Kebangkitan Populisme Memberi Pelajaran untuk Integrasi Ekonomi di Asia
A
A
A
TOKYO - Kekalahan kandidat nasionalis Prancis, Marine Le Pen dalam pemilihan presiden, bukan berarti nasionalisme dan populisme sudah pudar dari Eropa. Melansir dari Nikkei Asian Review, Senin (8/5/2017), dukungan sebanyak 35% suara kepada Le Pen, mencerminkan kemarahan warga tuan rumah terhadap masuknya imigran dan buruh dari luar negeri.
Bergeloranya populisme alias ekonomi nasionalis, tidak bisa dipisahkan dari peristiwa 1960-an. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, mereka mengambil buruh dari negara bekas koloni mereka dan negara lain. Dan berdasarkan Perjanjian Schengen yang banyak menghapus pemeriksaan di perbatasan, membuat arus pekerja imigran membanjiri Eropa Barat, dan kini mulai mewabah ke Eropa Tengah dan Eropa Timur.
Namun ketika imigran dan pekerja asing mulai bertambah, maka gesekan sosial dengan populasi asli menjadi tidak dapat dihindari. Dan menjadi bahaya, jika negara yang dibanjiri pendatang itu, fondasi ekonominya ambruk. Ini akan meningkatkan kecaman masyarakat terhadap para pendatang.
Kegagalan negara-negara Eropa dan Uni Eropa dalam mengantisipasi peningkatan tajam imigrasi dan meningkatkan ekonomi, telah memberi efek samping. Alhasil, populisme dan ekonomi nasionalis mulai banyak digandrungi oleh warga Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Beberapa pandangan mengatakan kondisi Eropa sepertinya tidak akan banyak berdampak di Asia. Namun tulis Nikkei Asian Review, asumsi tersebut sangat keliru.
Menurut laporan media berbahasa China, Xinhua, pada Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu, sekitar 100 pekerja asal Myanmar turun ke jalanan di Bangkok, Thailand, menuntut perlakuan yang sama dengan pekerja Thailand.
Upah minimum di Thailand adalah antara 305 sampai 310 baht atau sekitar USD8,80 hingga USD8,94 per hari. Namun banyak pekerja asal Myanmar dibayar kurang dari 300 baht.
Diperkirakan 4 juta sampai 5 juta pekerja asing mencari nafkah di Thailand, negara yang berpenduduk 67 juta jiwa. Tenaga asing itu kebanyakan berasal dari negara tetangga seperti Myanmar, Kamboja, dan Laos.
Pada Maret kemarin, tingkat pengangguran di Thailand mencapai 1,3%. Dan ekonomi Thailand mengalami kelesuan sejak kudeta militer di tahun 2014. Untuk menggerakkan ekonomi, banyak usaha mempekerjakan pekerja asing dengan upah yang murah.
Kendati orang Thailand pada umumnya orang yang santun, tulis Nikkei, peningkatan tajam jumlah pekerja asing telah memicu kecaman masyarakat. Bahkan sejak 2016, polisi gencar menangkap pekerja asing ilegal di pasar, restoran, dan tempat lainnya di Negeri Gajah Putih.
Nah, liberalisasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, ditengarai akan menyebabkan arus pekerja asing kian bertambah. Dan Thailand berada di peringkat teratas negara ASEAN dalam menghadapi persoalan ini.
Seiring mulai memudarnya ekonomi, Thailand kini menghentikan perpanjangan jaringan produksi di negara tetangganya, yang awalnya untuk memperkuat saling ketergantungan diantara mereka melalui integrasi pasar.
Thailand kini banyak membangun kompleks industri satu demi satu di dekat perbatasannya dengan Kamboja, Laos, dan Myanmar sehingga dapat dengan mudah menarik pekerja dengan upah rendah dari negara-negara tersebut.
Kompleks industri membuat perusahaan-perusahaan di Thailand tidak perlu susah-susah melakukan ekspansi di luar, dimana infrastrukturnya terbelakang. Dengan efisiensi biaya transportasi, ekonomi Thailand dapat memperoleh manfaat dari sinergi antara efisiensi produksi dan konsentrasi industri di wilayah asal mereka.
Jika situasi ini berlanjut, Thailand akan tumbuh lebih kuat dan tetangganya akan berakhir sebagai pemasok tenaga kerja belaka. Dan integrasi ekonomi di Asia Tenggara yang diharapkan dapat meningkatkan standarisasi ekonomi di negara-negara kawasan justru tidak terlaksana.
Dan hal serupa tidak hanya terjadi di Thailand, juga Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, dimana jumlah tingkat kelahiran kian menyusut. Di satu sisi jumlah pekerja asing banyak memasuki pasar kerja mereka dalam berbagai bentuk.
Ada kekhawatiran bahwa xenophobia atau anti pendatang akan tumbuh lebih kuat di Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara Asia lainnya akibat kenaikan tajam jumlah warga negara asing yang bekerja di tanah air mereka.
