OJK Dorong Bank Syariah Kebut Infrastruktur IT
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perbankan syariah untuk segera meningkatkan infrastruktur IT sebagai enabler atau faktor pembantu untuk mendorong pertumbuhan. Perkembangan layanan digital di perbankan syariah saat ini dinilai sangat tertinggal dibandingkan bank konvensional.
Deputi Direktur Pengawasan 2 Perbankan Syariah OJK Titi Wigati mengatakan, meskipun OJK telah menyiapkan strategi pengembangan perbankan syariah, namun tetap ada faktor enabler yang harus disiapkan pelaku industri yaitu infrastruktur IT.
Faktanya saat ini layanan digital sudah sangat dibutuhkan oleh nasabah perbankan. Sementara perkembangan layanan IT perbankan konvensional jauh meninggalkan bank syariah.
“Seharusnya sejak 2015 level teknologi bank itu 4.0 atau Internet of everything sejak 2015. Sementara perbankan syariah masih di level electronic banking atau 2.0 yang sangat ketinggalan. Sehingga infrastruktur IT perbankan syariah menjadi faktor krusial saat ini,” ujar Titi.
Industri keuangan syariah menurutnya harus siap menghadapi era digitalisasi, karena penggunaan teknologi finansial atau Fintech sangat diperlukan. Bank syariah bisa memanfaatkan infrastruktur bank induk untuk pengembangan layanan berbasis teknologi tersebut.
Sementara Pengawas Spesialis Teknologi Informasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bayu Hendra Sasana menambahkan, saat ini perbankan syariah masih termasuk tahap awal penggunaan teknologi dalam layanan keuangannya.
"Perbankan syariah boleh menggunakan infrastruktur di bank induk, apalagi infrastrukturnya memadai. Ini sedikit banyak berpengaruh ke keuangan syariah, punya peranan bagus untuk mengembangkan," kata Bayu dalam kesempatan sama.
Menurutnya, dengan digitalisasi dan penggunaan Fintech, nantinya akses perbankan syariah dapat menjangkau wilayah yang lebih luas atau lebih inklusif. Dengan demikian, OJK terus mendorong inovasi produk digital bagi keuangan syariah.
Saat ini terdapat 4 kategori level, dan perbankan syariah sendiri baru masuk dalam fase kategori 2. Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa perbankan syariah yang masuk dalam kategori 2 tersebut sudah dapat melayani elektronic banking.
Meski begitu, hingga saat ini berdasarkan data OJK, belum ada satupun perbankan syariah yang masuk ke dalam kategori 3. “Kalau sudah naik ke tiga, perbankan syariah bisa melakukan one stop shopping atau produknya tidak terbatas,” ujarnya
Ketika perbankan syariah sudah one stop shopping, maka dapat memanfaatkan pertumbuhan e-commerce, di mana berdasarkan data Bank Indonesia nilai transaksi e-commerce pada 2014 mencapai sekitar Rp34,9 triliun. Angka ini akan terus meningkat sejalan dengan masifnya penggunaan smartphone.
Sementara untuk perbankan dalam fase terakhir yakni kategori empat, atau generasi intenet of everything, produk yang dimiliki perbankan sudah sangat lengkap dan layanannya juga sudah terakses internet dengan baik. Dengan begitu, perbankan juga bisa menopang pertumbuhan e-commerce.
Pada kesempatan yang sama Pengamat IT Heru Sutadi mengatakan, penggunaan teknologi harus dapat memenuhi aspek inklusi keuangan di Indonesia. Khususnya syariah yang memiliki potensi besar.
Namun, ia menilai saat ini lembaga keuangan syariah masih kekurangan inovasi dalam mengembangkan produk produknya yang berbasis teknologi. "Padahal kalau kita bersiap sekian tahun lalu mungkin saat ini jadi waktu yang pas untuk menikmati hasilnya," ujar Heru Sutadi.
Menurut Heru, dengan adanya industri fintech, perkembangan digitalisasi keuangan menjadi satu momok yang dikhawatirkan memakan industri keuangan konvensional, apalagi syariah yang masih kecil. Namun menurutnya yang menjadi tantangan penting saat ini lebih banyak lembaga keuangan syariah yang berfokus di Pulau Jawa.
