negara.
"Syahwat untuk impor gas ini tinggi sekali. Itu tahun 2013 tanpa banyak orang tahu, sudah ada kontrak pengadaan gas. 10.2 juta ton metrik," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (8/3/2017).
Menurutnya kontrak tersebut akan direalisasi pada 2019. Kontrak tersebut bersifat wajib karena Pertamina harus membayar jika ada pembatalan. Bahkan, sambung Faisal, Pertamina sudah ancang-ancang dirikan trading company gas di Singapura. "Karena nantinya tidak akan mampu diserap dalam negeri impor tersebut. Karena kontrak yang ada cukup besar," imbuh dia.
Dengan adanya holding, sambung mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini, maka Pertamina akan mempunyai aset berupa pipa-pipa gas yang dimiliki PGN. Nantinya, bisnis impor gas dipegang langsung oleh Pertamina dan PGN bagian penjualannya.
"Bisnis minyak akan turun, digantikan oleh gas. Bauran energi pembangkit ini makin ke gas, nah ini bisnis lezat sekali. Makanya banyak sekarang yang terjun dan menyemut di gas," tegasnya.
Lebih jauh dia menyampaikan, cita-cita Presiden Jokowi memberantas mafia sektor energi bisa hancur melalui ide holding tersebut. Pasalnya, mafia minyak sudah beralih ke gas.
"Kita sudah lelah berantas Petral nah habis ini kemudian akan ada Petral lagi tapi versi gas. Cara mulus selamatkan kontrak itu adalah dengan holdingisasi karena pipa-pipa PGN menjadi milik Pertamina atau bisa dibilang outletnya pakai fasilitas PGN. Gas dibeli dari luar akan dijual kembali. Dengan harga rugi. Potential loss itu bisa. Sedih saya," tandasnya.
Dia menilai, gurihnya bisnis impor gas yang tinggi menjadi tujuan di balik holdingisasi migas. Bahkan, sejak 2013 Pertamina telah menandatangani perjanjian impor gas dari beberapa negara.
"Syahwat untuk impor gas ini tinggi sekali. Itu tahun 2013 tanpa banyak orang tahu, sudah ada kontrak pengadaan gas. 10.2 juta ton metrik," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (8/3/2017).
Menurutnya kontrak tersebut akan direalisasi pada 2019. Kontrak tersebut bersifat wajib karena Pertamina harus membayar jika ada pembatalan. Bahkan, sambung Faisal, Pertamina sudah ancang-ancang dirikan trading company gas di Singapura. "Karena nantinya tidak akan mampu diserap dalam negeri impor tersebut. Karena kontrak yang ada cukup besar," imbuh dia.
Dengan adanya holding, sambung mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini, maka Pertamina akan mempunyai aset berupa pipa-pipa gas yang dimiliki PGN. Nantinya, bisnis impor gas dipegang langsung oleh Pertamina dan PGN bagian penjualannya.
"Bisnis minyak akan turun, digantikan oleh gas. Bauran energi pembangkit ini makin ke gas, nah ini bisnis lezat sekali. Makanya banyak sekarang yang terjun dan menyemut di gas," tegasnya.
Lebih jauh dia menyampaikan, cita-cita Presiden Jokowi memberantas mafia sektor energi bisa hancur melalui ide holding tersebut. Pasalnya, mafia minyak sudah beralih ke gas.
"Kita sudah lelah berantas Petral nah habis ini kemudian akan ada Petral lagi tapi versi gas. Cara mulus selamatkan kontrak itu adalah dengan holdingisasi karena pipa-pipa PGN menjadi milik Pertamina atau bisa dibilang outletnya pakai fasilitas PGN. Gas dibeli dari luar akan dijual kembali. Dengan harga rugi. Potential loss itu bisa. Sedih saya," tandasnya.
(akr)