Tantangan Wimboh Santoso Saat Jadi Nahkoda Baru OJK

Sabtu, 10 Juni 2017 - 14:16 WIB
Tantangan Wimboh Santoso...
Tantangan Wimboh Santoso Saat Jadi Nahkoda Baru OJK
A A A
JAKARTA - Terpilihnya Wimboh Santoso sebagai Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru untuk periode 2017-2022 mendapatkan dukungan dari beberapa pihak. Meski begitu Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Alexander menerangkan ada banyak tantangan yang harus dihadapi OJK ke depannya.

Salah satunya adalah risiko terjadinya gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia, baik yang berasal dari luar negeri (misalnya resiko capital outflows ketika US Fed Fund naik) dan dalam negeri (misalnya ketika terjadi kenaikan kredit bermasalah (NPL) di sistem perbankan.

"Maka dari itu yang harus dilakukan yakni supervisi sistem finansial dan lembaga-lembaga keuangan domestik (bank-bank dan NBFI) secara pruden, kerjasama dan koordinasi rutin dengan BI, Kemenkeu, dan LPS untuk jaga stabilitas sistem keuangan," ungkap Eric saat dihubungi Sabtu (10/6/2017).

Dia pun berharap, Wimboh beserta anggota DK OJK baru dapat bekerja sebaik-baiknya dalam memimpin OJK untuk menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan, serta dapat meneruskan reformasi kelembagaan OJK agar makin profesional dan bisa mengikuti dinamika pasar finansial dan industri finansial.

Senada, Chief Economist Bank Bukopin Sunarsip berpendapat, Wimboh merupakan sosok yang tepat untuk memimpin OJK. Selain itu, Wimboh juga memiliki gaya kebijakan yang hampir sama dengan Muliaman D. Hadad, ketua OJK saat ini. "Sehingga, saya yakin beliau akan mampu meneruskan estafet kepemimpinan yang sudah dibangun Pak Muliaman di OJK," terangnya

Bagi pelaku industri, sambung dia, kehadiran Wimboh dan tim juga memberikan rasa nyaman, karena adanya kesinambungan program. Namun demikian, OJK ke depan juga masih memiliki tantangan dan PR (Pekerjaan Rumah) yang perlu dirampungkan. Di sektor perbankan, misalnya, agenda konsolidasi perbankan masih perlu didorong lagi agar lebih cepat.

"Ini mengingat, struktur perbankan kita sebenarnya terlalu timpang antara bank besar dengan bank yang kecil. Kapasitas Bank BUKU 4 jauh berbeda dengan bank-bank yang kelasnya ada di bawahnya, apalagi dengan bank BUKU 1 dan BUKU 2," beber Sunarsip.

Kondisi tersebut terang dia, menyebabkan perbankan Indonesia masih jauh dari kata efisien secara nasional. Sementara itu, untuk industri keuangan nonbank (IKNB) tantangannya juga lebih berat lagi. Terutama bagaimana meningkatkan pangsa pasarnya di sektor keuangan yg masih jauh tertinggal.

"Termasuk juga regulasi di IKNB juga masih relatif tertinggal dengan sektor perbankan, sekalipun upaya-upaya penyetaraan dalam regulasi sudah dijalankan oleh OJK," paparnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0810 seconds (0.1#10.140)