Tantangan Industri Sawit, Budaya Bakar Lahan Rawan Penyimpangan
A
A
A
JAKARTA - Kebiasan membuka lahan dua hektare dengan cara membakar yang dijamin Undang-undang (UU) 32 tahun 2009, menurut Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo perlu diubah karena rawan penyimpangan. Meski begitu terang dia membuka lahan maksimal dua hektar dengan cara membakar sebenarnya tetap bisa dipertahankan
“Hanya caranya perlu diubah dari membakar menjadi menggunakan mekanisasi seperti traktor dan sebagainya," kata Firman di sela-sela Public Policy Discussion DPN APINDO bertema tantangan perbaikan kebijakan industri perkebunan sawit, di Jakarta, Kamis (22/6)
Lebih lanjut dia mengharapkan, pemerintah perlu membantu masyarakat untuk mengubah perilaku tersebut. Pembukaan lahan menggunakan mekanisasi jauh lebih manusiawi dan tidak menimbulkan banyak masalah dikemudian hari.
Menurutnya cara-cara membuka lahan dengan membakar sebaiknya tidak ditolerir karena rawan penyimpangan. Dia mencontohkan, kebakaran besar pada tahun 2015 yang dipakai sebagai acuan untuk membuat sejumlah regulasi yang bertendensi memojokan industri, didesain oleh kelompok tertentu dengan memanfaatkan celah dari kearifan lokal tersebut.
Jika sebelumnya tahun 2015, kebakaran hanya terjadi beberapa wilayah seperti Riau, Jambi dan Sumatera, kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 berbeda karena bersifat masif dan sistimatis. Masif karena kebakaran terjadi secara merata di 7 provinsi di Indonesia, sistematis karena kasus kebakaran beruntun dari Sumatera hingga Papua.
“Ada dugaan, pihak-pihak tertentu dan LSM yang mengatasnamakan lingkungan mendesain kasus kebakaran itu dengan memanfaatkan celah dari kearifan lokal untuk membakar seluas 2 hektar. Dugaan rekayasa pembakaran itupun pernah diutarakan salah satu instansi pemerintah. Hanya saja, masalah itu tidak terkuak ke publik karena sarat dengan berbagai kepentingan,” kata Firman.
Dia menduga, motivasi mendesain kebakaran hutan dan lahan pada 2015 terkait dengan masalah politik perdagangan. Dari sekian banyak komoditas minyak nabati, hanya sawit itu yang mampu tumbuh dengan baik dan mampu mengalahkan pesaing minyak nabati lain. “Karena itu, asing melalui berbagai perjanjian internasional, seperti konferensi perubahan iklim di Paris serta Perjanjian Norwegia, berusaha mematikan potensi nasional Indonesia," kata dia.
Firman mengingatkan, pemerintah Jokowi untuk tidak mudah terhasut dengan pernyataan beberapa LSM, karena banyak dari mereka merupakan operator kepentingan asing di Indonesia. “Sebenarnya, berkali-kali saya menghimbau BIN dan aparat Kepolisian untuk menyelidiki LSM-LSM yang suka mendiskreditkan kebijakan nasional, kata dia.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Prof Sri Adiningsih mengatakan, peran sektor perkebunan sawit sangat penting bagi perekonomian Indonesia. “Sebagai komoditas unggulan, sawit punya peran kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia," ungkapnya.
Diungkapkan olehnya, industri sawit harus terus ditingkatkan karena menghasilkan devisa besar serta lebih dari 5 juta kepala keluarga petani bergantung di industri ini. “Ini potensi yang harus kita kembangkan agar Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Pokja Pangan, industri Pertanian dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) Benny Pasaribu mengatakan, isu negatif dalam persaingan global merupakan hal yang biasa. Persoalannya, kita harus mampu menepis isu-isu negatif itu dengan diplomasi internasional agar industri sawit tetap terus berjalan. Terang dia pemerintah berkomitmen untuk mengembangkan industri sawit karena melibatkan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah seperti tamatan SD atau SMP.
