Sri Mulyani Balas Curhatan Tere Liye Lewat Facebook
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku terhenyak mendengar keputusan penulis novel, Tere Liye yang memutuskan berhenti untuk menerbitkan buku, lantaran merasa terbebani dengan tingginya pajak. Sri Mulyani pun mencurahkan isi hatinya melalui akun Facebook pribadi miliknya berjudul "Tentang Tere Liye".
"Bagi saya, buku adalah sahabat sejati. Dia menemani saya dimana saja dan kapan saja tanpa pernah protes-saat di mobil, waktu antre di dokter gigi, ketika hendak menikmati "me time" juga menjelang tidur. Membaca buku selalu mampu membawa saya pada dunia lain dan bahkan kadang mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan," tulis Sri Mulyani dalam seperti dikutip SINDOnews di akun Facebooknya, Jakarta, Senin (11/9/2017).
(Baca Juga: Pajak Ketinggian, Penulis Novel Tere Liye Putus Kontrak Penerbit)
Dalam tulisannya tersebut, menkeu menuturkan bahwa buku yang bagus tidak ditulis begitu saja. Ada ide, imajinasi yang harus dikombinasikan dengan riset, data, survey bahkan kunjungan lapangan yang kemudian dirangkai dalam kata menjadi cerita dan pesan.
Selain itu, tentunya, ada jerih payah tidak mudah (keringat, airmata atau bahkan darah) yang nyata dibalik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak sedikit. Meski penulis yang memiliki passion menulis pasti juga menikmati proses menulis itu sendiri.
"Oleh karena itu, saya terhenyak ketika membaca berita bahwa seorang Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena masalah perpajakan. Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi kebijakan perpajakan dan perlakukan aparat atau kantor pajak terhadap kewajiban membayar pajak penghasilannya sebagai penulis," kata Menkeu.
Hal ini menyangkut perlakukan perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere Liye. Dia menuturkan, kebijakan perpajakan diatur UU yang kemudian diturunkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan atau Peraturan Dirjen Pajak.
Ada bagian kebijakan yang ditetapkan UU yang tidak bisa diubah serta merta oleh Dirjen, Menteri atau bahkan Presiden seperti masalah tarif pajak penghasilan (PPh) dan penjenjangan tarif (progresivitas) PPh perorangan. Namun, ada juga kebijakan yang dapat diubah lebih cepat dan dalam kewenangan Menteri dan Dirjen Pajak.
Misalnya, lanjut Sri Mulyani, penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan besaran norma penghitungan penghasilan neto bagi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun (yang tidak menyelenggarakan pembukuan).
Kebijakan pajak yang baik adalah kebijakan yang menjalankan prinsip keadilan dan persamaan perlakuan antara wajib pajak (equity), kepastian bagi wajib pajak, tidak kompleks bagi WP untuk membayar dan memenuhi aturannya, netral (tidak menimbulkan disinsentif dan distorsi pelaku), keamanan informasi terjamin dalan lain lain.
Untuk memenuhi kebijakan pajak yang ideal dan baik, tidak mudah. Pemerintah sering dihadapkan pilihan-pilihan. Misalnya antara konsistensi, keadilan, dan persamaan perlakukan antara pelaku pajak versus tujuan pemihakan atau afirmatif.
Pemerintah terus berupaya agar kebijakan pajak dapat memenuhi berbagai harapan masyarakat dan pelaku ekonomi, yaitu adil dan konsisten, simpel dan mudah dijalankan, efektif dan tetap mampu merespons kebutuhan-kebutuhan tertentu dari kelompok masyarakat, profesi, kegiatan usaha yang berbeda-beda.
"Ketika seorang Tere Liye mengharapkan agar dalam penghitungan pajaknya dapat memperhitungkan upaya jerih payah dan biaya yang dikeluarkan selama proses penulisan, Kementerian Keuangan dan DJP telah mengakomodasi dengan kebijakan bahwa biaya tersebut dapat dikurangkan melalui penggunaan norma," tuturnya.
Dia menjelaskan, norma adalah suatu kemudahan yang diberikan kepada wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan. Keluhan Tere Liye bahwa ada biaya dalam pembuatan sebuah buku, sudah tercermin melalui tersedianya mekanisme norma penghitungan bagi penulis.
Tere Liye memahami kebijakan ini karena dia seorang penulis yang sangat paham mengenai seluk beluk perpajakan. "Bangga saya, punya teman alumni FEUI yang tidak hanya pintar substansi ekonomi dan perpajakan tetapi juga piawai serta indah dalam menulis cerita," imbuhnya.
Bagi profesi penulis, penghitungan normanya 50% dari penghasilannya sebagai penulis (baik royalti maupun honorarium lainnya). Yakni, biaya untuk menghasilkan buku bagi seorang penulis dianggap sebesar 50% dari penghasilannya.
Artinya, setelah dihitung total penghasilan yang diperoleh oleh penulis selama satu tahun pajak dikalikan dengan 50% sehingga diperoleh penghasilan netto. Sama dengan Wajib Pajak lain, dari penghasilan netto ini dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh penghasilan kena pajak.
