Pengamat: Hasil Audit BPK Perlu Ditinjau Ulang
A
A
A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) pada 13 Juni 2017 lalu telah menyerahkan ke DPR hasil audit investigasi perpanjangan kontrak kerjasama pengelolaan PT Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding pada PT Jakarta International Container Terminal (JICT) yang ditandatangani 5/8/2014 lalu.
Hasilnya, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara minimal sebesar 306 juta dollar AS atau ekuivalen Rp 4,08 triliun (kurs Rp 13.337 per dollar AS 2017).
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan adanya indikasi berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian kerja sama pengoperasian tersebut.
Cara-cara untuk memperpanjang kontrak kerja sama tersebut terindikasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hasil audit tersebut menuai tanggapan dari Koordinator Transparency Port of Indonesia (TPI) Dr. Mappa PB.
"Berdasarkan informasi yang luas beredar, kami menilai temuan BPK lebih banyak pada sisi fraud administratif atau ketaatan prosedural saja. Ini lebih pada memangkas proses birokrasi agar lebih ringkas," kata Dr Mappa kepada wartawan, Senin (24/7/2017).
Mappa juga mengungkapkan adanya kelemahan dalam audit yang dikeluarkan BPK tersebut.
"Jika terkait angka dugaan 4,8 triliun rupiah, kami juga punya pandangan berbeda. Kami menilai ada dua kelemahan mendasar dari hasil audit tersebut. Pertama, BPK menggunakan Net Present Value (NPV) untuk menghitung indikasi kerugian negara sedangkan kita tahu bahwa NPV digunakan untuk analisa investasi dengan menggunakan asumsi-asumsi masa depan yang bersifat subyektif bukan berdasarkan fakta. Kami tidak tahu berapa asumsi yg digunakan dalam menghitung pertumbuhan JICT itu. Apakah asumsi itu sudah memperhitungkan persaingan dengan pelabuhan lain seperti New Port Container Terminal (NPCT) 1 dan 2 dan pelabuhan Patimban yang akan dibangun dalam waktu dekat ini," jelasnya.
Faktanya kata dia, sejak 2013 sampai sekarang keuntungan JICT bukannya tumbuh, malah semakin melorot. Dengan begitu, secara otomatis deviden yang dibayarkan juga semakin turun.
"Apakah itu sudah diperhitungkan oleh BPK. Lalu berapa asumsi bunga diskonto yang dipakai, apakah BPK bisa meramalkan bunga diskonto untuk 25 tahun ke depan, untuk meramalkan satu tahun ke depan saja sering meleset karena banyak faktor yang mempengaruhi," ujarnya.
"Kedua, membandingkan hasil pengelolaan sendiri dengan kerjasama dengan investor itu tidak apple to apple. Seharusnya BPK membandingkan apabila JICT dikelola oleh Hutchison dengan operator lain seperti PSA atau Dubai Port. Atau bisa juga membandingkan hasil penerimaan Pelindo II dari perjanjian lama dengan perjanjian yang baru."
Ia mengaku, menurut data yang ia peroleh, perjanjian baru ini membuat penerimaan Pelindo II menjadi 7 kali lipat jauh lebih besar dari sebelumnya yang hanya 2 kali lipat terutama karena adanya pembayaran tetap rental sebesar USD 85 juta setahun ke Pelindo II.
"Sedangkan pembayaran technical know how ke Hutchison malah dihapuskan. Jadi kami bingung dimana letak kerugian negaranya. Jadi hasil audit BPK ini perlu ditinjau ulang," tutupnya.
Hasilnya, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara minimal sebesar 306 juta dollar AS atau ekuivalen Rp 4,08 triliun (kurs Rp 13.337 per dollar AS 2017).
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan adanya indikasi berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian kerja sama pengoperasian tersebut.
Cara-cara untuk memperpanjang kontrak kerja sama tersebut terindikasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hasil audit tersebut menuai tanggapan dari Koordinator Transparency Port of Indonesia (TPI) Dr. Mappa PB.
"Berdasarkan informasi yang luas beredar, kami menilai temuan BPK lebih banyak pada sisi fraud administratif atau ketaatan prosedural saja. Ini lebih pada memangkas proses birokrasi agar lebih ringkas," kata Dr Mappa kepada wartawan, Senin (24/7/2017).
Mappa juga mengungkapkan adanya kelemahan dalam audit yang dikeluarkan BPK tersebut.
"Jika terkait angka dugaan 4,8 triliun rupiah, kami juga punya pandangan berbeda. Kami menilai ada dua kelemahan mendasar dari hasil audit tersebut. Pertama, BPK menggunakan Net Present Value (NPV) untuk menghitung indikasi kerugian negara sedangkan kita tahu bahwa NPV digunakan untuk analisa investasi dengan menggunakan asumsi-asumsi masa depan yang bersifat subyektif bukan berdasarkan fakta. Kami tidak tahu berapa asumsi yg digunakan dalam menghitung pertumbuhan JICT itu. Apakah asumsi itu sudah memperhitungkan persaingan dengan pelabuhan lain seperti New Port Container Terminal (NPCT) 1 dan 2 dan pelabuhan Patimban yang akan dibangun dalam waktu dekat ini," jelasnya.
Faktanya kata dia, sejak 2013 sampai sekarang keuntungan JICT bukannya tumbuh, malah semakin melorot. Dengan begitu, secara otomatis deviden yang dibayarkan juga semakin turun.
"Apakah itu sudah diperhitungkan oleh BPK. Lalu berapa asumsi bunga diskonto yang dipakai, apakah BPK bisa meramalkan bunga diskonto untuk 25 tahun ke depan, untuk meramalkan satu tahun ke depan saja sering meleset karena banyak faktor yang mempengaruhi," ujarnya.
"Kedua, membandingkan hasil pengelolaan sendiri dengan kerjasama dengan investor itu tidak apple to apple. Seharusnya BPK membandingkan apabila JICT dikelola oleh Hutchison dengan operator lain seperti PSA atau Dubai Port. Atau bisa juga membandingkan hasil penerimaan Pelindo II dari perjanjian lama dengan perjanjian yang baru."
Ia mengaku, menurut data yang ia peroleh, perjanjian baru ini membuat penerimaan Pelindo II menjadi 7 kali lipat jauh lebih besar dari sebelumnya yang hanya 2 kali lipat terutama karena adanya pembayaran tetap rental sebesar USD 85 juta setahun ke Pelindo II.
"Sedangkan pembayaran technical know how ke Hutchison malah dihapuskan. Jadi kami bingung dimana letak kerugian negaranya. Jadi hasil audit BPK ini perlu ditinjau ulang," tutupnya.
(wbs)