Investasi Migas Tak Lagi Menarik, RI Akan Banyak Impor Minyak
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk segera mengubah cara pandangnya dalam memperlakukan investor di Tanah Air, khususnya pada sektor hulu migas (minyak dan gas bumi). Pasalnya jika tidak, maka investor enggan melakukan eksplorasi dan dampaknya adalah Indonesia terancam mengimpor minyak dalam jumlah besar di masa mendatang.
(Baca Juga: Era Baru Industri Migas, Investor Tinjau Ulang Strategi Bisnis
Pengamat Minyak dan Gas Bumi (Migas) dari ReforMiner Institut Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan, iklim investasi di Tanah Air sejak lama tidak kondusif dan tidak menarik untuk investor. Kondisi politik dan sosial di Indonesia juga cenderung jadi penghambat bagi investor. Padahal, kegiatan eksplorasi migas membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan penuh risiko.
"Sampai 2025 saja, kalau business as usual seperti itu impor minyak mentah bakal 2 juta barel per hari. Itu juga dengan catatan kalau Pertamina bangun kilang untuk serap minyak mentahnya. Kalau tidak, maka yang diimpor bukan minyak mentah tapi produk jadinya yang harganya lebih mahal lagi," katanya di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Menurutnya, faktor terbesar tidak menariknya investasi migas di Indonesia adalah karena tidak adanya kepastian aturan main, seperti revisi Undang-undang (UU) Migas yang telah bertahun-tahun tidak kunjung selesai. Selain itu, munculnya aturan lain yang tidak sejalan dengan aturan yang telah ada sebelumnya.
"PP 79 bukan turunannya UU Migas. Tapi lahir dari aturan perpajakan. Akibatnya ada ketidakpastian dalam pengembalian biaya investasi dan perlakuan pajak terhadap investasi itu. Harusnya berlaku prinsip assume and discharge atau pajak yang berlaku hanya pajak dalam kontrak, tapi karena aturannya jadi berlaku pajak-pajak lain yang dikenakan seperti PBB. Itulah yang discourage investasi. Apalagi investasinya berisiko," tandasnya.
(Baca Juga: Era Baru Industri Migas, Investor Tinjau Ulang Strategi Bisnis
Pengamat Minyak dan Gas Bumi (Migas) dari ReforMiner Institut Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan, iklim investasi di Tanah Air sejak lama tidak kondusif dan tidak menarik untuk investor. Kondisi politik dan sosial di Indonesia juga cenderung jadi penghambat bagi investor. Padahal, kegiatan eksplorasi migas membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan penuh risiko.
"Sampai 2025 saja, kalau business as usual seperti itu impor minyak mentah bakal 2 juta barel per hari. Itu juga dengan catatan kalau Pertamina bangun kilang untuk serap minyak mentahnya. Kalau tidak, maka yang diimpor bukan minyak mentah tapi produk jadinya yang harganya lebih mahal lagi," katanya di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Menurutnya, faktor terbesar tidak menariknya investasi migas di Indonesia adalah karena tidak adanya kepastian aturan main, seperti revisi Undang-undang (UU) Migas yang telah bertahun-tahun tidak kunjung selesai. Selain itu, munculnya aturan lain yang tidak sejalan dengan aturan yang telah ada sebelumnya.
"PP 79 bukan turunannya UU Migas. Tapi lahir dari aturan perpajakan. Akibatnya ada ketidakpastian dalam pengembalian biaya investasi dan perlakuan pajak terhadap investasi itu. Harusnya berlaku prinsip assume and discharge atau pajak yang berlaku hanya pajak dalam kontrak, tapi karena aturannya jadi berlaku pajak-pajak lain yang dikenakan seperti PBB. Itulah yang discourage investasi. Apalagi investasinya berisiko," tandasnya.
(akr)