Transformasi Digital
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
WHY: ”Digital Vampire”
Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan ada makhluk mengerikan bernama ”digital vampire” yang bergentayangan mencari mangsa.
Mereka berkeliaran siap menghisap darah setiap perusahaan besar (incumbent) yang memiliki model bisnis tak beres. WhatsApp, Uber, self-driving car milik Google, fintech, Amazon Air (drone delivery service milik Amazon), atau komputer cerdas Watson milik IBM adalah contoh kecil digital vampire yang kini terus mengintai bak malaikat pencabut nyawa.
Semua incumbents di seluruh dunia kini paranoid dengan kehadiran digital vampire ini karena mereka begitu masif mendisrupsi industri dan begitu cepat menguasai industri tersebut. Di Tanah Air, kita menyaksikan bagaimana digital vampire seperti Grab dan Uber dalam waktu singkat menggoyahkan dominasi incumbent seperti perusahaan taksi Blue Bird. Belakangan memang Blue Bird keluar dengan layanan MyBlueBird untuk merespons disrupsi, namun itu sudah terlambat.
Bukan kebetulan jika semua perusahaan itu menggunakan teknologi digital sebagai ”senjata pencabut nyawa”. Ya, karena seperti dikatakan Marc Andresseen, pendiri Netscape mesin pencari pertama, ”digital is eating the world”. Kalau tidak mendigitalisasi bisnis Anda, tinggal tunggu waktu bisnis Anda akan punah. Itu sebabnya saya menyebutnya digital vampire karena mereka menggunakan teknologi digital untuk mendisrupsi industri dan membunuh pesaing- pesaingnya.
WHAT: "Tak Melulu Teknologi”
Apa yang harus dilakukan oleh incumbent seperti Blue Bird untuk merespons gelombang disrupsi yang kian menggila? Agenda terbesar perusahaan di tengah disrupsi digital yang kian mengganas adalah melakukan transformasi digital (atau sering juga disebut transformasi bisnis digital/ digital business transformation). Perusahaan harus melakukan perubahan organisasi dengan memanfaatkan teknologi digital dan menerapkan model bisnis berbasis digital untuk mendapatkan kembali pijakan daya saing mereka.
Apa yang membedakan transformasi digital dengan transformasi organisasi biasa? Kuncinya, transformasi tersebut haruslah memiliki fondasi digital yang kuat dan sejumlah teknologi digital yang digunakan perusahaan (mulai dari cloud computing, digital mobility, location-based services, big data & analitics, social media, internet of things/IoT, machine learning, hingga artificial intelligence) memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi penciptaan daya saing perusahaan. Namun, perlu diingat, transformasi digital bukanlah melulu masalah teknologi.
Transformasi digital adalah sebuah transformasi organisasi menyeluruh yang mencakup perubahan aspek-aspek krusial lain seperti strategi, proses, SDM dan budaya, dan leadership. Ini yang tak banyak dipahami perusahaan, mereka berpikir, dengan mengadopsi cloud computing, memanfaatkan big data, atau menciptakan aplikasi digital kemudian semua persoalan beres. Rupanya tak sesederhana itu.
HOW: ”Tiga Pilar”
Lalu, bagaimana menggulirkan transformasi digital? Mau tak mau incumbent harus supercepat memanfaatkan teknologi digital untuk mewujudkan tiga tujuan elementer: memperkaya pengalaman konsumen (enriching customer experience), mentransformasi proses operasi (transforming operational process), dan menemukan kembali model bisnis (reinventing business model) yang relevan. Inilah tiga pilar transformasi digital.
1. Enriching Customer Experience
Incumbents harus menjadikan teknologi digital untuk mendekatkan brand dengan konsumen dan memberikan extraordinary experience kepada mereka. Penciptaan pengalaman yang luar biasa ini dilakukan dengan berbagai cara. General Electric (GE) misalnya, memanfaatkan data kliennya (dalam bentuk digital) yang demikian kaya dan menggunakan big data analytics untuk mengotomasi, mengoptimasi, dan memacu produktivitas mesin-mesin industrinya seperti pembangkit listrik, turbin pesawat, mesin manufacturing, hingga lokomotif.
GE meluncurkan GE Predix, sebuah platform berbasis cloud untuk aplikasi mesin-mesin industrial, semacam iOS atau Android untuk mesin-mesin industrial. Keunggulan GE di sini terletak pada kemampuan mengolah data (big data analytic) untuk menghasilkan otomasi mesin-mesin industri. Lokomotif milik GE misalnya kini tak perlu masinis karena dikendalikan oleh perangkat lunak yang digerakkan algoritma (machine learning).
