Kementerian ESDM Usulkan Industri Hulu Migas Bebas Pajak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan adanya pembebasan kewajiban perpajakan pada . Pasalnya ketidakpastian fiskal terkait perpajakan menjadi salah satu faktor utama yang membuat investasi hulu migas di Indonesia kurang kondusif, utamanya sejak berlakunya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 (UU Migas).
industri hulu minyak dan gas bumi (migas)
Direktur Pembinaan Program Migas Soerjaningsih mengatakan bahwa pemberlakuan UU Migas menyebabkan aturan perpajakan migas tidak lagi bersifat Lex Specialis. Akibatnya, prinsip perpajakan dalam sistem kontrak kerja sama yang mendasarkan pada sistem Production Sharing Contract (PSC) menjadi tidak sinkron dengan aturan perpajakan yang berlaku.
"Jadi menurut usulan kami pajak-pajak itu dibebaskan saja, kembali kepada Lex Spesialis. Saya rasa itu tidak rugi karena sudah ada bagi hasil migas," ujar dia di Jakarta, Sabtu (16/5/2020).
(Baca Juga: Proyek Stragis Nasional Hulu Migas Terhambat Pandemi Covid-19)
Menurut dia aturan perpajakan yang saat ini dibebankan kepada industri hulu migas pada dasarnya telah melanggar prinsip assume and discharge. Pasalnya, beban perpajakan yang saat ini dipikul oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak mencerminkan secara utuh prinsip tersebut.
Secara prinsip yang telah disepakati bersama di dalam kontrak kerja sama seharusnya pelaku industri hulu migas tidak lagi dibebankan berbagai macam pajak. Semestinya KKKS tidak dibebani berupa pajak penghasilan (PPh), pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR) dan dibebaskan dari segala bentuk pungutan lain yang bersifat tidak langsung sehingga kontraktor menerima bagi hasil bersih tidak perlu lagi membayar pajak sementara migas bagian negara sudah termasuk di dalam komponen pajak.
"Segala macam bentuk pajak itu kita buat di dalam bagi hasil. Jadi misalnya bagi pemerintah mendapatkan bagi hasil migas 85% dan kontraktor 15% maka PPh sudah masuk di dalam bagi hasil yang diterima pemerintah. Apabila ini diterapkan maka akan lebih baik dibandingkan sekarang," kata dia.
Meski begitu, ranah terkait wewenang perpajakan berada di Kementerian Keuangan sehingga apabila prinsip tersebut diterapkan harus melalui persetujuan dari Menteri Keuangan. "Kebijakan perpajakan bukan di Kementerian ESDM melainkan di Kementerian Keuangan. Nanti kita lihat apakah konsep seperti itu bisa disetujui atau tidak oleh Menteri Keuangan," tandasnya.
industri hulu minyak dan gas bumi (migas)
Direktur Pembinaan Program Migas Soerjaningsih mengatakan bahwa pemberlakuan UU Migas menyebabkan aturan perpajakan migas tidak lagi bersifat Lex Specialis. Akibatnya, prinsip perpajakan dalam sistem kontrak kerja sama yang mendasarkan pada sistem Production Sharing Contract (PSC) menjadi tidak sinkron dengan aturan perpajakan yang berlaku.
"Jadi menurut usulan kami pajak-pajak itu dibebaskan saja, kembali kepada Lex Spesialis. Saya rasa itu tidak rugi karena sudah ada bagi hasil migas," ujar dia di Jakarta, Sabtu (16/5/2020).
(Baca Juga: Proyek Stragis Nasional Hulu Migas Terhambat Pandemi Covid-19)
Menurut dia aturan perpajakan yang saat ini dibebankan kepada industri hulu migas pada dasarnya telah melanggar prinsip assume and discharge. Pasalnya, beban perpajakan yang saat ini dipikul oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak mencerminkan secara utuh prinsip tersebut.
Secara prinsip yang telah disepakati bersama di dalam kontrak kerja sama seharusnya pelaku industri hulu migas tidak lagi dibebankan berbagai macam pajak. Semestinya KKKS tidak dibebani berupa pajak penghasilan (PPh), pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR) dan dibebaskan dari segala bentuk pungutan lain yang bersifat tidak langsung sehingga kontraktor menerima bagi hasil bersih tidak perlu lagi membayar pajak sementara migas bagian negara sudah termasuk di dalam komponen pajak.
"Segala macam bentuk pajak itu kita buat di dalam bagi hasil. Jadi misalnya bagi pemerintah mendapatkan bagi hasil migas 85% dan kontraktor 15% maka PPh sudah masuk di dalam bagi hasil yang diterima pemerintah. Apabila ini diterapkan maka akan lebih baik dibandingkan sekarang," kata dia.
Meski begitu, ranah terkait wewenang perpajakan berada di Kementerian Keuangan sehingga apabila prinsip tersebut diterapkan harus melalui persetujuan dari Menteri Keuangan. "Kebijakan perpajakan bukan di Kementerian ESDM melainkan di Kementerian Keuangan. Nanti kita lihat apakah konsep seperti itu bisa disetujui atau tidak oleh Menteri Keuangan," tandasnya.
(fai)