RUU Sumber Daya Air, Upaya Negara Penuhi Hak Asasi Air
A
A
A
JAKARTA - Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-undang tentang Sumber Daya Air. Wakil Ketua Komisi V DPR Michael Wattimena mengatakan, paradigma utama RUU Sumber Daya Air bertujuan untuk memenuhi hak asasi air kepada seluruh masyarakat, sehingga air yang merupakan hak dasar manusia harus dikelola dan diawasai oleh negara.
"Kami mengapresiasi pikiran cerdas dan revolusioner yang disampaikan para pakar yang sudah sangat teruji integritas dan kapasitasnya, sehingga apa yang dikontribusikan di sini sebagai masukkan yang membantu kami dalam pembahasan RUU SDA," ucapnya usai memimpin RDPU di ruang rapat Komisi V DPR, Selasa (26/9/2017).
Menurutnya, atas masukkan yang sangat komprehensif tersebut, patutnya, tidak terjadi lagi judicial review di kemudian hari. Sebab, pihaknya juga telah melakukan Focus Group Discustion (FDG) di beberapa provinsi, masukkan dari praktisi, akademisi dan stakeholder lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap air.
"Air adalah hak asasi daripada manusia, karena sifatnya asasi maka pemeritah harus terlibat dan bertanggung jawab. Apapun kajian dan tinjauan yang kami lakukan semua ini untuk kemaslahatan masyarakat," tegasnya.
Hal senada disampaikan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz yang menyatakan Indonesia saat ini membutuhkan RUU SDA generasi keempat, yang harus mempertimbangkan perkembangan zaman dan mampu mengakomodasi serta menetapkan batasan-batasan partisipasi masyarakat agar tidak terjadi benturan dengan kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak hidup masyarakat seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
"Kita ini sebetulnya tidak punya undang-undang tentang sumber daya air sejak Undang-undang No 7 Tahun 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2013 lalu. Dengan pembatalan maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan kembali diberlakukan, padahal cakupan dari UU tersebut sangatlah terbatas. Oleh karena itu, pembahasan dan penyusunan RUU SDA yang baru ini sangatlah mendesak," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Menurut Neng Eem, RUU SDA yang baru perlu disiapkan dengan lebih bertanggung jawab dan didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola air yang baik berdasarkan pengalaman kegagalan dan kesuksesan dari undang-undang sebelumnya, yaitu Algemeen Water Reglement (AWR) tahun 1936, UU No 11/1974 dan UU No 7/2004.
"Setiap peraturan perundang-undangan tersebut tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Itulah yang harus dikaji agar penyusunan RUU SDA ke depan bisa lebih baik," ungkapnya.
Pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin mengatakan tujuan RUU SDA yaitu menjaga agar akses ke sumber air untuk kebutuhan masyarakat umum tidak terhalang.
"Pengelolaan air dalam paradigma konstitusional jangan lagi berpikir air dalam paradigma konstitusi, jangan lagi berpikir air itu sebagai semata memiliki nilai ekonomis, paradigma utama adalah air itu hak asasi setiap manusia, dimana negara wajib melakukan pemenuhan, perlindungan, penegakan inilah yang harus dijamin dalam RUU SDA," tegasnya.
Menurut Irman, membuat UU dengan paradigma mengatur proses air karena memiliki nilai ekonomis, hal itu sudah ditinggalkan. Ia mengajak agar RUU SDA nantinya mengatur pemenuhan, bisa mengakses air minum yang bersih.
"Jangan sampai air yang terhidang di rumah itu air dalam konsep ekonomis. Pada dasarnya melakukan perlindungan air memang tidak bisa lepas dari aspek-aspek pengelolaan dan perusahaan air. Oleh karenanya, pengusahaan air ini harus dikelola negara, negara harus berada di depan," tuturnya.
"Kami mengapresiasi pikiran cerdas dan revolusioner yang disampaikan para pakar yang sudah sangat teruji integritas dan kapasitasnya, sehingga apa yang dikontribusikan di sini sebagai masukkan yang membantu kami dalam pembahasan RUU SDA," ucapnya usai memimpin RDPU di ruang rapat Komisi V DPR, Selasa (26/9/2017).
Menurutnya, atas masukkan yang sangat komprehensif tersebut, patutnya, tidak terjadi lagi judicial review di kemudian hari. Sebab, pihaknya juga telah melakukan Focus Group Discustion (FDG) di beberapa provinsi, masukkan dari praktisi, akademisi dan stakeholder lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap air.
"Air adalah hak asasi daripada manusia, karena sifatnya asasi maka pemeritah harus terlibat dan bertanggung jawab. Apapun kajian dan tinjauan yang kami lakukan semua ini untuk kemaslahatan masyarakat," tegasnya.
Hal senada disampaikan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz yang menyatakan Indonesia saat ini membutuhkan RUU SDA generasi keempat, yang harus mempertimbangkan perkembangan zaman dan mampu mengakomodasi serta menetapkan batasan-batasan partisipasi masyarakat agar tidak terjadi benturan dengan kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak hidup masyarakat seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
"Kita ini sebetulnya tidak punya undang-undang tentang sumber daya air sejak Undang-undang No 7 Tahun 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2013 lalu. Dengan pembatalan maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan kembali diberlakukan, padahal cakupan dari UU tersebut sangatlah terbatas. Oleh karena itu, pembahasan dan penyusunan RUU SDA yang baru ini sangatlah mendesak," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Menurut Neng Eem, RUU SDA yang baru perlu disiapkan dengan lebih bertanggung jawab dan didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola air yang baik berdasarkan pengalaman kegagalan dan kesuksesan dari undang-undang sebelumnya, yaitu Algemeen Water Reglement (AWR) tahun 1936, UU No 11/1974 dan UU No 7/2004.
"Setiap peraturan perundang-undangan tersebut tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Itulah yang harus dikaji agar penyusunan RUU SDA ke depan bisa lebih baik," ungkapnya.
Pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin mengatakan tujuan RUU SDA yaitu menjaga agar akses ke sumber air untuk kebutuhan masyarakat umum tidak terhalang.
"Pengelolaan air dalam paradigma konstitusional jangan lagi berpikir air dalam paradigma konstitusi, jangan lagi berpikir air itu sebagai semata memiliki nilai ekonomis, paradigma utama adalah air itu hak asasi setiap manusia, dimana negara wajib melakukan pemenuhan, perlindungan, penegakan inilah yang harus dijamin dalam RUU SDA," tegasnya.
Menurut Irman, membuat UU dengan paradigma mengatur proses air karena memiliki nilai ekonomis, hal itu sudah ditinggalkan. Ia mengajak agar RUU SDA nantinya mengatur pemenuhan, bisa mengakses air minum yang bersih.
"Jangan sampai air yang terhidang di rumah itu air dalam konsep ekonomis. Pada dasarnya melakukan perlindungan air memang tidak bisa lepas dari aspek-aspek pengelolaan dan perusahaan air. Oleh karenanya, pengusahaan air ini harus dikelola negara, negara harus berada di depan," tuturnya.
(ven)