ADB: Pertumbuhan Ekonomi Asia Melambat, Asia Tenggara Pesat
A
A
A
MANILA - Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menyatakan pertumbuhan ekonomi Asia pada tahun ini tidak secepat yang diperkirakan. Penyebabnya ketidakpastian kebijakan di negara maju dan arus keluar modal (capital outflow).
Melansir dari Nikkei Asian Review, Kamis (6/4/2017), ADB yang bermarkas di Manila, Filipina, merilis outlook terbarunya. Dimana pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan melambat 0,1% menjadi 5,7% pada tahun 2017 dan 2018. Angka ini merupakan yang paling lambat sejak tahun 2001.
ADB yang terdiri dari 67 negara menyatakan pertumbuhan ekonomi China yang berkontribusi 60% bagi perekonomian Asia, akan melambat 0,2 poin menjadi 6,5% pada 2017 dan kemudian semakin lambat menjadi 6,2% pada 2018.
Perlambatan ekonomi China karena Beijing menggeser kebijakan ekonomi. Dari semula mengutamakan konsumsi, kini mendorong ke arah stabilitas keuangan, seperti menurunkan utang perusahaan yang tinggi dan menguatkan perbankan mereka.
Menurut ADB, perlambatan ekonomi China akan membenani pertumbuhan ekonomi Asia Timur. Begitu pula dengan pertumbuhan Korea Selatan yang melambat 0,2 poin menjadi 2,5% pada 2017. Sementara pertumbuhan ekonomi Taiwan diperkirakan meningkat 0,3 poin menjadi 1,8%, berkat belanja pemerintah dalam mengangkat ekonomi lokal.
Sementara 30 negara Asia lainnya diperkirakan akan tumbuh lebih cepat pada tahun ini, karena didukung permintaan luar yang lebih tinggi akibat mulai pulihnya harga komoditas global.
ADB melihat India, negara ekonomi terbesar kedua di Asia, akan mengalami pertumbuhan ekonomi 7,4% tahun ini dan 7,6% pada tahun berikutnya. Hal ini disebabkan meningkatnya prospek bisnis dan investasi di Negeri Anak Benua, setelah pemerintah melakukan deregulasi dan reformasi pajak.
Bagaimana dengan kawasan Asia Tenggara? ADB menerawang bahwa kawasan ini akan tumbuh lebih cepat. “Dengan hasil pertanian, peningkatan ekspor, mulai stabilnya perekonomian dan industri, membuat ekonomi Asia Tenggara akan tumbuh lebih baik tahun ini,” tulis mereka.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam akan meningkat dari 6,2% pada 2016 menjadi 6,5% pada tahun ini. Dan negara yang akan menerima manfaat dari mulai naiknya harga komoditas adalah Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.
Namun Filipina yang sempat “mengaum” di tahun lalu, bahkan disebut-sebut macan ekonomi Asia baru, akan mengalami perlambatan ekonomi. Negerinya Rodrigo Duterte itu akan melambat dari 6,8% pada 2016 menjadi 6,4% di tahun ini. Sedangkan Thailand akan bangkit dari 3,2% pada 2016 menjadi 3,5% pada 2017.
Sementara itu, pemulihan harga minyak dunia memberi berkah bagi negara-negara Asia Tengah. Mereka akan mengalami pertumbuhan ekonomi 3,1% pada tahun ini dan meningkat 3,5% untuk 2018. Sebelumnya kawasan Asia Tengah yang terdiri dari negara-negara pecahan Uni Soviet, pertumbuhan ekonominya hanya 2,1% di 2016.
Adapun ekonomi wilayah Pasifik juga akan rebound di 2017, dengan Papua New Guinea yang pulih dari konstraksi. Negara tetangga ini akan mengambil untung dari sektor minyak dan gas.
Meski demikian, ADB tetap mewanti-wanti tentang kemungkinan kenaikan suku bunga Amerika Serikat oleh Federal Reserve, yang akan mengganggu prospek ekonomi Asia. Tahun lalu, bank sentral AS menaikkan suku bunga overnight untuk ketiga kalinya sejak krisis keuangan global.
ADB memperingatkan bahwa lonjakan inflasi di AS baru-baru ini, bisa mendorong The Fed mempercepat laju pengetatan moneter, dan ekonomi Asia dengan utang perusahaan dan belanja rumah tangga yang tinggi rentan terhadap setiap guncangan keuangan tersebut.
“Adanya pergeseran kebijakan, terutama perdagangan di AS bisa menciptakan ketidakpastian bagi investasi bisnis dan pertumbuhan ekspor di negara-negara berkembang di Asia,” kata ADB.
Pengetatan moneter AS bisa mengirim mata uang Asia jatuh terhadap dolar dan perbaikan lebih lanjut di perekonomian AS akan memicu arus keluar modal dari Asia alias capital outflow. Mengantisipasi itu, ADB mendesak pemerintah negara-negara di Asia meningkatkan upaya dalam rangka mengurangi risiko sistemik.