Jika pemerintah gagal dalam menangani masalah pekerja asing dan arus imigran, maka Marine Le Pen versi Asia akan muncul satu demi satu dalam waktu dekat. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pemerintahan dalam meningkatkan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja bagi warganya sendiri.
Bergeloranya populisme alias ekonomi nasionalis, tidak bisa dipisahkan dari peristiwa 1960-an. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, mereka mengambil buruh dari negara bekas koloni mereka dan negara lain. Dan berdasarkan Perjanjian Schengen yang banyak menghapus pemeriksaan di perbatasan, membuat arus pekerja imigran membanjiri Eropa Barat, dan kini mulai mewabah ke Eropa Tengah dan Eropa Timur.
Namun ketika imigran dan pekerja asing mulai bertambah, maka gesekan sosial dengan populasi asli menjadi tidak dapat dihindari. Dan menjadi bahaya, jika negara yang dibanjiri pendatang itu, fondasi ekonominya ambruk. Ini akan meningkatkan kecaman masyarakat terhadap para pendatang.
Kegagalan negara-negara Eropa dan Uni Eropa dalam mengantisipasi peningkatan tajam imigrasi dan meningkatkan ekonomi, telah memberi efek samping. Alhasil, populisme dan ekonomi nasionalis mulai banyak digandrungi oleh warga Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Beberapa pandangan mengatakan kondisi Eropa sepertinya tidak akan banyak berdampak di Asia. Namun tulis Nikkei Asian Review, asumsi tersebut sangat keliru.
Menurut laporan media berbahasa China, Xinhua, pada Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu, sekitar 100 pekerja asal Myanmar turun ke jalanan di Bangkok, Thailand, menuntut perlakuan yang sama dengan pekerja Thailand.
Upah minimum di Thailand adalah antara 305 sampai 310 baht atau sekitar USD8,80 hingga USD8,94 per hari. Namun banyak pekerja asal Myanmar dibayar kurang dari 300 baht.
Diperkirakan 4 juta sampai 5 juta pekerja asing mencari nafkah di Thailand, negara yang berpenduduk 67 juta jiwa. Tenaga asing itu kebanyakan berasal dari negara tetangga seperti Myanmar, Kamboja, dan Laos.
Pada Maret kemarin, tingkat pengangguran di Thailand mencapai 1,3%. Dan ekonomi Thailand mengalami kelesuan sejak kudeta militer di tahun 2014. Untuk menggerakkan ekonomi, banyak usaha mempekerjakan pekerja asing dengan upah yang murah.
Kendati orang Thailand pada umumnya orang yang santun, tulis Nikkei, peningkatan tajam jumlah pekerja asing telah memicu kecaman masyarakat. Bahkan sejak 2016, polisi gencar menangkap pekerja asing ilegal di pasar, restoran, dan tempat lainnya di Negeri Gajah Putih.
Nah, liberalisasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, ditengarai akan menyebabkan arus pekerja asing kian bertambah. Dan Thailand berada di peringkat teratas negara ASEAN dalam menghadapi persoalan ini.
Seiring mulai memudarnya ekonomi, Thailand kini menghentikan perpanjangan jaringan produksi di negara tetangganya, yang awalnya untuk memperkuat saling ketergantungan diantara mereka melalui integrasi pasar.
Thailand kini banyak membangun kompleks industri satu demi satu di dekat perbatasannya dengan Kamboja, Laos, dan Myanmar sehingga dapat dengan mudah menarik pekerja dengan upah rendah dari negara-negara tersebut.
Kompleks industri membuat perusahaan-perusahaan di Thailand tidak perlu susah-susah melakukan ekspansi di luar, dimana infrastrukturnya terbelakang. Dengan efisiensi biaya transportasi, ekonomi Thailand dapat memperoleh manfaat dari sinergi antara efisiensi produksi dan konsentrasi industri di wilayah asal mereka.
Jika situasi ini berlanjut, Thailand akan tumbuh lebih kuat dan tetangganya akan berakhir sebagai pemasok tenaga kerja belaka. Dan integrasi ekonomi di Asia Tenggara yang diharapkan dapat meningkatkan standarisasi ekonomi di negara-negara kawasan justru tidak terlaksana.
Dan hal serupa tidak hanya terjadi di Thailand, juga Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, dimana jumlah tingkat kelahiran kian menyusut. Di satu sisi jumlah pekerja asing banyak memasuki pasar kerja mereka dalam berbagai bentuk.
Ada kekhawatiran bahwa xenophobia atau anti pendatang akan tumbuh lebih kuat di Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara Asia lainnya akibat kenaikan tajam jumlah warga negara asing yang bekerja di tanah air mereka.
Jika pemerintah gagal dalam menangani masalah pekerja asing dan arus imigran, maka Marine Le Pen versi Asia akan muncul satu demi satu dalam waktu dekat. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pemerintahan dalam meningkatkan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja bagi warganya sendiri.
(ven)