Indonesia Perkuat Pasar CPO ke China
A
A
A
JAKARTA - Kalangan pelaku industri biodiesel mengapresiasi kebijakan pemerintah China yang menerapkan program biodiesel campuran 5% dengan solar atau B5. Penggunaan biodiesel di China menjadi pasar potensial untuk meningkatkan ekspor produk sawit Indonesia terutama biodiesel.
“Pemakaian B5 di Tiongkok akan menciptakan kebutuhan minyak sawit (CPO) sebesar 9 juta ton. Kalau Tiongkok sudah terapkan B5, nggak peduli lagi kita (ekspor) dengan Eropa dan Amerika Serikat,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor dalam silaturahmi bersama media di Jakarta.
Angka permintaan 9 juta ton ini berasal dari perhitungan kebutuhan bahan bakar solar China sebesar 180 juta Kl. Apabila dikalikan 5% sama dengan 9 juta Kl atau setara 9 juta ton. Tahun lalu, ekspor produk sawit Indonesia ke China mencapai 3,8 juta ton.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga menyebutkan delegasi Indonesia akan berkunjung ke China sebagai tindak lanjut pembicaraan Presiden Joko Widodo dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok, Xi Jinping. “Delegasi diperkirakan berangkat tanggal 16 Juni yang dipimpin Menko Maritim Luhut Panjaitan,” ujarnya.
Sebelumnya dalam pertemuan Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, China pada pertengahan Mei 2017. Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia menyambut baik program mandatori biodiesel 5% yang dikembangkan China.
"Untuk itu, program ini akan membutuhkan pasokan minyak kelapa sawit yang akan meningkat sepanjang tahun.“Indonesia siap memasok kebutuhan CPO (crude palm oil) ke Tiongkok lebih banyak,” kata Jokowi.
Tingginya permintaan CPO maupun biodiesel dari China dapat menutupi lesunya penjualan ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Lebih lanjut Sahat Sinaga menjelaskan semenjak 2016 ekspor biodiesel ke Amerika Serikat tidak lagi kompetitif karena pemberlakukan tarif bea masuk.
Apalagi pascakeluarnya Amerika dari kesepakatan COP21. Ini berarti pemerintahan Donald Trump tidak punya kewajiban mencampur biodiesel. “Ekspor biodiesel terus menurun ke USA dan Eropa. Penyebabnya sama-sama ada bea masuk tambahan,” ujar Sahat.
Faktor lainnya adalah kebijakan antidumping Amerika Serikat yang dialamatkan kepada produk biodiesel Indonesia. MP Tumanggor mengakui ekspor biodiesel ke Amerika Serikat terus tertekan akibat tuduhan dumping dan subsidi. Tak hanya itu, harga jual semakin tidak kompetitif lantaran pengenaan bea masuk. “Kalau tetap menjual ke Amerika Serikat, harganya tidak akan masuk. Akibat bea masuknya cukup tinggi,” jelas Tumanggor.
Itu sebabnya, menurut Sahat, pelaku industri mendorong penerapan program B5 di China. Pelaku industri ingin menawarkan skema kerja sama misalkan pengusaha China mendirikan pabrik biodiesel di Indonesia. Produsen biodiesel Indonesia yang bangun pabrik di China selanjutnya bahan baku dari Indonesia. “Nanti bea masuk CPO bagaimana, tergantung juga. Misalkan harga mau dipatok sama tergantung kerja samanya,” pungkas Sahat.
“Pemakaian B5 di Tiongkok akan menciptakan kebutuhan minyak sawit (CPO) sebesar 9 juta ton. Kalau Tiongkok sudah terapkan B5, nggak peduli lagi kita (ekspor) dengan Eropa dan Amerika Serikat,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor dalam silaturahmi bersama media di Jakarta.
Angka permintaan 9 juta ton ini berasal dari perhitungan kebutuhan bahan bakar solar China sebesar 180 juta Kl. Apabila dikalikan 5% sama dengan 9 juta Kl atau setara 9 juta ton. Tahun lalu, ekspor produk sawit Indonesia ke China mencapai 3,8 juta ton.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga menyebutkan delegasi Indonesia akan berkunjung ke China sebagai tindak lanjut pembicaraan Presiden Joko Widodo dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok, Xi Jinping. “Delegasi diperkirakan berangkat tanggal 16 Juni yang dipimpin Menko Maritim Luhut Panjaitan,” ujarnya.
Sebelumnya dalam pertemuan Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, China pada pertengahan Mei 2017. Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia menyambut baik program mandatori biodiesel 5% yang dikembangkan China.
"Untuk itu, program ini akan membutuhkan pasokan minyak kelapa sawit yang akan meningkat sepanjang tahun.“Indonesia siap memasok kebutuhan CPO (crude palm oil) ke Tiongkok lebih banyak,” kata Jokowi.
Tingginya permintaan CPO maupun biodiesel dari China dapat menutupi lesunya penjualan ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Lebih lanjut Sahat Sinaga menjelaskan semenjak 2016 ekspor biodiesel ke Amerika Serikat tidak lagi kompetitif karena pemberlakukan tarif bea masuk.
Apalagi pascakeluarnya Amerika dari kesepakatan COP21. Ini berarti pemerintahan Donald Trump tidak punya kewajiban mencampur biodiesel. “Ekspor biodiesel terus menurun ke USA dan Eropa. Penyebabnya sama-sama ada bea masuk tambahan,” ujar Sahat.
Faktor lainnya adalah kebijakan antidumping Amerika Serikat yang dialamatkan kepada produk biodiesel Indonesia. MP Tumanggor mengakui ekspor biodiesel ke Amerika Serikat terus tertekan akibat tuduhan dumping dan subsidi. Tak hanya itu, harga jual semakin tidak kompetitif lantaran pengenaan bea masuk. “Kalau tetap menjual ke Amerika Serikat, harganya tidak akan masuk. Akibat bea masuknya cukup tinggi,” jelas Tumanggor.
Itu sebabnya, menurut Sahat, pelaku industri mendorong penerapan program B5 di China. Pelaku industri ingin menawarkan skema kerja sama misalkan pengusaha China mendirikan pabrik biodiesel di Indonesia. Produsen biodiesel Indonesia yang bangun pabrik di China selanjutnya bahan baku dari Indonesia. “Nanti bea masuk CPO bagaimana, tergantung juga. Misalkan harga mau dipatok sama tergantung kerja samanya,” pungkas Sahat.
(akr)