Melansir dari Nikkei Asian Review, Kamis (6/4/2017), ADB yang bermarkas di Manila, Filipina, merilis outlook terbarunya. Dimana pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan melambat 0,1% menjadi 5,7% pada tahun 2017 dan 2018. Angka ini merupakan yang paling lambat sejak tahun 2001.
ADB yang terdiri dari 67 negara menyatakan pertumbuhan ekonomi China yang berkontribusi 60% bagi perekonomian Asia, akan melambat 0,2 poin menjadi 6,5% pada 2017 dan kemudian semakin lambat menjadi 6,2% pada 2018.
Perlambatan ekonomi China karena Beijing menggeser kebijakan ekonomi. Dari semula mengutamakan konsumsi, kini mendorong ke arah stabilitas keuangan, seperti menurunkan utang perusahaan yang tinggi dan menguatkan perbankan mereka.
Menurut ADB, perlambatan ekonomi China akan membenani pertumbuhan ekonomi Asia Timur. Begitu pula dengan pertumbuhan Korea Selatan yang melambat 0,2 poin menjadi 2,5% pada 2017. Sementara pertumbuhan ekonomi Taiwan diperkirakan meningkat 0,3 poin menjadi 1,8%, berkat belanja pemerintah dalam mengangkat ekonomi lokal.
Sementara 30 negara Asia lainnya diperkirakan akan tumbuh lebih cepat pada tahun ini, karena didukung permintaan luar yang lebih tinggi akibat mulai pulihnya harga komoditas global.
ADB melihat India, negara ekonomi terbesar kedua di Asia, akan mengalami pertumbuhan ekonomi 7,4% tahun ini dan 7,6% pada tahun berikutnya. Hal ini disebabkan meningkatnya prospek bisnis dan investasi di Negeri Anak Benua, setelah pemerintah melakukan deregulasi dan reformasi pajak.
Bagaimana dengan kawasan Asia Tenggara? ADB menerawang bahwa kawasan ini akan tumbuh lebih cepat. “Dengan hasil pertanian, peningkatan ekspor, mulai stabilnya perekonomian dan industri, membuat ekonomi Asia Tenggara akan tumbuh lebih baik tahun ini,” tulis mereka.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam akan meningkat dari 6,2% pada 2016 menjadi 6,5% pada tahun ini. Dan negara yang akan menerima manfaat dari mulai naiknya harga komoditas adalah Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.
Namun Filipina yang sempat “mengaum” di tahun lalu, bahkan disebut-sebut macan ekonomi Asia baru, akan mengalami perlambatan ekonomi. Negerinya Rodrigo Duterte itu akan melambat dari 6,8% pada 2016 menjadi 6,4% di tahun ini. Sedangkan Thailand akan bangkit dari 3,2% pada 2016 menjadi 3,5% pada 2017.
Sementara itu, pemulihan harga minyak dunia memberi berkah bagi negara-negara Asia Tengah. Mereka akan mengalami pertumbuhan ekonomi 3,1% pada tahun ini dan meningkat 3,5% untuk 2018. Sebelumnya kawasan Asia Tengah yang terdiri dari negara-negara pecahan Uni Soviet, pertumbuhan ekonominya hanya 2,1% di 2016.
Adapun ekonomi wilayah Pasifik juga akan rebound di 2017, dengan Papua New Guinea yang pulih dari konstraksi. Negara tetangga ini akan mengambil untung dari sektor minyak dan gas.
Meski demikian, ADB tetap mewanti-wanti tentang kemungkinan kenaikan suku bunga Amerika Serikat oleh Federal Reserve, yang akan mengganggu prospek ekonomi Asia. Tahun lalu, bank sentral AS menaikkan suku bunga overnight untuk ketiga kalinya sejak krisis keuangan global.
ADB memperingatkan bahwa lonjakan inflasi di AS baru-baru ini, bisa mendorong The Fed mempercepat laju pengetatan moneter, dan ekonomi Asia dengan utang perusahaan dan belanja rumah tangga yang tinggi rentan terhadap setiap guncangan keuangan tersebut.
“Adanya pergeseran kebijakan, terutama perdagangan di AS bisa menciptakan ketidakpastian bagi investasi bisnis dan pertumbuhan ekspor di negara-negara berkembang di Asia,” kata ADB.
Pengetatan moneter AS bisa mengirim mata uang Asia jatuh terhadap dolar dan perbaikan lebih lanjut di perekonomian AS akan memicu arus keluar modal dari Asia alias capital outflow. Mengantisipasi itu, ADB mendesak pemerintah negara-negara di Asia meningkatkan upaya dalam rangka mengurangi risiko sistemik.
(ven)