Harga Gas Selangit, Delapan Pabrik Keramik Kolaps
A
A
A
JAKARTA - Presiden Direktur PT Puri Kemenangan Jaya Jusmery Chandra mengatakan, selama dua tahun terakhir terdapat delapan pabrik keramik yang tutup alias kolaps. Hal ini karena harga gas untuk industri di Tanah Air sangat tinggi.
Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejatinya telah menginstruksikan penurunan harga gas per 1 Januari 2016. Namun, hingga hari ini harga gas untuk pelanggan industri masih naik, padahal, harga minyak dan gas bumi (migas) di pasar global sudah turun.
"Terus terang merasa prihatin karena Presiden sudah mencanangkan penurunan harga gas yang katanya berlaku 1 Januari 2016, kenyataan sampai hari ini sudah sampai 2 tahun gas juga belum turun. Sementara di Indonesia sudah ada delapan pabrik keramik yang tutup atau 20% dari total pabrik di Indonesia," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (9/10/2017).
Hal tersebut lantaran utilisasi industri tersebut hanya sekitar 70%. Akibatnya, para industri tersebut merugi. "Jadi, begitu utilisasi hanya 60%-70% pasti itu rugi. Rugi dua sampai tiga bulan oke, masih bisa di-cover, tapi kalau sampai setahun itu ujung-ujungnya kebangkrutan," imbuh dia.
Menurutnya, potensi industri keramik di Tanah Air sejatinya sangat besar, bahkan industri keramik Indonesia merupakan nomor lima di dunia. Sayangnya, perhatian pemerintah sangat kurang, apalagi gempuran keramik impor terus datang dari China dan kini Vietnam.
"Saya lebih prihatin lagi, dulu kan untuk menangkal impor itu SNI. Kenyataannya pihak forwarder malah pegang sertifikat SNI. Jadi hanya cukup hubungi forwarder, mau berapapun jumlahnya akan dapat sertifikat SNI, malah lebih mudah. Itu fenomena yang saya anggap tidak pro industri, bahaya sekali," tuturnya.
Anggota Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) ini menambahkan, ongkos yang dikeluarkan untuk kebutuhan gas mencakup 30%-40% dari total ongkos produksi industri keramik. Sebab itu, harga gas yang sangat tinggi di Indonesia sangat memukul industri keramik di dalam negeri.
Dia menuturkan, jika misalnya dengan impor masuk yang sangat besar, pihaknya akan terasa. Karena itu, dia berharap bisa membantu untuk menyuarakan karena industri efeknya sangat besar.
"Efek tenaga kerja, belum lagi faktor pendukung seperti supplier distributor. Jika pabrik sudah mati, untuk hidup lagi potensinya kecil sekali. Posisi yang sudah bertahan itu antara hidup segan dan mati tak mau. Pabrik tersebut rugi karena kita tidak mungkin hasilkan untung 30%," terang Chandra.
Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejatinya telah menginstruksikan penurunan harga gas per 1 Januari 2016. Namun, hingga hari ini harga gas untuk pelanggan industri masih naik, padahal, harga minyak dan gas bumi (migas) di pasar global sudah turun.
"Terus terang merasa prihatin karena Presiden sudah mencanangkan penurunan harga gas yang katanya berlaku 1 Januari 2016, kenyataan sampai hari ini sudah sampai 2 tahun gas juga belum turun. Sementara di Indonesia sudah ada delapan pabrik keramik yang tutup atau 20% dari total pabrik di Indonesia," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (9/10/2017).
Hal tersebut lantaran utilisasi industri tersebut hanya sekitar 70%. Akibatnya, para industri tersebut merugi. "Jadi, begitu utilisasi hanya 60%-70% pasti itu rugi. Rugi dua sampai tiga bulan oke, masih bisa di-cover, tapi kalau sampai setahun itu ujung-ujungnya kebangkrutan," imbuh dia.
Menurutnya, potensi industri keramik di Tanah Air sejatinya sangat besar, bahkan industri keramik Indonesia merupakan nomor lima di dunia. Sayangnya, perhatian pemerintah sangat kurang, apalagi gempuran keramik impor terus datang dari China dan kini Vietnam.
"Saya lebih prihatin lagi, dulu kan untuk menangkal impor itu SNI. Kenyataannya pihak forwarder malah pegang sertifikat SNI. Jadi hanya cukup hubungi forwarder, mau berapapun jumlahnya akan dapat sertifikat SNI, malah lebih mudah. Itu fenomena yang saya anggap tidak pro industri, bahaya sekali," tuturnya.
Anggota Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) ini menambahkan, ongkos yang dikeluarkan untuk kebutuhan gas mencakup 30%-40% dari total ongkos produksi industri keramik. Sebab itu, harga gas yang sangat tinggi di Indonesia sangat memukul industri keramik di dalam negeri.
Dia menuturkan, jika misalnya dengan impor masuk yang sangat besar, pihaknya akan terasa. Karena itu, dia berharap bisa membantu untuk menyuarakan karena industri efeknya sangat besar.
"Efek tenaga kerja, belum lagi faktor pendukung seperti supplier distributor. Jika pabrik sudah mati, untuk hidup lagi potensinya kecil sekali. Posisi yang sudah bertahan itu antara hidup segan dan mati tak mau. Pabrik tersebut rugi karena kita tidak mungkin hasilkan untung 30%," terang Chandra.
(izz)