2. Transforming Operational Process
Incumbent juga bisa menggunakan teknologi digital untuk mentransformasi proses operasional untuk mendongkrak efisiensi, produktivitas, dan inovasi di dalam perusahaan. Dengan melakukan hal ini, perusahaan akan menikmati keunggulan operasi digital (digital operation advantages) yang sulit ditiru oleh pesaing. Amazon dan Google misalnya memiliki digital operation advantages berupa proses pengembangan produk yang supercepat, kolaborasi virtual antarkaryawan, atau agilitas luar biasa dalam merespons perubahan.
Dulu pada 1970-an metode lean manufacturing atau just in time pernah menjadi faktor kunci keunggulan Toyota dalam melawan produsen-produsen automotif Amerika Serikat. Kini proses unik yang digerakkan oleh platform digital (digitally-enabled process) seperti yang dimiliki Amazon atau Google menjadi sumber keunggulan baru perusahaan.
3. Reinventing Business Model
Incumbent juga bisa menggunakan teknologi digital untuk menemukan kembali atau mencipta model bisnis baru. Dengan new digital business model mereka akan mampu merombak industri lama seperti dalam kasus Uber. Incumbents juga bisa menciptakan produk substitusi (smartphones menggantikan kamera atau Wikipedia menggantikan Ensiklopedia Britannica). Atau, mereka bisa menghasilkan bisnis-bisnis baru seperti yang dinikmati Nike+. Melalui Nike+, Nike mengoneksikan sepatunya dengan sensor digital, platform internet, gadget (seperti iPod, iPhone, dan Xbox), GPS Watch, dan layanan seperti FuelBand untuk mengubah model bisnisnya.
Melalui model bisnis baru, incumbent yang telah menguasai pasar puluhan tahun ini tak sekadar jualan sepatu, tapi juga jualan software, hardware, data, dan add-on services ke konsumen. Dengan layanan ini, konsumen tahu berapa kalori yang telah dibakar saat jogging; mereka juga bisa berbagi rute dan kinerja latihan via Twitter; konsumen bahkan bisa mendapatkan training plan dari ”coach” digital. Dalam menemukan kembali model bisnis, sebagai incumbent, mereka bisa mengambil posisi defensif atau ofensif.
Namun, seperti dikatakan Sun Tzu, ”the best defense is a good offense”, daripada didisrupsi oleh startup, lebih baik mereka mendisrupsi dirinya sendiri. Dan, kemudian mendapatkan kekuasaan mereka kembali.
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
WHY: ”Digital Vampire”
Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan ada makhluk mengerikan bernama ”digital vampire” yang bergentayangan mencari mangsa.
Mereka berkeliaran siap menghisap darah setiap perusahaan besar (incumbent) yang memiliki model bisnis tak beres. WhatsApp, Uber, self-driving car milik Google, fintech, Amazon Air (drone delivery service milik Amazon), atau komputer cerdas Watson milik IBM adalah contoh kecil digital vampire yang kini terus mengintai bak malaikat pencabut nyawa.
Semua incumbents di seluruh dunia kini paranoid dengan kehadiran digital vampire ini karena mereka begitu masif mendisrupsi industri dan begitu cepat menguasai industri tersebut. Di Tanah Air, kita menyaksikan bagaimana digital vampire seperti Grab dan Uber dalam waktu singkat menggoyahkan dominasi incumbent seperti perusahaan taksi Blue Bird. Belakangan memang Blue Bird keluar dengan layanan MyBlueBird untuk merespons disrupsi, namun itu sudah terlambat.
Bukan kebetulan jika semua perusahaan itu menggunakan teknologi digital sebagai ”senjata pencabut nyawa”. Ya, karena seperti dikatakan Marc Andresseen, pendiri Netscape mesin pencari pertama, ”digital is eating the world”. Kalau tidak mendigitalisasi bisnis Anda, tinggal tunggu waktu bisnis Anda akan punah. Itu sebabnya saya menyebutnya digital vampire karena mereka menggunakan teknologi digital untuk mendisrupsi industri dan membunuh pesaing- pesaingnya.
WHAT: "Tak Melulu Teknologi”
Apa yang harus dilakukan oleh incumbent seperti Blue Bird untuk merespons gelombang disrupsi yang kian menggila? Agenda terbesar perusahaan di tengah disrupsi digital yang kian mengganas adalah melakukan transformasi digital (atau sering juga disebut transformasi bisnis digital/ digital business transformation). Perusahaan harus melakukan perubahan organisasi dengan memanfaatkan teknologi digital dan menerapkan model bisnis berbasis digital untuk mendapatkan kembali pijakan daya saing mereka.
