Banyak Waralaba yang Gulung Tikar Karena Prematur
A
A
A
YOGYAKARTA - Industri waralaba di Tanah Air berkembang bagus dalam 10 tahun terakhir. Hanya saja, tidak sedikit pewaralaba yang lahir dan mati tak bisa bertahan lama meski waralaba tersebut memiliki potensi berkembang cukup besar.
Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali), Levita Supit mengungkapkan, saat ini jumlah waralaba di Indonesia ada sekitar 1.500 unit. Dominasi waralaba lokal sebenarnya sudah cukup bagus dari sisi kuantitas perusahaan pemberi waralaba dibanding dengan waralaba asing. Tetapi jumlah gerai waralaba lokal masih kalah dibanding waralaba asing.
"Contohnya saja KFC, itu jumlahnya satu tetapi gerainya bisa ratusan," tuturnya saat Gathering Perhimpunan Waralaba Indonesia di All Stay Hotel Yogyakarta, Kamis (27/4/2017).
Memang dari sisi pertumbuhan cukup bagus namun tak sedikit yang gulung tikar. Kelemahan yang paling mendasar dari pewaralaba lokal adalah pengusaha tergesa-gesa ketika melakukan waralaba. Padahal ada syarat minimal yang harus dipenuhi oleh perusahaan waralaba.
Syarat sebelum melakukan waralaba, diantaranya usaha tersebut sudah berjalan minimal 5 tahun dan memberikan untung. Selain itu, usaha sudah mampu break event poin (BEP). Sehingga perusahaan tersebut minimal sudah memiliki pengalaman seluk beluk bisnisnya di berbagai iklim usaha yang ada.
Di samping itu, perusahaan waralaba harus memiliki tim yang bisa memberikan bimbingan terhadap penerima waralaba. Pemberi waralaba harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP). Karena SOP sangat penting untuk menentukan langkah-langkah ketika terjadi masalah ataupun untuk meningkatkan omzet.
Dan syarat-syarat minimal tersebut dipenuhi sebelum mewaralabakan usaha mereka. Sebab, dengan mewaralabakan usaha mereka maka berbagai keuntungan akan didapatkan. Selain mendapatkan untung dari brand mereka yang dibeli, juga mendapatkan lisensi setiap bulan dan lainnya.
Head of Media Communication Perhimpinan Wali, Arif Nugroho menambahkan, banyak usaha yang belum siap tetapi dipaksakan diwaralabakan, bahkan ada yang baru berjalan tiga bulan sudah diwaralabakan.
Hal tersebut sebenarnya sangat disayangkan karena merugikan penerima waralaba ataupun pemberi waralaba sendiri. "Hanya saja antara pemberi waralaba dan penerima waralaba yang tidak mengetahui hal tersebut," tuturnya.
Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali), Levita Supit mengungkapkan, saat ini jumlah waralaba di Indonesia ada sekitar 1.500 unit. Dominasi waralaba lokal sebenarnya sudah cukup bagus dari sisi kuantitas perusahaan pemberi waralaba dibanding dengan waralaba asing. Tetapi jumlah gerai waralaba lokal masih kalah dibanding waralaba asing.
"Contohnya saja KFC, itu jumlahnya satu tetapi gerainya bisa ratusan," tuturnya saat Gathering Perhimpunan Waralaba Indonesia di All Stay Hotel Yogyakarta, Kamis (27/4/2017).
Memang dari sisi pertumbuhan cukup bagus namun tak sedikit yang gulung tikar. Kelemahan yang paling mendasar dari pewaralaba lokal adalah pengusaha tergesa-gesa ketika melakukan waralaba. Padahal ada syarat minimal yang harus dipenuhi oleh perusahaan waralaba.
Syarat sebelum melakukan waralaba, diantaranya usaha tersebut sudah berjalan minimal 5 tahun dan memberikan untung. Selain itu, usaha sudah mampu break event poin (BEP). Sehingga perusahaan tersebut minimal sudah memiliki pengalaman seluk beluk bisnisnya di berbagai iklim usaha yang ada.
Di samping itu, perusahaan waralaba harus memiliki tim yang bisa memberikan bimbingan terhadap penerima waralaba. Pemberi waralaba harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP). Karena SOP sangat penting untuk menentukan langkah-langkah ketika terjadi masalah ataupun untuk meningkatkan omzet.
Dan syarat-syarat minimal tersebut dipenuhi sebelum mewaralabakan usaha mereka. Sebab, dengan mewaralabakan usaha mereka maka berbagai keuntungan akan didapatkan. Selain mendapatkan untung dari brand mereka yang dibeli, juga mendapatkan lisensi setiap bulan dan lainnya.
Head of Media Communication Perhimpinan Wali, Arif Nugroho menambahkan, banyak usaha yang belum siap tetapi dipaksakan diwaralabakan, bahkan ada yang baru berjalan tiga bulan sudah diwaralabakan.
Hal tersebut sebenarnya sangat disayangkan karena merugikan penerima waralaba ataupun pemberi waralaba sendiri. "Hanya saja antara pemberi waralaba dan penerima waralaba yang tidak mengetahui hal tersebut," tuturnya.
(ven)