Brain Drain, Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asia Tenggara
A
A
A
MANILA - Kita kerap bangga bila ada orang Indonesia yang memiliki pendidikan tinggi dan bekerja di luar negeri. Fenomena brain drain alias kalangan intelektual yang beremigrasi ke luar negeri justru dinilai bisa menghambat kemajuan negara asalnya.
Melansir Bloomberg, Selasa (6/6/2017), hasil studi yang diterbitkan Asian Development Bank (ADB) menunjukkan jumlah brain drain Asia Tenggara yang kerja di negara-negara kaya dan maju melonjak 66% dalam kurun waktu 2010-2011, menjadi 2,8 juta orang. Kebanyakan brain drain dari Asia Tenggara ini berasal dari Filipina, dimana trennya meningkat 27% hingga tahun 2015 silam.
Sebagai informasi, istilah brain drain pertama kali muncul pada era 1960-an, ketika para ilmuwan dan intelektual Inggris ramai-ramai beremigrasi ke Amerika Serikat.
Dan alasan utama para brain drain ialah mencari kehidupan lebih baik, sehingga menjadi pemicu banyak larinya bakat cerdas orang-orang Asia Tenggara ke anggota negara-negara kaya atau negara maju (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD).
Hal ini terlihat dari meningkatnya pengiriman uang ke negara-negara berkembang tempat asal mereka. Umumnya, bakat-bakat cerdas ini menyisihkan penghasilannya untuk mengirimkan uang kepada orang tua atau keluarga mereka.
Bank Dunia pada 2016 lalu menyatakan, pengiriman uang ke negara-negara berkembang mencapai USD429 miliar, dimana pengiriman uang ke Filipina mencapai USD30 miliar, sepersepuluh dari ekonominya.
Riset ADB menyebut Asia Tenggara banyak kehilangan modal manusia di bidang kedokteran, sains, teknik, manajemen, dan pendidikan. Padahal kemajuan suatu bangsa terletak kepada kemajuan sumber daya manusianya. Hal ini pula yang ditengarai bisa menjadi hambatan utama bagi pembangunan ekonomi dan sosial di negara-negara Asia Tenggara.
“Hampir 10 persen warga berpendidikan tinggi dari Filipina, Singapura, dan Vietnam tinggal di negara-negara kaya dan negara maju. Untuk Laos dan Kamboja, rasionya sekitar 15 persen,” tulis ADB yang bermarkas di Manila, Filipina.
ADB menambahkan bahwa brain drain dari Asia Tenggara juga sering lebih berpendidikan atau berpengalaman dari apa yang dibutuhkan untuk pekerjaan mereka. Bahkan 52% pekerja dari Thailand dinilai overqualified dan rasio untuk brain drain dari Filipina, Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam mencapai 40%.
“Para brain drain menanggapi upah dan kondisi kerja yang lebih tinggi di negara lain, juga peluang untuk bekerja sama dengan orang-orang terampil lainnya dalam mengembangkan bakat mereka,” kata laporan ADB.
Sudah sepatutnya, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara yang membukukan pertumbuhan lebih dari 6%, harus dibarengi dengan penghargaan dan penghasilan yang lebih baik. Karena kebanyakan orang berpendidikan tinggi cenderung mencari peluang di luar negeri.
Melansir Bloomberg, Selasa (6/6/2017), hasil studi yang diterbitkan Asian Development Bank (ADB) menunjukkan jumlah brain drain Asia Tenggara yang kerja di negara-negara kaya dan maju melonjak 66% dalam kurun waktu 2010-2011, menjadi 2,8 juta orang. Kebanyakan brain drain dari Asia Tenggara ini berasal dari Filipina, dimana trennya meningkat 27% hingga tahun 2015 silam.
Sebagai informasi, istilah brain drain pertama kali muncul pada era 1960-an, ketika para ilmuwan dan intelektual Inggris ramai-ramai beremigrasi ke Amerika Serikat.
Dan alasan utama para brain drain ialah mencari kehidupan lebih baik, sehingga menjadi pemicu banyak larinya bakat cerdas orang-orang Asia Tenggara ke anggota negara-negara kaya atau negara maju (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD).
Hal ini terlihat dari meningkatnya pengiriman uang ke negara-negara berkembang tempat asal mereka. Umumnya, bakat-bakat cerdas ini menyisihkan penghasilannya untuk mengirimkan uang kepada orang tua atau keluarga mereka.
Bank Dunia pada 2016 lalu menyatakan, pengiriman uang ke negara-negara berkembang mencapai USD429 miliar, dimana pengiriman uang ke Filipina mencapai USD30 miliar, sepersepuluh dari ekonominya.
Riset ADB menyebut Asia Tenggara banyak kehilangan modal manusia di bidang kedokteran, sains, teknik, manajemen, dan pendidikan. Padahal kemajuan suatu bangsa terletak kepada kemajuan sumber daya manusianya. Hal ini pula yang ditengarai bisa menjadi hambatan utama bagi pembangunan ekonomi dan sosial di negara-negara Asia Tenggara.
“Hampir 10 persen warga berpendidikan tinggi dari Filipina, Singapura, dan Vietnam tinggal di negara-negara kaya dan negara maju. Untuk Laos dan Kamboja, rasionya sekitar 15 persen,” tulis ADB yang bermarkas di Manila, Filipina.
ADB menambahkan bahwa brain drain dari Asia Tenggara juga sering lebih berpendidikan atau berpengalaman dari apa yang dibutuhkan untuk pekerjaan mereka. Bahkan 52% pekerja dari Thailand dinilai overqualified dan rasio untuk brain drain dari Filipina, Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam mencapai 40%.
“Para brain drain menanggapi upah dan kondisi kerja yang lebih tinggi di negara lain, juga peluang untuk bekerja sama dengan orang-orang terampil lainnya dalam mengembangkan bakat mereka,” kata laporan ADB.
Sudah sepatutnya, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara yang membukukan pertumbuhan lebih dari 6%, harus dibarengi dengan penghargaan dan penghasilan yang lebih baik. Karena kebanyakan orang berpendidikan tinggi cenderung mencari peluang di luar negeri.
(ven)