Butuh Rp3 Triliun untuk Kapal Riset Migas
A
A
A
JAKARTA - Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL), Badan Litbang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melaksanakan uji coba (sea trial) Kapal Riset Geomarin III di Selat Sunda.
Sea trial ini merupakan persiapan pelaksanaan penelitian identifikasi cekungan sedimenter untuk mendukung penyiapan wilayah kerja (WK) minyak dan gas bumi (Migas) Perairan Arafura, Papua dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) di perairan Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Pada sea trial ini, dilakukan juga uji coba peralatan survei yang digunakan untuk pengambilan data geologi dan geofisika kelautan," ujar Kepala Badan Litbang Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/8/2017).
Badan Litbang, membutuhkan empat kapal lagi senilai Rp3 triliun untuk mendukung kegiatan riset dalam menemukan sumur-sumur migas baru.
Menurut Sutijastoto, salah satu metode survei yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survei Seismik 2D. Survei seismik 2D merupakan survei dengan menggunakan peralatan seismik multi kanal untuk mengetahui potensi sumber daya geologi dan luasan potensi sistem petroleum (petroleum system). "Di samping seismik 2D, dilakukan juga survei dengan menggunakan marine gravity meter," ujarnya.
Peralatan ini mempunyai daya tarik tersendiri, karena hasil yang diperoleh yaitu data tentang model dan dimensi cekungan migas, sehingga akan menambah pemahaman tentang sistem petroleum yang merupakan konsep penting dalam bidang migas. Peralatan ini membuka peluang besar untuk jasa layanan PPPGL di bidang eksplorasi migas.
Informasi awal geologi tersebut dapat menghemat pembiayaan yang dikeluarkan untuk eksplorasi. Dengan keterbatasan data dan informasi mengenai tatanan geologi dan geofisika, khususnya di wilayah perairan Laut Arafura, selatan Papua, maka penelitian cekungan sedimen yang dilakukan PPPGL diharapkan dapat menambah data dan informasi untuk mendukung penyiapan WK Migas.
Kepala PPPGL ESDM, Ediar Usman menambahkan, selain melakukan penelitian identifikasi cekungan sedimenter untuk mendukung penyiapan WK Migas, dilakukan juga pengambilan data temperatur air laut sebagai identifikasi data potensi OTEC.
OTEC merupakan bagian dari energi baru terbarukan dan bersumber dari perbedaan temperatur air laut yang mudah ditemukan pada perairan laut tropis.
"Potensi OTEC di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, tersebar di pantai barat Sumatera, Selatan Jawa, Sulawesi, Maluku Utara. Bali dan Lembata NTT. PPPGL telah mengkaji dan meneliti potensi OTEC pada 17 lokasi sebesar 41 GW," sebutnya.
Potensi energi panas laut di perairan Indonesia diprediksi menghasilkan daya sekitar 240.000 MW. Indonesia bagian timur memiliki nilai perbedaan suhu lebih besar dari Indonesia bagian barat.
Pemanfaatan OTEC berdampak positif bagi perekonomian masyarakat sekitarnya. Energi ini bernilai ekonomi lebih tinggi dibanding sumber energi lainnya. Energi ini menghasilkan listrik dan air murni akibat penguapan air laut. Penggunaan OTEC di bidang perikanan memberikan nutrisi pada biota laut di permukaan laut.
Contoh pembangkit OTEC dalam skala kecil ada di Kumijima, Jepang dan Hawaii. Sementara China, Korea Selatan dan India, saat ini sedang membangun pembangkit OTEC dengan kapasitas 10 megawatt (MW).
"PPPGL telah merancang langkah strategis dalam riset OTEC, terutama menentukan lokasi prospek seluruh Indonesia sebagai dasar investasi OTEC," ujarnya.
Sea trial ini merupakan persiapan pelaksanaan penelitian identifikasi cekungan sedimenter untuk mendukung penyiapan wilayah kerja (WK) minyak dan gas bumi (Migas) Perairan Arafura, Papua dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) di perairan Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Pada sea trial ini, dilakukan juga uji coba peralatan survei yang digunakan untuk pengambilan data geologi dan geofisika kelautan," ujar Kepala Badan Litbang Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/8/2017).
Badan Litbang, membutuhkan empat kapal lagi senilai Rp3 triliun untuk mendukung kegiatan riset dalam menemukan sumur-sumur migas baru.
Menurut Sutijastoto, salah satu metode survei yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survei Seismik 2D. Survei seismik 2D merupakan survei dengan menggunakan peralatan seismik multi kanal untuk mengetahui potensi sumber daya geologi dan luasan potensi sistem petroleum (petroleum system). "Di samping seismik 2D, dilakukan juga survei dengan menggunakan marine gravity meter," ujarnya.
Peralatan ini mempunyai daya tarik tersendiri, karena hasil yang diperoleh yaitu data tentang model dan dimensi cekungan migas, sehingga akan menambah pemahaman tentang sistem petroleum yang merupakan konsep penting dalam bidang migas. Peralatan ini membuka peluang besar untuk jasa layanan PPPGL di bidang eksplorasi migas.
Informasi awal geologi tersebut dapat menghemat pembiayaan yang dikeluarkan untuk eksplorasi. Dengan keterbatasan data dan informasi mengenai tatanan geologi dan geofisika, khususnya di wilayah perairan Laut Arafura, selatan Papua, maka penelitian cekungan sedimen yang dilakukan PPPGL diharapkan dapat menambah data dan informasi untuk mendukung penyiapan WK Migas.
Kepala PPPGL ESDM, Ediar Usman menambahkan, selain melakukan penelitian identifikasi cekungan sedimenter untuk mendukung penyiapan WK Migas, dilakukan juga pengambilan data temperatur air laut sebagai identifikasi data potensi OTEC.
OTEC merupakan bagian dari energi baru terbarukan dan bersumber dari perbedaan temperatur air laut yang mudah ditemukan pada perairan laut tropis.
"Potensi OTEC di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, tersebar di pantai barat Sumatera, Selatan Jawa, Sulawesi, Maluku Utara. Bali dan Lembata NTT. PPPGL telah mengkaji dan meneliti potensi OTEC pada 17 lokasi sebesar 41 GW," sebutnya.
Potensi energi panas laut di perairan Indonesia diprediksi menghasilkan daya sekitar 240.000 MW. Indonesia bagian timur memiliki nilai perbedaan suhu lebih besar dari Indonesia bagian barat.
Pemanfaatan OTEC berdampak positif bagi perekonomian masyarakat sekitarnya. Energi ini bernilai ekonomi lebih tinggi dibanding sumber energi lainnya. Energi ini menghasilkan listrik dan air murni akibat penguapan air laut. Penggunaan OTEC di bidang perikanan memberikan nutrisi pada biota laut di permukaan laut.
Contoh pembangkit OTEC dalam skala kecil ada di Kumijima, Jepang dan Hawaii. Sementara China, Korea Selatan dan India, saat ini sedang membangun pembangkit OTEC dengan kapasitas 10 megawatt (MW).
"PPPGL telah merancang langkah strategis dalam riset OTEC, terutama menentukan lokasi prospek seluruh Indonesia sebagai dasar investasi OTEC," ujarnya.
(ven)