Indef: Kenaikan Impor Barang Konsumsi Tanda Turunnya Daya Saing

Rabu, 26 April 2017 - 11:07 WIB
Indef: Kenaikan Impor...
Indef: Kenaikan Impor Barang Konsumsi Tanda Turunnya Daya Saing
A A A
JAKARTA - Indonesia masih menjadi pasar menggiurkan bagi banyak negara. Rangkaian perjanjian perdagangan bebas regional membuka pintu impor semakin lebar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai impor nonmigas pada Maret 2017 naik signifikan 24,94% menjadi USD11,10 miliar dibanding bulan sebelumnya sebesar USD8,88 miliar. Penyumbang kenaikannya berasal dari impor ponsel, plastik sampai kapal laut.

Nilai impor USD13,36 miliar pada Maret merupakan nilai impor bulanan tertinggi sejak Januari 2015. Namun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menyebut kenaikan impor positif lantaran disokong kenaikan impor bahan baku, juga kurang pas.
Pasalnya, impor bahan baku, bahan penolong, juga sejatinya masih kecil. Barang konsumsi tetap mendominasi, terutama dari China dengan kontribusi lebih dari 25% persen dari total impor.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati memberi sinyal, kenaikan impor terutama barang konsumsi menjadi tanda turunnya daya saing produk dalam negeri.

Kondisi ini dinilai berbahaya, apalagi di saat bersamaan, kinerja industri dalam negeri juga menunjukkan indikasi penurunan belum recovery. Di sisi lain, dalih pemerintah yang menyebut bahwa impor naik juga lantaran persiapan menyambut Ramadan dan Lebaran, juga tidak tepat karena barang yang masuk tidak berkorelasi dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas harga terutama sektor pangan selama Lebaran dan Ramadan yang selama ini jadi fokus pemerintah.

"Oke untuk antisipasi Lebaran, pertanyaannya nanti bagaimana stabilitas harga apakah signifikan tidak. Menjelang Ramadan itu untuk stabilitas harga pandan, dan impornya bukan dari Tiongkok, tapi dari Thailand, atau Vietnam. Sementara ini mayoritas dari Tiongkok, jangan-jangan salah kebijakan lagi," kata dia dalam rilisnya, Jakarta, Rabu (26/4/2017).

Kenaikan importasi dari China, kata dia, sangat luar biasa, porsi dari China 25% sementara total dari ASEAN mencapai 20%. Enny juga menyoroti kenaikan signifikan mencapai 343% lebih untuk kategori kapal laut dan bangunan terapung.

Kenaikan ini tentu memunculkan tanda tanya besar karena diduga kenaikan fantastis itu berkaitan dengan impor kapal bekas. Padahal, kenaikan impor kapal jelas memukul industri galangan kapal nasional.

"Per definisi, bangunan terapung itu juga tidak jelas, apa yang dimaksud bangunan terapung. Kita curiga lonjakan impor drastis itu berkaitan impor kapal bekas, ini kan aneh, padahal pemerintah mendorong industri galangan kapal," tegas Enny.

Dengan fakta itu, sejatinya kenaikan impor bukan berita bagus. Kalau pun ada kenaikan impor seperti peralatan mesin, peralatan listrik, hingga besi dan baja, memang bisa dikaitkan dengan menggeliatnya infrastruktur. Tetapi, tetap saja, kenaikan impor dinikmati negara lain karena menggerogoti devisa.

Enny menegaskan, dari sisi struktur kenaikan impor yang luar biasa, sejatinya lebih condong ke konsumsi bukan kebutuhan mendorong sektor manufaktur nasional. Soal permintaan tarif bea masuk nol persen untuk komponen kapal demi meningkatkan daya saing, boleh saja diberikan asal selektif dan jangan sampai kontraproduktif dengan mengimpor kapal bekas.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1307 seconds (0.1#10.140)