RI Defisit Tembakau, Industri Dinilai Masih Butuh Impor

Jum'at, 11 Agustus 2017 - 01:12 WIB
RI Defisit Tembakau,...
RI Defisit Tembakau, Industri Dinilai Masih Butuh Impor
A A A
JAKARTA - Indonesia dinilai masih mengalami defisit tembakau, baik secara kualitas, kuantitas, dan varietas, akibatnya impor tembakau masih di butuhkan industri. Hal ini terutama varietas yang tidak dapat dibudidayakan di dalam negeri, seperti tembakau Virginia dan Oriental. Maka itu, wacana pembatasan impor di tengah defisit tembakau dinilai tidak tepat dan mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, dibandingkan pembatasan impor tembakau, pemerintah sebenarnya dapat menetapkan kebijakan bea masuk yang sedikit lebih tinggi terhadap varietas yang tidak dapat dibudidayakan ataupun varietas yang jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.

"Terkait besarannya, kami meminta bahwa angkanya haruslah wajar. Dengan adanya kebijakan ini, industri masih tetap memiliki akses terhadap bahan baku," kata dia dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (10/8).

Dalam lima tahun terakhir, rata–rata produksi tembakau di dalam negeri selalu di bawah 200.000 ton per tahun. Sementara, permintaan tembakau berkisar 320.000 ton per tahun. Sedangkan Wakil Ketua Komisi IV Firman Subagyo yang turut membidangi urusan pertanian dan kehutanan mengatakan, pemerintah dapat mengenakan kebijakan tarif progresif terhadap varietas tembakau yang tidak dapat dipenuhi oleh petani lokal.

Pada kesempatan tersebut, Ia juga menghimbau agar pabrikan terus melakukan pembinaan dan kemitraan terhadap petani untuk membudidayakan varietas-varietas tembakau yang dibutuhkan. Sehingga, tembakau dalam negeri yang terserap menjadi lebih banyak. "Dengan adanya tarif progresif, maka yang diuntungkan tentu pemerintah," ujar Firman.

Hal ini pun diamini oleh Moefti yang menambahkan pemerintah perlu mendorong percepatan program kemitraan antara pabrikan dan petani tembakau. Program kemitraan termasuk proses pendampingan saat penanaman hingga panen. "Ini salah satu solusi untuk mencapai produksi yang dibutuhkan, baik secara kualitas maupun kuantitas," katanya.

Aturan baru terkait pembatasan impor tembakau sebenarnya bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang mengharapkan adanya deregulasi sehingga semua hambatan bisnis dapat dihilangkan.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0735 seconds (0.1#10.140)