Takut Risiko, Pemerintah Harus Kompromi dengan Investor Migas
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Migas dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengemukakan, Indonesia memang memiliki potensi migas yang sangat besar. Namun, jika pemerintah tidak memperlakukan investor secara baik maka potensi tersebut tidak akan bisa termanfaatkan dengan baik.
Dia menyebutkan, potensi migas di Tanah Air mencapai 151 miliar barel. Namun, yang sudah berbentuk cadangan terbukti baru sekitar 3,3 miliar hingga 3,6 miliar. Untuk mengubah potensi tersebut menjadi cadangan terbukti, maka dibutuhkan investasi untuk kegiatan eksplorasi atau pengeboran.
"Untuk mengubah SDA itu jadi cadangan butuh investasi. Eksplorasi yang berisiko. Jadi sampai kapanpun akan tetap jadi potensi kalau tidak dilakukan investasi," katanya di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Sayangnya, kata dia, Indonesia selama ini memposisikan diri sebagai negara yang tidak berani mengambil risiko dalam eksplorasi. Pemerintah tidak bersedia keluar uang dan hanya mengandalkan investor untuk mencari cadangan migas tersebut.
Konsekuensinya, pemerintah harus ramah terhadap investor yang akan melakukan pengeboran. Investor harus diperlakukan secara ramah karena mereka berani mengambil risiko mencari cadangan migas, dengan investasi yang tidak sedikit.
"Kita tidak bersedia sendiri menanggung risiko melakukan pengeboran yang sampai USD100-USD120 juta di laut dalam untuk satu sumur. Kita juga bisa mengerti ketika negara tidak secara proaktif mengambil risiko itu. Tapi itu ada konsekuensi, karena harus kompromi dan win win dengan investor," tutur dia.
Apalagi, lanjut Pri Agung, investor masih harus menanggung risiko gagal meskipun cadangan migas telah ditemukan. Sebab, cadangan migas tidak lantas langsung bisa diproduksi pasca kegiatan pengeboran selesai.
"Ketika proven jadi cadangan, tidak otomatis langsung bisa diproduksikan, tetap ada risiko. Proven itu hanya secara keilmuan, tapi kalau mau diproduksikan lagi ada risiko belum tentu dia bisa diangkat ke permukaan. Jadi baik di eksplorasi itu berisiko, di eksploitasi atau produksi juga berisiko," terangnya.
Dia menyebutkan, potensi migas di Tanah Air mencapai 151 miliar barel. Namun, yang sudah berbentuk cadangan terbukti baru sekitar 3,3 miliar hingga 3,6 miliar. Untuk mengubah potensi tersebut menjadi cadangan terbukti, maka dibutuhkan investasi untuk kegiatan eksplorasi atau pengeboran.
"Untuk mengubah SDA itu jadi cadangan butuh investasi. Eksplorasi yang berisiko. Jadi sampai kapanpun akan tetap jadi potensi kalau tidak dilakukan investasi," katanya di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Sayangnya, kata dia, Indonesia selama ini memposisikan diri sebagai negara yang tidak berani mengambil risiko dalam eksplorasi. Pemerintah tidak bersedia keluar uang dan hanya mengandalkan investor untuk mencari cadangan migas tersebut.
Konsekuensinya, pemerintah harus ramah terhadap investor yang akan melakukan pengeboran. Investor harus diperlakukan secara ramah karena mereka berani mengambil risiko mencari cadangan migas, dengan investasi yang tidak sedikit.
"Kita tidak bersedia sendiri menanggung risiko melakukan pengeboran yang sampai USD100-USD120 juta di laut dalam untuk satu sumur. Kita juga bisa mengerti ketika negara tidak secara proaktif mengambil risiko itu. Tapi itu ada konsekuensi, karena harus kompromi dan win win dengan investor," tutur dia.
Apalagi, lanjut Pri Agung, investor masih harus menanggung risiko gagal meskipun cadangan migas telah ditemukan. Sebab, cadangan migas tidak lantas langsung bisa diproduksi pasca kegiatan pengeboran selesai.
"Ketika proven jadi cadangan, tidak otomatis langsung bisa diproduksikan, tetap ada risiko. Proven itu hanya secara keilmuan, tapi kalau mau diproduksikan lagi ada risiko belum tentu dia bisa diangkat ke permukaan. Jadi baik di eksplorasi itu berisiko, di eksploitasi atau produksi juga berisiko," terangnya.
(izz)