Menteri LHK Tak Terima dengan Hasil Resolusi Sawit Parlemen Eropa
A
A
A
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya menilai Resolusi Sawit yang dikeluarkan Parlemen Eropa telah menghina Indonesia. Seperti diketahui melalui resolusi, Parlemen Eropa menyerukan pelarangan impor minyak sawit tak ramah lingkungan dan dilarang digunakan dalam biofuel.
Parlemen Eropa juga mendesak Uni Eropa (UE) harus memperkenalkan skema sertifikasi tunggal untuk kelapa sawit yang masuk ke pasar Uni Eropa, demi menanggulangi dampak dari produksi minyak sawit tak berkelanjutan alias tak ramah lingkungan, seperti deforestasi dan degradasi habitat, terutama di Asia Tenggara.
Saat kunjungan kerja di Helsinki, Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan tidak terima bila Indonesia disebut tak bisa mengatasi persoalan sawit. Bahkan, keberadaan sawit di Indonesia dikaitkan dengan isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM hingga penghilangan hak masyarakat adat.
"Bagi Indonesia isu sawit seperti ini merupakan hal yang sensitif dan dalam kaitan lingkungan dan kehutanan, maka saya harus merespons. Industri sawit di Indonesia merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani yang meliputi areal tanam sawit seluas 11,6 juta ha,” kata Siti dalam keterangan tertulis, di sela-sela kunjungan kerja ke Helsinki, Finlandia, Jumat (7/4/2017).
Dia menambahkan sebanyak 41% di antaranya merupakan tanaman petani atau small holders, dengan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tidak kurang dari 16 juta orang petani dan tenaga kerja. Lanjutnya dia menekankan tunduhan bahwa sawit adalah korupsi, eksploitasi pekerja anak, langgar HAM adalah tuduhan keji dan tidak relevan saat ini.
"Pemerintah Indonesia dalam kepemimpinan Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru sedang melaksanakan praktek-praktek sustainable management dalam pengelolaan sawit dan industri-industri land based lainnya saat ini dan sedang diintensifkan," paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Sustainable development menjadi concern pemerintah saat ini. Sama seperti orientasi Parlemen Eropa dan negara-negara lain di dunia, Indonesia juga termasuk yang didepan dalam upaya implementasi Paris Agreement. "Dan kita memiliki ratifikasi Paris Agreement tersebut serta berbagai ratifikasi lainnya untuk langkah-langkah sustainable development," ungkapnya
Bahkan tentang masyarakat adat, dia menerangkan telah diberikan perhatian khusus oleh Presiden terhadap masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat diberikan dalam hal ini atas hutan adat. Langkah ini sedang terus berlangsung. Begitu pula dalam tata kelola gambut dan landscape management secara keseluruhan.
Oleh karena itu, urai Menteri LHK lagi, studi sawit Parlemen Eropa itu tidak lengkap dan tidak tepat dengan potret yang ada untuk Indonesia. "Mosi Parlemen Eropa setidaknya telah menyinggung kedaulatan Indonesia, karena menuduh dan mengajak pihak-pihak untuk “boikot" investasi sawit dan pindah ke sunflower dan rapeseed," terang dia.
Menurutnya jika dunia berharap Indonesia sebagai bagian penting dalam lingkungan global dan sebagai paru-paru dunia, dunia harus percaya bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan dalam negerinya. "Upaya-upaya untuk mengatasi kebakaran hutan, menata forest governance, upaya-upaya untuk menata tata kelola gambut, menjaga keanekaragaman hayati, menjaga habitat orang hutan, harimau, gajah dan lain-lain merupakan kontribusi Indonesia terhadap lingkungan global," ujarnya.
Menteri Siti meminta kepada dunia usaha, industriawan di Indonesia agar bekerja sebagaimana mestinya, sesuai aturan Indonesia, dan tidak terpengaruh oleh resolusi Parlemen Eropa ini. Sekaligus dia juga meminta para akademisi untuk dapat bersama-sama dalam upaya Indonesia mengatasi hal-hal seperti ini dan melihat hal-hal yang dituduhkan itu. Demikian pula Menteri mengajak civil society, para aktivis lingkungan untuk melihat subyek ini secara jernih.