Meskipun Indonesia Timur mayoritas merupakan nonmuslim, tetapi ia meyakini industri syariah dapat lebih berkembang dengan bantuan teknologi. Sementara itu, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Taufik Marjumadi mengatakan, saat ini pihaknya masih terus berkoordinasi dengan OJK dan lembaga keuangan syariah lainnya untuk penggunaan Fintech dalam produk dan layanan.
Sejauh ini di asuransi, baru beberapa produk dan layanan yang menggunakan teknologi seperti e-services dan e-claims yang dapat menggunakan akses internet dan mobile. Apalagi dengan penetrasi asuransi syariah yang baru 0,99 %, peluang pangsa pasar masih sangat besar.
Industri perbankan syariah terus didorong untuk bisa sejajar dengan perbankan konvensional. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk muslim di Indonesia yang menjadi potensi pasar tersendiri bagi perbankan syariah nasional.
Namun demikian, meski potensi pasar perbankan syariah sangat besar di Indonesia, tetapi kondisi ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh perbankan syariah. Saat ini, pangsa pasar perbankan syariah masih sekitar 5,1 % dari total industri perbankan.
OJK mencatat hingga Maret, pangsa pasar keuangan syariah secara keseluruhan berkisar 5%. Namun, apabila dilihat dari setiap jenis produk syariah, hingga triwulan I 2017, terdapat beberapa produk syariah yang market share-nya di atas 5%, antara lain aset perbankan syariah sebesar 5,29% dari seluruh aset perbankan.
Sukuk negara yang mencapai 16,45% dari total surat berharga negara yang beredar, lembaga pembiayaan syariah sebesar 7,27% dari total pembiayaan, lembaga jasa keuangan khusus sebesar 10,11%, dan lembaga keuangan mikro syariah sebesar 23,72%.
Sementara itu, produk syariah yang pangsa pasarnya masih di bawah 5%, antara lain sukuk korporasi yang beredar sebesar 3,77% dari seluruh nilai sukuk dan obligasi korporasi, nilai aktiva bersih reksa dana syariah sebesar 4,75% dari total nilai aktiva bersih reksa dana, dan asuransi syariah sebesar 3,47%.
Selain produk keuangan di atas, saham emiten dan perusahaan publik yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah mencapai 54,89% dari kapitalisasi pasar saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
Deputi Direktur Pengawasan 2 Perbankan Syariah OJK Titi Wigati mengatakan, meskipun OJK telah menyiapkan strategi pengembangan perbankan syariah, namun tetap ada faktor enabler yang harus disiapkan pelaku industri yaitu infrastruktur IT.
Faktanya saat ini layanan digital sudah sangat dibutuhkan oleh nasabah perbankan. Sementara perkembangan layanan IT perbankan konvensional jauh meninggalkan bank syariah.
“Seharusnya sejak 2015 level teknologi bank itu 4.0 atau Internet of everything sejak 2015. Sementara perbankan syariah masih di level electronic banking atau 2.0 yang sangat ketinggalan. Sehingga infrastruktur IT perbankan syariah menjadi faktor krusial saat ini,” ujar Titi.
Industri keuangan syariah menurutnya harus siap menghadapi era digitalisasi, karena penggunaan teknologi finansial atau Fintech sangat diperlukan. Bank syariah bisa memanfaatkan infrastruktur bank induk untuk pengembangan layanan berbasis teknologi tersebut.
Sementara Pengawas Spesialis Teknologi Informasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bayu Hendra Sasana menambahkan, saat ini perbankan syariah masih termasuk tahap awal penggunaan teknologi dalam layanan keuangannya.
"Perbankan syariah boleh menggunakan infrastruktur di bank induk, apalagi infrastrukturnya memadai. Ini sedikit banyak berpengaruh ke keuangan syariah, punya peranan bagus untuk mengembangkan," kata Bayu dalam kesempatan sama.
Menurutnya, dengan digitalisasi dan penggunaan Fintech, nantinya akses perbankan syariah dapat menjangkau wilayah yang lebih luas atau lebih inklusif. Dengan demikian, OJK terus mendorong inovasi produk digital bagi keuangan syariah.
Saat ini terdapat 4 kategori level, dan perbankan syariah sendiri baru masuk dalam fase kategori 2. Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa perbankan syariah yang masuk dalam kategori 2 tersebut sudah dapat melayani elektronic banking.