Kemudian, dari penghasilan kena pajak dihitung pajak penghasilan terutang menggunakan tarif pajak progresif sesuai lapisan penghasilan. Sementara, pajak penghasilan yang sudah dipungut penerbit atas royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak yang akan menjadi pengurang pajak penghasilan yang terutang.
Diharapkan kebijakan ini dapat memberikan keleluasaan dan keadilan bagi profesi penulis untuk dapat terus berkarya. Bila dalam pelaksanaannya di lapangan, masih terdapat adanya ketidaksamaan pendapat dan ketidakpastian perlakuan-seperti yang dikeluhkan Tere Liye- maka saya sudah meminta kawan-kawan di Ditjen Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut.
Termasuk, meninjau standard operating procedure dalam penanganan masalah-masalah seperti ini-termasuk peranan kepala kantor yang lebih tanggap dan efektif agar tidak membuat WP frustrasi. Ini bagian dari reformasi yang sedang dijalankan di DJP.
"Saya yakin sepenuhnya, dengan adanya komunikasi dan organisasi yang baik, sebuah kebijakan akan dapat terlaksana dengan lebih sempurna. Dan ini semua perlu terus didukung dan diawasi agar kami makin mampu menjadi organisasi yang dipercaya masyarakat dan diandalkan negara dan bangsa," terangnya.
"Kami menyadari masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi. Karena itu, kami menerima dengan baik berbagai masukan dari berbagai kelompok profesi yang memiliki berbagai karakteristik yang ingin mendapat perhatian dan pemahaman pemerintah. Tugas kami adalah mendengar, memahami, dan merespons untuk perbaikan seluruh negeri dan masyarakat Indonesia," tutur Sri Mulyani.
Kemenkeu senantiasa berusaha memberikan yang terbaik bagi negeri ini dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme. Menkeu berharap penulis seperti Tere Liye tidak menganggap bahwa seluruh jajaran pajak adalah identik dengan Gayus.
Persepsi tersebut sungguh melukai mereka yang jujur dan memiliki komitmen dan integritas tinggi dalam menjalankan tugas konstitusi mengumpulkan penerimaan negara.
"Saya yakin banyak pegawai pajak yang memiliki hati yang baik dan komitmen kerja yang tinggi dan profesional seperti "Bujang" dalam buku Tere Liye "Pulang" atau seperti "Sri Ningsih dan Zaman" dalam bukunya "Tentang Kamu"," katanya.
"Kita semua warga negara Indonesia dalam posisi di manapun dan peran apapun memiliki kewajiban membangun dan membesarkan Indonesia. Mari kita melakukan perjuangan membangun dan melanjutkan perjalanan estafet dari para pendiri bangsa untuk membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," tutup Sri Mulyani dalam postingannya di akun Facebook miliknya.
"Bagi saya, buku adalah sahabat sejati. Dia menemani saya dimana saja dan kapan saja tanpa pernah protes-saat di mobil, waktu antre di dokter gigi, ketika hendak menikmati "me time" juga menjelang tidur. Membaca buku selalu mampu membawa saya pada dunia lain dan bahkan kadang mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan," tulis Sri Mulyani dalam seperti dikutip SINDOnews di akun Facebooknya, Jakarta, Senin (11/9/2017).
(Baca Juga: Pajak Ketinggian, Penulis Novel Tere Liye Putus Kontrak Penerbit)
Dalam tulisannya tersebut, menkeu menuturkan bahwa buku yang bagus tidak ditulis begitu saja. Ada ide, imajinasi yang harus dikombinasikan dengan riset, data, survey bahkan kunjungan lapangan yang kemudian dirangkai dalam kata menjadi cerita dan pesan.
Selain itu, tentunya, ada jerih payah tidak mudah (keringat, airmata atau bahkan darah) yang nyata dibalik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak sedikit. Meski penulis yang memiliki passion menulis pasti juga menikmati proses menulis itu sendiri.
"Oleh karena itu, saya terhenyak ketika membaca berita bahwa seorang Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena masalah perpajakan. Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi kebijakan perpajakan dan perlakukan aparat atau kantor pajak terhadap kewajiban membayar pajak penghasilannya sebagai penulis," kata Menkeu.
Hal ini menyangkut perlakukan perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere Liye. Dia menuturkan, kebijakan perpajakan diatur UU yang kemudian diturunkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan atau Peraturan Dirjen Pajak.
Ada bagian kebijakan yang ditetapkan UU yang tidak bisa diubah serta merta oleh Dirjen, Menteri atau bahkan Presiden seperti masalah tarif pajak penghasilan (PPh) dan penjenjangan tarif (progresivitas) PPh perorangan. Namun, ada juga kebijakan yang dapat diubah lebih cepat dan dalam kewenangan Menteri dan Dirjen Pajak.
Misalnya, lanjut Sri Mulyani, penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan besaran norma penghitungan penghasilan neto bagi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun (yang tidak menyelenggarakan pembukuan).
