Perppu Akses Informasi Keuangan Berpotensi Labrak Sejumlah UU
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan terus menuai kontroversi.
Selain dipertanyakan soal alasan sifat kegentingan penerbitan Perppu, aturan tersebut juga dinilai berpotensi melabrak sejumlah undang-undang.
Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mempertanyakan alasan dikeluarkannya Perppu tersebut. Menurut dia, Perppu dikeluarkan atas suatu kondisi yang mendesak atau memaksa sebagaimana Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
”Nah, pertanyaannya sekarang apakah karena komitmen atas perjanjian internasional bisa dikualifikasikan sebagai situasi genting yang memaksa? Menteri Keuangan harus menjelaskan ini, apanya yang genting dan memaksa,’’ papar Heri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/5/2017).
Seperti diketahui, karena telah terikat oleh perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban memenuhi komitmen keikutsertaan mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/AEoI), maka pada 8 Mei 2017, Presiden Jokowi menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2017.
Perppu tersebut memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan. Dalam perkembangannya, pemerintah akan mengakses rekening masyarakat yang jumlahnya di atas Rp3,3 miliar.
Heri melanjutkan hal lain yang perlu disoroti dari Perppu tersebut adalah soal kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk mendapatkan akses informasi keuangan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, hingga lembaga jasa keuangan lainnya.
Menurut dia, kewenangan tersebut melabrak prinsip kerahasiaan bank sebagaimana Pasal 40 ayat 1 UU Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan, setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. ‘’Ini kan jadi masalah. Peraturan perundang-undangan menjadi kacau dan tumpang tindih,’’ ungkap politikus Gerindra ini.
Selain itu, Perppu tersebut berpotensi melabrak sejumlah UU. Diantaranya: pertama, UU Nomor 16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dimana pasal 34 ayat (1) menyatakan setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kedua, UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 41 bahwa "Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
Ketiga, UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal. Dimana, pasal 96 menyebutkan bahwa orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilarang: a) memengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek dimaksud; atau b) memberi informasi orang dalam kepada pihak mana pun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud.
‘’Dari sini, bisa dilihat akan ada dilema yang besar bagi aparatur perbankan, pajak, dan pasar modal dalam menjalankan kebijakan pertukaran informasi tersebut,’’ ungkap Heri.
Menurut dia, hal ini akan menumbulkan ketidakpastian yang berefek pada keragu-raguan eksekusi yang disebabkan oleh tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan.
Heri mengungkapkan kalau tujuan pembagian informasi dimaksudkan untuk perpajakan domestik, pada umumnya diatur dalam ketentuan perbankan atau perpajakan yang menyebutkan bahwa pimpinan BI atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (dalam hal ini Ditjen Pajak).
‘’Jadi untuk apa Perppu itu dibuat? Keadaan genting yang memaksa sebetulnya tidak ada. Jangan sampai kemunculan Perppu ini hanya akan memunculkan kegaduhan baru yang ditafsirkan sebagai bentuk kecemasan dan kepanikan pemerintah,’’ tandas Heri.
Selain dipertanyakan soal alasan sifat kegentingan penerbitan Perppu, aturan tersebut juga dinilai berpotensi melabrak sejumlah undang-undang.
Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mempertanyakan alasan dikeluarkannya Perppu tersebut. Menurut dia, Perppu dikeluarkan atas suatu kondisi yang mendesak atau memaksa sebagaimana Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
”Nah, pertanyaannya sekarang apakah karena komitmen atas perjanjian internasional bisa dikualifikasikan sebagai situasi genting yang memaksa? Menteri Keuangan harus menjelaskan ini, apanya yang genting dan memaksa,’’ papar Heri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/5/2017).
Seperti diketahui, karena telah terikat oleh perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban memenuhi komitmen keikutsertaan mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/AEoI), maka pada 8 Mei 2017, Presiden Jokowi menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2017.
Perppu tersebut memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan. Dalam perkembangannya, pemerintah akan mengakses rekening masyarakat yang jumlahnya di atas Rp3,3 miliar.
Heri melanjutkan hal lain yang perlu disoroti dari Perppu tersebut adalah soal kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk mendapatkan akses informasi keuangan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, hingga lembaga jasa keuangan lainnya.
Menurut dia, kewenangan tersebut melabrak prinsip kerahasiaan bank sebagaimana Pasal 40 ayat 1 UU Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan, setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. ‘’Ini kan jadi masalah. Peraturan perundang-undangan menjadi kacau dan tumpang tindih,’’ ungkap politikus Gerindra ini.
Selain itu, Perppu tersebut berpotensi melabrak sejumlah UU. Diantaranya: pertama, UU Nomor 16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dimana pasal 34 ayat (1) menyatakan setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kedua, UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 41 bahwa "Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
Ketiga, UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal. Dimana, pasal 96 menyebutkan bahwa orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilarang: a) memengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek dimaksud; atau b) memberi informasi orang dalam kepada pihak mana pun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud.
‘’Dari sini, bisa dilihat akan ada dilema yang besar bagi aparatur perbankan, pajak, dan pasar modal dalam menjalankan kebijakan pertukaran informasi tersebut,’’ ungkap Heri.
Menurut dia, hal ini akan menumbulkan ketidakpastian yang berefek pada keragu-raguan eksekusi yang disebabkan oleh tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan.
Heri mengungkapkan kalau tujuan pembagian informasi dimaksudkan untuk perpajakan domestik, pada umumnya diatur dalam ketentuan perbankan atau perpajakan yang menyebutkan bahwa pimpinan BI atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (dalam hal ini Ditjen Pajak).
‘’Jadi untuk apa Perppu itu dibuat? Keadaan genting yang memaksa sebetulnya tidak ada. Jangan sampai kemunculan Perppu ini hanya akan memunculkan kegaduhan baru yang ditafsirkan sebagai bentuk kecemasan dan kepanikan pemerintah,’’ tandas Heri.
(ven)