Kegagalan Kontraktor Tidak Bisa Dipidanakan
A
A
A
JAKARTA - Kesalahan kontraktor atau pihak swasta dalam menangani proyek negara tidak bisa dipidanakan. Namun, kegagalan konstruksi, salah merencanakan dan kontruksi yang rusak saat pembangunan hanya bisa diperdata.
Pernyataan itu disampaikan Direktur Bina Penyelenggara Jasa Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Darda Daraba dalam forum diskusi ekonomi di Kantor PBNU Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Menurutnya, kegagalan kontraktor dalam proyek negara itu merupakan bagian dari kontrak kerja sama dengan pihak swasta. "Dahulu ada salah ngelas pidana dan salah mengecor pidana. Sekarang, semuanya berpegang perdata. Artinya kerja sama yang dibangun berdasarkan kesepakatan berdua sehingga sifatnya perdata," jelasnya.
Darda mengatakan bahwa Undang-undang No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi adalah lex specialias alias bersifat khusus. Yang intinya adalah kesetaraan antara pengguna dan penyedia dalam suatu proyek negara. Hanya saja memang ada hak kewajiban.
"Kalau lex specialis, tidak dikenal kegagalan konstruksi. Sebelum proyek selesai dan diserahkan, tidak ada penegakkan hukum, baik polisi, kejaksaan dan lainnya yang boleh masuk. Seandainya proyek terjadi roboh, ya sudah diperbaiki lagi," katanya berseloroh.
Selain itu, lanjut Darda, tidak ada operasi tangkap tangan alias OTT bila tidak sesuai dengan ketentuan. Kalaupun ada kegagalan setelah penggarapan, maka dalam UU itu yang yang menentukan gagal tidaknya adalah Menteri PUPR. Padahal, sebelumnya ditentukan tim ahli.
Kalau pun selesai dan ada yang tidak benar, masih kata Darda, maka yang tentukan itu BPK. Makanya, pihak swasta tidak perlu takut lagi. "Kecuali dalam proyek itu ada kejadian meninggal maka itu beda lagi. Itu sudah urusan pidana," pungkas dia.
Pernyataan itu disampaikan Direktur Bina Penyelenggara Jasa Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Darda Daraba dalam forum diskusi ekonomi di Kantor PBNU Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Menurutnya, kegagalan kontraktor dalam proyek negara itu merupakan bagian dari kontrak kerja sama dengan pihak swasta. "Dahulu ada salah ngelas pidana dan salah mengecor pidana. Sekarang, semuanya berpegang perdata. Artinya kerja sama yang dibangun berdasarkan kesepakatan berdua sehingga sifatnya perdata," jelasnya.
Darda mengatakan bahwa Undang-undang No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi adalah lex specialias alias bersifat khusus. Yang intinya adalah kesetaraan antara pengguna dan penyedia dalam suatu proyek negara. Hanya saja memang ada hak kewajiban.
"Kalau lex specialis, tidak dikenal kegagalan konstruksi. Sebelum proyek selesai dan diserahkan, tidak ada penegakkan hukum, baik polisi, kejaksaan dan lainnya yang boleh masuk. Seandainya proyek terjadi roboh, ya sudah diperbaiki lagi," katanya berseloroh.
Selain itu, lanjut Darda, tidak ada operasi tangkap tangan alias OTT bila tidak sesuai dengan ketentuan. Kalaupun ada kegagalan setelah penggarapan, maka dalam UU itu yang yang menentukan gagal tidaknya adalah Menteri PUPR. Padahal, sebelumnya ditentukan tim ahli.
Kalau pun selesai dan ada yang tidak benar, masih kata Darda, maka yang tentukan itu BPK. Makanya, pihak swasta tidak perlu takut lagi. "Kecuali dalam proyek itu ada kejadian meninggal maka itu beda lagi. Itu sudah urusan pidana," pungkas dia.
(ven)