Apa yang membedakan transformasi digital dengan transformasi organisasi biasa? Kuncinya, transformasi tersebut haruslah memiliki fondasi digital yang kuat dan sejumlah teknologi digital yang digunakan perusahaan (mulai dari cloud computing, digital mobility, location-based services, big data & analitics, social media, internet of things/IoT, machine learning, hingga artificial intelligence) memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi penciptaan daya saing perusahaan. Namun, perlu diingat, transformasi digital bukanlah melulu masalah teknologi.
Transformasi digital adalah sebuah transformasi organisasi menyeluruh yang mencakup perubahan aspek-aspek krusial lain seperti strategi, proses, SDM dan budaya, dan leadership. Ini yang tak banyak dipahami perusahaan, mereka berpikir, dengan mengadopsi cloud computing, memanfaatkan big data, atau menciptakan aplikasi digital kemudian semua persoalan beres. Rupanya tak sesederhana itu.
HOW: ”Tiga Pilar”
Lalu, bagaimana menggulirkan transformasi digital? Mau tak mau incumbent harus supercepat memanfaatkan teknologi digital untuk mewujudkan tiga tujuan elementer: memperkaya pengalaman konsumen (enriching customer experience), mentransformasi proses operasi (transforming operational process), dan menemukan kembali model bisnis (reinventing business model) yang relevan. Inilah tiga pilar transformasi digital.
1. Enriching Customer Experience
Incumbents harus menjadikan teknologi digital untuk mendekatkan brand dengan konsumen dan memberikan extraordinary experience kepada mereka. Penciptaan pengalaman yang luar biasa ini dilakukan dengan berbagai cara. General Electric (GE) misalnya, memanfaatkan data kliennya (dalam bentuk digital) yang demikian kaya dan menggunakan big data analytics untuk mengotomasi, mengoptimasi, dan memacu produktivitas mesin-mesin industrinya seperti pembangkit listrik, turbin pesawat, mesin manufacturing, hingga lokomotif.
GE meluncurkan GE Predix, sebuah platform berbasis cloud untuk aplikasi mesin-mesin industrial, semacam iOS atau Android untuk mesin-mesin industrial. Keunggulan GE di sini terletak pada kemampuan mengolah data (big data analytic) untuk menghasilkan otomasi mesin-mesin industri. Lokomotif milik GE misalnya kini tak perlu masinis karena dikendalikan oleh perangkat lunak yang digerakkan algoritma (machine learning).
2. Transforming Operational Process
Incumbent juga bisa menggunakan teknologi digital untuk mentransformasi proses operasional untuk mendongkrak efisiensi, produktivitas, dan inovasi di dalam perusahaan. Dengan melakukan hal ini, perusahaan akan menikmati keunggulan operasi digital (digital operation advantages) yang sulit ditiru oleh pesaing. Amazon dan Google misalnya memiliki digital operation advantages berupa proses pengembangan produk yang supercepat, kolaborasi virtual antarkaryawan, atau agilitas luar biasa dalam merespons perubahan.
Dulu pada 1970-an metode lean manufacturing atau just in time pernah menjadi faktor kunci keunggulan Toyota dalam melawan produsen-produsen automotif Amerika Serikat. Kini proses unik yang digerakkan oleh platform digital (digitally-enabled process) seperti yang dimiliki Amazon atau Google menjadi sumber keunggulan baru perusahaan.
3. Reinventing Business Model
Incumbent juga bisa menggunakan teknologi digital untuk menemukan kembali atau mencipta model bisnis baru. Dengan new digital business model mereka akan mampu merombak industri lama seperti dalam kasus Uber. Incumbents juga bisa menciptakan produk substitusi (smartphones menggantikan kamera atau Wikipedia menggantikan Ensiklopedia Britannica). Atau, mereka bisa menghasilkan bisnis-bisnis baru seperti yang dinikmati Nike+. Melalui Nike+, Nike mengoneksikan sepatunya dengan sensor digital, platform internet, gadget (seperti iPod, iPhone, dan Xbox), GPS Watch, dan layanan seperti FuelBand untuk mengubah model bisnisnya.
Melalui model bisnis baru, incumbent yang telah menguasai pasar puluhan tahun ini tak sekadar jualan sepatu, tapi juga jualan software, hardware, data, dan add-on services ke konsumen. Dengan layanan ini, konsumen tahu berapa kalori yang telah dibakar saat jogging; mereka juga bisa berbagi rute dan kinerja latihan via Twitter; konsumen bahkan bisa mendapatkan training plan dari ”coach” digital. Dalam menemukan kembali model bisnis, sebagai incumbent, mereka bisa mengambil posisi defensif atau ofensif.
Namun, seperti dikatakan Sun Tzu, ”the best defense is a good offense”, daripada didisrupsi oleh startup, lebih baik mereka mendisrupsi dirinya sendiri. Dan, kemudian mendapatkan kekuasaan mereka kembali.
(dmd)