"Harus diakui, disitulah banyak sumber daya manusia kita terutama di daerah-daerah. Walaupun jenjang pendidikan mereka tidak tinggi, rata-rata para pekerja sawit merupakan tenaga profesional dan pekerja keras. Terbukti di Malaysia, yang industri sawitnya lebih maju dari kita banyak memanfaatkan pekerja sawit asal Indonesia,” kata Benny.
“Hanya caranya perlu diubah dari membakar menjadi menggunakan mekanisasi seperti traktor dan sebagainya," kata Firman di sela-sela Public Policy Discussion DPN APINDO bertema tantangan perbaikan kebijakan industri perkebunan sawit, di Jakarta, Kamis (22/6)
Lebih lanjut dia mengharapkan, pemerintah perlu membantu masyarakat untuk mengubah perilaku tersebut. Pembukaan lahan menggunakan mekanisasi jauh lebih manusiawi dan tidak menimbulkan banyak masalah dikemudian hari.
Menurutnya cara-cara membuka lahan dengan membakar sebaiknya tidak ditolerir karena rawan penyimpangan. Dia mencontohkan, kebakaran besar pada tahun 2015 yang dipakai sebagai acuan untuk membuat sejumlah regulasi yang bertendensi memojokan industri, didesain oleh kelompok tertentu dengan memanfaatkan celah dari kearifan lokal tersebut.
Jika sebelumnya tahun 2015, kebakaran hanya terjadi beberapa wilayah seperti Riau, Jambi dan Sumatera, kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 berbeda karena bersifat masif dan sistimatis. Masif karena kebakaran terjadi secara merata di 7 provinsi di Indonesia, sistematis karena kasus kebakaran beruntun dari Sumatera hingga Papua.
“Ada dugaan, pihak-pihak tertentu dan LSM yang mengatasnamakan lingkungan mendesain kasus kebakaran itu dengan memanfaatkan celah dari kearifan lokal untuk membakar seluas 2 hektar. Dugaan rekayasa pembakaran itupun pernah diutarakan salah satu instansi pemerintah. Hanya saja, masalah itu tidak terkuak ke publik karena sarat dengan berbagai kepentingan,” kata Firman.
Dia menduga, motivasi mendesain kebakaran hutan dan lahan pada 2015 terkait dengan masalah politik perdagangan. Dari sekian banyak komoditas minyak nabati, hanya sawit itu yang mampu tumbuh dengan baik dan mampu mengalahkan pesaing minyak nabati lain. “Karena itu, asing melalui berbagai perjanjian internasional, seperti konferensi perubahan iklim di Paris serta Perjanjian Norwegia, berusaha mematikan potensi nasional Indonesia," kata dia.
Firman mengingatkan, pemerintah Jokowi untuk tidak mudah terhasut dengan pernyataan beberapa LSM, karena banyak dari mereka merupakan operator kepentingan asing di Indonesia. “Sebenarnya, berkali-kali saya menghimbau BIN dan aparat Kepolisian untuk menyelidiki LSM-LSM yang suka mendiskreditkan kebijakan nasional, kata dia.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Prof Sri Adiningsih mengatakan, peran sektor perkebunan sawit sangat penting bagi perekonomian Indonesia. “Sebagai komoditas unggulan, sawit punya peran kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia," ungkapnya.
Diungkapkan olehnya, industri sawit harus terus ditingkatkan karena menghasilkan devisa besar serta lebih dari 5 juta kepala keluarga petani bergantung di industri ini. “Ini potensi yang harus kita kembangkan agar Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Pokja Pangan, industri Pertanian dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) Benny Pasaribu mengatakan, isu negatif dalam persaingan global merupakan hal yang biasa. Persoalannya, kita harus mampu menepis isu-isu negatif itu dengan diplomasi internasional agar industri sawit tetap terus berjalan. Terang dia pemerintah berkomitmen untuk mengembangkan industri sawit karena melibatkan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah seperti tamatan SD atau SMP.
"Harus diakui, disitulah banyak sumber daya manusia kita terutama di daerah-daerah. Walaupun jenjang pendidikan mereka tidak tinggi, rata-rata para pekerja sawit merupakan tenaga profesional dan pekerja keras. Terbukti di Malaysia, yang industri sawitnya lebih maju dari kita banyak memanfaatkan pekerja sawit asal Indonesia,” kata Benny.
(akr)