Parlemen Eropa juga mendesak Uni Eropa (UE) harus memperkenalkan skema sertifikasi tunggal untuk kelapa sawit yang masuk ke pasar Uni Eropa, demi menanggulangi dampak dari produksi minyak sawit tak berkelanjutan alias tak ramah lingkungan, seperti deforestasi dan degradasi habitat, terutama di Asia Tenggara.
Saat kunjungan kerja di Helsinki, Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan tidak terima bila Indonesia disebut tak bisa mengatasi persoalan sawit. Bahkan, keberadaan sawit di Indonesia dikaitkan dengan isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM hingga penghilangan hak masyarakat adat.
"Bagi Indonesia isu sawit seperti ini merupakan hal yang sensitif dan dalam kaitan lingkungan dan kehutanan, maka saya harus merespons. Industri sawit di Indonesia merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani yang meliputi areal tanam sawit seluas 11,6 juta ha,” kata Siti dalam keterangan tertulis, di sela-sela kunjungan kerja ke Helsinki, Finlandia, Jumat (7/4/2017).
Dia menambahkan sebanyak 41% di antaranya merupakan tanaman petani atau small holders, dengan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tidak kurang dari 16 juta orang petani dan tenaga kerja. Lanjutnya dia menekankan tunduhan bahwa sawit adalah korupsi, eksploitasi pekerja anak, langgar HAM adalah tuduhan keji dan tidak relevan saat ini.
"Pemerintah Indonesia dalam kepemimpinan Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru sedang melaksanakan praktek-praktek sustainable management dalam pengelolaan sawit dan industri-industri land based lainnya saat ini dan sedang diintensifkan," paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Sustainable development menjadi concern pemerintah saat ini. Sama seperti orientasi Parlemen Eropa dan negara-negara lain di dunia, Indonesia juga termasuk yang didepan dalam upaya implementasi Paris Agreement. "Dan kita memiliki ratifikasi Paris Agreement tersebut serta berbagai ratifikasi lainnya untuk langkah-langkah sustainable development," ungkapnya
Bahkan tentang masyarakat adat, dia menerangkan telah diberikan perhatian khusus oleh Presiden terhadap masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat diberikan dalam hal ini atas hutan adat. Langkah ini sedang terus berlangsung. Begitu pula dalam tata kelola gambut dan landscape management secara keseluruhan.
Oleh karena itu, urai Menteri LHK lagi, studi sawit Parlemen Eropa itu tidak lengkap dan tidak tepat dengan potret yang ada untuk Indonesia. "Mosi Parlemen Eropa setidaknya telah menyinggung kedaulatan Indonesia, karena menuduh dan mengajak pihak-pihak untuk “boikot" investasi sawit dan pindah ke sunflower dan rapeseed," terang dia.
Menurutnya jika dunia berharap Indonesia sebagai bagian penting dalam lingkungan global dan sebagai paru-paru dunia, dunia harus percaya bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan dalam negerinya. "Upaya-upaya untuk mengatasi kebakaran hutan, menata forest governance, upaya-upaya untuk menata tata kelola gambut, menjaga keanekaragaman hayati, menjaga habitat orang hutan, harimau, gajah dan lain-lain merupakan kontribusi Indonesia terhadap lingkungan global," ujarnya.
Menteri Siti meminta kepada dunia usaha, industriawan di Indonesia agar bekerja sebagaimana mestinya, sesuai aturan Indonesia, dan tidak terpengaruh oleh resolusi Parlemen Eropa ini. Sekaligus dia juga meminta para akademisi untuk dapat bersama-sama dalam upaya Indonesia mengatasi hal-hal seperti ini dan melihat hal-hal yang dituduhkan itu. Demikian pula Menteri mengajak civil society, para aktivis lingkungan untuk melihat subyek ini secara jernih.
(akr)