Ombudsman: BI Keukeuh E-Money Tak Langgar UU Mata Uang
A
A
A
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan klarifikasi terhadap Bank Indonesia (BI), terkait laporan adanya dugaan maladministrasi terhadap pemungutan biaya isi ulang uang elektronik (top up e-money) kepada konsumen. Dalam klarifikasinya, BI keukeuh bahwa gerakan nontunai (cashles society) tidak melanggar Undang-Undang (UU) tentang Mata Uang.
(Baca Juga: Ombudsman: Pelapor Biaya Top Up E-Money Bertambah)
Anggota Ombudsman Bidang Ekonomi I Dadang Suharma Wijaya mengatakan, pihaknya telah mengidentifikasi beberapa isu terkait payung hukum atas kebijakan uang elektronik tersebut. Selain itu, pihaknya juga telah mempertanyakan mengenai alasan BI mengeluarkan kebijakan tersebut.
"Memang tadi tidak ada kesimpulan utuh, tapi ada satu kesimpulan yang jadi pandangan bersama, di antaranya gerakan nontunia dalam tujuan efektivitas dan efisiensi dalam banyak hal itu concern bersama," katanya di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (27/9/2017).
Menurutnya, BI menyatakan, dalam UU Mata Uang dan UU BI disebutkan bahwa alat pembayaran yang sah ada yang berbentuk fisik dan nontunai. Jadi, BI berpandangan bahwa gerakan nontunai tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
"BI masih bersikukuh bahwa uang dalam perspektif UU Mata Uang dan UU BI memang disadari ada uang fisik dan uang currency yang dalam hal ini nontunai. Perspektif itu kami telaah bersama," imbuh dia.
Namun demikian, tambah Dadan, pihaknya menginginkan agar kebijakan ini harus mengakomodasi semua elemen masyarakat. Selain itu, penggunaan uang tunai di jalan tol seharusnya tidak ditutup.
"Pada prinsipnya ketika di lapangan agar mereka yang gunakan uang tunai tidak ditutup/diblokir sama sekali. Adapun pilihan masyarakat untuk gunakan tunai dan nontunai atas kesadaran akan efisiensi bukan pemaksaan," katanya.
(Baca Juga: Ombudsman: Pelapor Biaya Top Up E-Money Bertambah)
Anggota Ombudsman Bidang Ekonomi I Dadang Suharma Wijaya mengatakan, pihaknya telah mengidentifikasi beberapa isu terkait payung hukum atas kebijakan uang elektronik tersebut. Selain itu, pihaknya juga telah mempertanyakan mengenai alasan BI mengeluarkan kebijakan tersebut.
"Memang tadi tidak ada kesimpulan utuh, tapi ada satu kesimpulan yang jadi pandangan bersama, di antaranya gerakan nontunia dalam tujuan efektivitas dan efisiensi dalam banyak hal itu concern bersama," katanya di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (27/9/2017).
Menurutnya, BI menyatakan, dalam UU Mata Uang dan UU BI disebutkan bahwa alat pembayaran yang sah ada yang berbentuk fisik dan nontunai. Jadi, BI berpandangan bahwa gerakan nontunai tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
"BI masih bersikukuh bahwa uang dalam perspektif UU Mata Uang dan UU BI memang disadari ada uang fisik dan uang currency yang dalam hal ini nontunai. Perspektif itu kami telaah bersama," imbuh dia.
Namun demikian, tambah Dadan, pihaknya menginginkan agar kebijakan ini harus mengakomodasi semua elemen masyarakat. Selain itu, penggunaan uang tunai di jalan tol seharusnya tidak ditutup.
"Pada prinsipnya ketika di lapangan agar mereka yang gunakan uang tunai tidak ditutup/diblokir sama sekali. Adapun pilihan masyarakat untuk gunakan tunai dan nontunai atas kesadaran akan efisiensi bukan pemaksaan," katanya.
(izz)