Kebijakan pajak yang baik adalah kebijakan yang menjalankan prinsip keadilan dan persamaan perlakuan antara wajib pajak (equity), kepastian bagi wajib pajak, tidak kompleks bagi WP untuk membayar dan memenuhi aturannya, netral (tidak menimbulkan disinsentif dan distorsi pelaku), keamanan informasi terjamin dalan lain lain.
Untuk memenuhi kebijakan pajak yang ideal dan baik, tidak mudah. Pemerintah sering dihadapkan pilihan-pilihan. Misalnya antara konsistensi, keadilan, dan persamaan perlakukan antara pelaku pajak versus tujuan pemihakan atau afirmatif.
Pemerintah terus berupaya agar kebijakan pajak dapat memenuhi berbagai harapan masyarakat dan pelaku ekonomi, yaitu adil dan konsisten, simpel dan mudah dijalankan, efektif dan tetap mampu merespons kebutuhan-kebutuhan tertentu dari kelompok masyarakat, profesi, kegiatan usaha yang berbeda-beda.
"Ketika seorang Tere Liye mengharapkan agar dalam penghitungan pajaknya dapat memperhitungkan upaya jerih payah dan biaya yang dikeluarkan selama proses penulisan, Kementerian Keuangan dan DJP telah mengakomodasi dengan kebijakan bahwa biaya tersebut dapat dikurangkan melalui penggunaan norma," tuturnya.
Dia menjelaskan, norma adalah suatu kemudahan yang diberikan kepada wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan. Keluhan Tere Liye bahwa ada biaya dalam pembuatan sebuah buku, sudah tercermin melalui tersedianya mekanisme norma penghitungan bagi penulis.
Tere Liye memahami kebijakan ini karena dia seorang penulis yang sangat paham mengenai seluk beluk perpajakan. "Bangga saya, punya teman alumni FEUI yang tidak hanya pintar substansi ekonomi dan perpajakan tetapi juga piawai serta indah dalam menulis cerita," imbuhnya.
Bagi profesi penulis, penghitungan normanya 50% dari penghasilannya sebagai penulis (baik royalti maupun honorarium lainnya). Yakni, biaya untuk menghasilkan buku bagi seorang penulis dianggap sebesar 50% dari penghasilannya.
Artinya, setelah dihitung total penghasilan yang diperoleh oleh penulis selama satu tahun pajak dikalikan dengan 50% sehingga diperoleh penghasilan netto. Sama dengan Wajib Pajak lain, dari penghasilan netto ini dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh penghasilan kena pajak.
Kemudian, dari penghasilan kena pajak dihitung pajak penghasilan terutang menggunakan tarif pajak progresif sesuai lapisan penghasilan. Sementara, pajak penghasilan yang sudah dipungut penerbit atas royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak yang akan menjadi pengurang pajak penghasilan yang terutang.
Diharapkan kebijakan ini dapat memberikan keleluasaan dan keadilan bagi profesi penulis untuk dapat terus berkarya. Bila dalam pelaksanaannya di lapangan, masih terdapat adanya ketidaksamaan pendapat dan ketidakpastian perlakuan-seperti yang dikeluhkan Tere Liye- maka saya sudah meminta kawan-kawan di Ditjen Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut.
Termasuk, meninjau standard operating procedure dalam penanganan masalah-masalah seperti ini-termasuk peranan kepala kantor yang lebih tanggap dan efektif agar tidak membuat WP frustrasi. Ini bagian dari reformasi yang sedang dijalankan di DJP.
"Saya yakin sepenuhnya, dengan adanya komunikasi dan organisasi yang baik, sebuah kebijakan akan dapat terlaksana dengan lebih sempurna. Dan ini semua perlu terus didukung dan diawasi agar kami makin mampu menjadi organisasi yang dipercaya masyarakat dan diandalkan negara dan bangsa," terangnya.
"Kami menyadari masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi. Karena itu, kami menerima dengan baik berbagai masukan dari berbagai kelompok profesi yang memiliki berbagai karakteristik yang ingin mendapat perhatian dan pemahaman pemerintah. Tugas kami adalah mendengar, memahami, dan merespons untuk perbaikan seluruh negeri dan masyarakat Indonesia," tutur Sri Mulyani.
Kemenkeu senantiasa berusaha memberikan yang terbaik bagi negeri ini dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme. Menkeu berharap penulis seperti Tere Liye tidak menganggap bahwa seluruh jajaran pajak adalah identik dengan Gayus.
Persepsi tersebut sungguh melukai mereka yang jujur dan memiliki komitmen dan integritas tinggi dalam menjalankan tugas konstitusi mengumpulkan penerimaan negara.
"Saya yakin banyak pegawai pajak yang memiliki hati yang baik dan komitmen kerja yang tinggi dan profesional seperti "Bujang" dalam buku Tere Liye "Pulang" atau seperti "Sri Ningsih dan Zaman" dalam bukunya "Tentang Kamu"," katanya.
"Kita semua warga negara Indonesia dalam posisi di manapun dan peran apapun memiliki kewajiban membangun dan membesarkan Indonesia. Mari kita melakukan perjuangan membangun dan melanjutkan perjalanan estafet dari para pendiri bangsa untuk membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," tutup Sri Mulyani dalam postingannya di akun Facebook miliknya.
(izz)