Penolakan Perpanjangan Kontrak JICT Dinilai Bermotif Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Penolakan Perpanjangan kontrak PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Pelindo II oleh Serikat Pekerja (SP) JICT dinilai sejumlah kalangan bermotif kepentingan ekonomi Serikat Pekerja JICT. Pasalnya, jika kontrak perpanjangan tersebut batal, maka para pekerja JICT akan mendapatkan uang pesangon miliaran rupiah.
“Jika kontrak JICT-Pelindo II batal, otomatis pada saat tahun 2019 JICT tidak akan punya wilayah operasional diterminal tanjung priok dan tidak ada pekerjaan buat para pekerja itu. Mau kerja dimana mereka, wong dermaganya diambil alih Pelindo II,” ungkap Kalalo Nugroho, mantan kepala biro hukum Kementerian Perhubungan lewat keterangan resmi, Jumat (4/8).
Dalam situasi tanpa operasional itulah JICT akan dipaksa untuk rasionalisasi para pekerjanya. Dalam perhitungan di Perjanjian Kerja Bersama (PKB), masing-masing pekerja akan mendapatkan pesangon dengan jumlah miliaran.
“Menurut UU 17 tentang Pelayaran, Pelindo II sebagai pemilik konsesi berhak untuk bermitra untuk kegiatan operasional. Itu dermaga yang sekarang dioperasikan oleh JICT juga aset Pelindo II, aset negara,” ujarnya.
Selanjutnya menurut Kalalo penolakan yang dilakukan oleh SP ini tidaklah berdasar karena Undang- undang Pelayaran tidak melarang Pelindo II untuk bekerjasama dengan pihak ketiga. Jelas diatur dalam Undang2 tersebut bahwa kerjasama dengan pihak ketiga tetap berlaku, akan tetapi wajib disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam UU no 17 tahun 2008( psl 345). Hal itu sudah dilakukan oleh Pelindo II dan JICT baik pada perjanjian asli yang akan berakhir tahun 2019 maupun perpanjangannya.
“Di JICT, pekerja mungkin ingin perusahaannya tutup dan segera dapat pesangon besar. Jika JICT tutup itu yang akan merugikan negara, karena sahamnya dimiliki Pelindo II yang juga BUMN,” imbuhnya.
Kalalo juga menegaskan, penolakan SP JICT terhadap perpanjangan JICT justru merugikan merah putih. Dengan rental fee yang naik hingga US$ 85 juta pasca perpanjangan kontrak, yang diuntungkan adalah Pelindo II.
“Ini rental fee naik untuk pembangunan pelabuhan di Indonesia. Tapi kok malah dipersoalkan sama SP karena naiknya rental fee itu mengurangi bonus mereka. Jadi merah putihnya SP ini dimana, mereka nggak mau berkorban untuk negara kok, itu faktanya,” tegas Kalalo.
Sementara Direktur Namarin Institute Siswanto Rusdi mengatakan, cara-cara SP JICT sudah merugikan negara. Dengan mogok kerja, SP JICT sudah mengganggu ekonomi nasional. Apalagi motif mogok tersebut hanya untuk memaksa direksi JICT untuk membayar tambahan insentif yang tidak menjadi haknya.
“Soliditas pemangku kepentingan, kepolisian dan JICT dalam mengatasi mogok kerja SP JICT ini luar biasa. Perusahaan jangan kalah dengan ulah segelintir orang yang berusaha membangkrutkan aset negara,” tegas Siswanto.
“Jika kontrak JICT-Pelindo II batal, otomatis pada saat tahun 2019 JICT tidak akan punya wilayah operasional diterminal tanjung priok dan tidak ada pekerjaan buat para pekerja itu. Mau kerja dimana mereka, wong dermaganya diambil alih Pelindo II,” ungkap Kalalo Nugroho, mantan kepala biro hukum Kementerian Perhubungan lewat keterangan resmi, Jumat (4/8).
Dalam situasi tanpa operasional itulah JICT akan dipaksa untuk rasionalisasi para pekerjanya. Dalam perhitungan di Perjanjian Kerja Bersama (PKB), masing-masing pekerja akan mendapatkan pesangon dengan jumlah miliaran.
“Menurut UU 17 tentang Pelayaran, Pelindo II sebagai pemilik konsesi berhak untuk bermitra untuk kegiatan operasional. Itu dermaga yang sekarang dioperasikan oleh JICT juga aset Pelindo II, aset negara,” ujarnya.
Selanjutnya menurut Kalalo penolakan yang dilakukan oleh SP ini tidaklah berdasar karena Undang- undang Pelayaran tidak melarang Pelindo II untuk bekerjasama dengan pihak ketiga. Jelas diatur dalam Undang2 tersebut bahwa kerjasama dengan pihak ketiga tetap berlaku, akan tetapi wajib disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam UU no 17 tahun 2008( psl 345). Hal itu sudah dilakukan oleh Pelindo II dan JICT baik pada perjanjian asli yang akan berakhir tahun 2019 maupun perpanjangannya.
“Di JICT, pekerja mungkin ingin perusahaannya tutup dan segera dapat pesangon besar. Jika JICT tutup itu yang akan merugikan negara, karena sahamnya dimiliki Pelindo II yang juga BUMN,” imbuhnya.
Kalalo juga menegaskan, penolakan SP JICT terhadap perpanjangan JICT justru merugikan merah putih. Dengan rental fee yang naik hingga US$ 85 juta pasca perpanjangan kontrak, yang diuntungkan adalah Pelindo II.
“Ini rental fee naik untuk pembangunan pelabuhan di Indonesia. Tapi kok malah dipersoalkan sama SP karena naiknya rental fee itu mengurangi bonus mereka. Jadi merah putihnya SP ini dimana, mereka nggak mau berkorban untuk negara kok, itu faktanya,” tegas Kalalo.
Sementara Direktur Namarin Institute Siswanto Rusdi mengatakan, cara-cara SP JICT sudah merugikan negara. Dengan mogok kerja, SP JICT sudah mengganggu ekonomi nasional. Apalagi motif mogok tersebut hanya untuk memaksa direksi JICT untuk membayar tambahan insentif yang tidak menjadi haknya.
“Soliditas pemangku kepentingan, kepolisian dan JICT dalam mengatasi mogok kerja SP JICT ini luar biasa. Perusahaan jangan kalah dengan ulah segelintir orang yang berusaha membangkrutkan aset negara,” tegas Siswanto.
(akr)