Meski begitu, hingga saat ini berdasarkan data OJK, belum ada satupun perbankan syariah yang masuk ke dalam kategori 3. “Kalau sudah naik ke tiga, perbankan syariah bisa melakukan one stop shopping atau produknya tidak terbatas,” ujarnya
Ketika perbankan syariah sudah one stop shopping, maka dapat memanfaatkan pertumbuhan e-commerce, di mana berdasarkan data Bank Indonesia nilai transaksi e-commerce pada 2014 mencapai sekitar Rp34,9 triliun. Angka ini akan terus meningkat sejalan dengan masifnya penggunaan smartphone.
Sementara untuk perbankan dalam fase terakhir yakni kategori empat, atau generasi intenet of everything, produk yang dimiliki perbankan sudah sangat lengkap dan layanannya juga sudah terakses internet dengan baik. Dengan begitu, perbankan juga bisa menopang pertumbuhan e-commerce.
Pada kesempatan yang sama Pengamat IT Heru Sutadi mengatakan, penggunaan teknologi harus dapat memenuhi aspek inklusi keuangan di Indonesia. Khususnya syariah yang memiliki potensi besar.
Namun, ia menilai saat ini lembaga keuangan syariah masih kekurangan inovasi dalam mengembangkan produk produknya yang berbasis teknologi. "Padahal kalau kita bersiap sekian tahun lalu mungkin saat ini jadi waktu yang pas untuk menikmati hasilnya," ujar Heru Sutadi.
Menurut Heru, dengan adanya industri fintech, perkembangan digitalisasi keuangan menjadi satu momok yang dikhawatirkan memakan industri keuangan konvensional, apalagi syariah yang masih kecil. Namun menurutnya yang menjadi tantangan penting saat ini lebih banyak lembaga keuangan syariah yang berfokus di Pulau Jawa.
Meskipun Indonesia Timur mayoritas merupakan nonmuslim, tetapi ia meyakini industri syariah dapat lebih berkembang dengan bantuan teknologi. Sementara itu, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Taufik Marjumadi mengatakan, saat ini pihaknya masih terus berkoordinasi dengan OJK dan lembaga keuangan syariah lainnya untuk penggunaan Fintech dalam produk dan layanan.
Sejauh ini di asuransi, baru beberapa produk dan layanan yang menggunakan teknologi seperti e-services dan e-claims yang dapat menggunakan akses internet dan mobile. Apalagi dengan penetrasi asuransi syariah yang baru 0,99 %, peluang pangsa pasar masih sangat besar.
Industri perbankan syariah terus didorong untuk bisa sejajar dengan perbankan konvensional. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk muslim di Indonesia yang menjadi potensi pasar tersendiri bagi perbankan syariah nasional.
Namun demikian, meski potensi pasar perbankan syariah sangat besar di Indonesia, tetapi kondisi ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh perbankan syariah. Saat ini, pangsa pasar perbankan syariah masih sekitar 5,1 % dari total industri perbankan.
OJK mencatat hingga Maret, pangsa pasar keuangan syariah secara keseluruhan berkisar 5%. Namun, apabila dilihat dari setiap jenis produk syariah, hingga triwulan I 2017, terdapat beberapa produk syariah yang market share-nya di atas 5%, antara lain aset perbankan syariah sebesar 5,29% dari seluruh aset perbankan.
Sukuk negara yang mencapai 16,45% dari total surat berharga negara yang beredar, lembaga pembiayaan syariah sebesar 7,27% dari total pembiayaan, lembaga jasa keuangan khusus sebesar 10,11%, dan lembaga keuangan mikro syariah sebesar 23,72%.
Sementara itu, produk syariah yang pangsa pasarnya masih di bawah 5%, antara lain sukuk korporasi yang beredar sebesar 3,77% dari seluruh nilai sukuk dan obligasi korporasi, nilai aktiva bersih reksa dana syariah sebesar 4,75% dari total nilai aktiva bersih reksa dana, dan asuransi syariah sebesar 3,47%.
Selain produk keuangan di atas, saham emiten dan perusahaan publik yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah mencapai 54,89% dari kapitalisasi pasar saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
(akr)