Ekspor Minyak Sawit Dihambat, Indonesia Minta Penjelasan Uni Eropa

Kamis, 06 Juli 2017 - 11:30 WIB
Ekspor Minyak Sawit...
Ekspor Minyak Sawit Dihambat, Indonesia Minta Penjelasan Uni Eropa
A A A
JENEWA - Delegasi Indonesia pada pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) meminta penjelasan Uni Eropa (UE) tentang hambatan perdagangan, yang diterapkan oleh UE terhadap produk impor dari Indonesia, khususnya kelapa sawit. Memanfaatkan proses Trade Policy Review (TPR) ke-13, Indonesia meminta UE memberi perhatian serius.

“Indonesia adalah pemasok terbesar minyak sawit untuk UE, dan oleh karenanya sangat menyesalkan terjadinya peningkatan hambatan perdagangan terhadap ekspor minyak sawit Indonesia ke UE," ucap Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional Kementerian Perdagangan Dody Edward saat proses TPR.

Dalam keterangan resminya, Indonesia juga menyampaikan keprihatinan terhadap Resolusi Sawit dan Deforestasi (Resolution on Palm Oil and Deforestation of Rainforest) yang disetujui oleh Parlemen Eropa pada April 2017, yang mendiskriminasi produk minyak sawit dengan produk minyak nabati lainnya.

“Resolusi tersebut tidak tepat, dan UE perlu mengakui upaya keras Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan dan mempromosikan produksi minyak sawit yang berkelanjutan," tambahnya.

Delegasi UE menyampaikan bahwa resolusi Parlemen Eropa tersebut tidak mengikat terhadap badan eksekutif Komisi Eropa, dan secara hukum tidak mengharuskan Komisi Eropa untuk menindaklanjutinya dengan perumusan suatu produk hukum yang mengikat. Namun Dody Edward berpandangan bahwa resolusi tersebut semakin mempertegas kampanye negatif minyak sawit di UE.

Indonesia juga mempertanyakan beberapa hambatan non-tarif lainnya yang diterapkan oleh UE yang telah atau berpotensi menghambat akses pasar bagi produk/komoditas ekspor Indonesia, diantaranya ambang batas zat anthraquinnone pada teh, labelling pada produk susu, daging, dan produk derivatifnya; ambang batas kandungan zat 3 MCPD pada minyak nabati -termasuk pada minyak sawit- yang dipandang sebagai karsinogenik; ambang batas zat Aflatoxine pada komoditas pala.

Dasar Pemri mengajukan keberadaan atas standar produk tersebut, karena terdapat diskrepansi antara batas yang diterapkan oleh UE dengan batas yang diterapkan oleh badan standardisasi internasional Codex Alimentarius Commission. Indonesia juga mempertanyakan kebijakan fitosanitari UE yang terkait dengan draft peraturan UE mengenai kriteria penentuan suatu elemen sebagai endoctrine disruptors – yang dinilai tidak memiliki dasar ilmiah.

Terkait dengan kebijakan fitosanitarinya, delegasi UE menyampaikan bahwa bahwa berbagai kebijakan yang diambilnya telah sesuai dengan aturan WTO dan standar internasional yang ada, serta pelaksanaannya dimonitor oleh Komisi Eropa.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9615 seconds (0.1#10.140)