Sembilan Aturan Mengunci Taksi Online
A
A
A
ATURAN baru tentang transportasi berbasis aplikasi mendapat sambutan yang beragam. Para pemilik kendaraan pribadi kurang ikhlas jika mobilnya dipasangi stiker.
RABU, 1 November 2017 menjadi hari yang melegakan bagi Ismet Syafei. "Rasanya plong," ucap pengemudi taksi Blue Bird ini. Pada hari itu, pemerintah mulai memberlakukan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 tentang Angkutan Orang Tidak dalam Trayek. Ismet berharap ke depannya persaingan taksi daring dengan taksi konvensional lebih adil dengan adanya aturan tersebut.
Dengan mata berbinar-binar, pria ini berkali-kali mengatakan beleid baru itu memberi kesetaraan dalam bersaing mencari pendapatan. "Ini cukup adil," ujarnya kepada SINDO Weekly yang menumpang Si Burung Biru dari Jalan Gatot Subroto menuju Cawang, Jakarta Timur.
Permenhub itu memang mengatur operasi taksi daring atau online. Setidaknya, ada sembilan ketentuan yang mesti ditaati para pemilik kendaraan yang bermitra dengan rintisan Go-Jek, GrabCar, dan Uber. Blue Bird memang telah bergabung dengan layanan Go-Car milik Go-Jek sejak awal tahun lalu. Sejak adanya kongsi itu, sopir Blue Bird sedikit tertolong. Sebelum menggunakan layanan Go-Car, jumlah penumpang amatlah sepi. Kini, hal itu tak terjadi lagi.
"Kami bisa ambil penumpang lewat dua cara, yaitu pakai aplikasi dan sistem cari penumpang di jalan, kantor, atau mal," cerita pria yang sudah empat tahun bekerja sebagai sopir taksi ini.
Kini, setiap penumpang yang memesan aplikasi Go-Car hanya perlu membayar sesuai tarif yang tertera di aplikasi tersebut. Bila tarifnya berbeda dengan argometer taksi, selisihnya akan ditanggung pihak Go-Jek. Sebagai ilustrasi, tarif dari Graha BIP menuju Cawang lewat aplikasi Go-Car sebesar Rp45.000. Namun, karena jalan macet, harga yang tertera di argometer taksi naik menjadi Rp61.000. "Penumpang cukup membayar Rp45.000, selisihnya ya ditanggung Go-Jek. Kalau begini, kami jadi terbantu," tuturnya.
Ingin mengetahui cerita selengkapnya? Silakan baca Majalah SINDO Weekly Edisi 36/VI/2017 yang terbit Senin (6/11/2017).
RABU, 1 November 2017 menjadi hari yang melegakan bagi Ismet Syafei. "Rasanya plong," ucap pengemudi taksi Blue Bird ini. Pada hari itu, pemerintah mulai memberlakukan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 tentang Angkutan Orang Tidak dalam Trayek. Ismet berharap ke depannya persaingan taksi daring dengan taksi konvensional lebih adil dengan adanya aturan tersebut.
Dengan mata berbinar-binar, pria ini berkali-kali mengatakan beleid baru itu memberi kesetaraan dalam bersaing mencari pendapatan. "Ini cukup adil," ujarnya kepada SINDO Weekly yang menumpang Si Burung Biru dari Jalan Gatot Subroto menuju Cawang, Jakarta Timur.
Permenhub itu memang mengatur operasi taksi daring atau online. Setidaknya, ada sembilan ketentuan yang mesti ditaati para pemilik kendaraan yang bermitra dengan rintisan Go-Jek, GrabCar, dan Uber. Blue Bird memang telah bergabung dengan layanan Go-Car milik Go-Jek sejak awal tahun lalu. Sejak adanya kongsi itu, sopir Blue Bird sedikit tertolong. Sebelum menggunakan layanan Go-Car, jumlah penumpang amatlah sepi. Kini, hal itu tak terjadi lagi.
"Kami bisa ambil penumpang lewat dua cara, yaitu pakai aplikasi dan sistem cari penumpang di jalan, kantor, atau mal," cerita pria yang sudah empat tahun bekerja sebagai sopir taksi ini.
Kini, setiap penumpang yang memesan aplikasi Go-Car hanya perlu membayar sesuai tarif yang tertera di aplikasi tersebut. Bila tarifnya berbeda dengan argometer taksi, selisihnya akan ditanggung pihak Go-Jek. Sebagai ilustrasi, tarif dari Graha BIP menuju Cawang lewat aplikasi Go-Car sebesar Rp45.000. Namun, karena jalan macet, harga yang tertera di argometer taksi naik menjadi Rp61.000. "Penumpang cukup membayar Rp45.000, selisihnya ya ditanggung Go-Jek. Kalau begini, kami jadi terbantu," tuturnya.
Ingin mengetahui cerita selengkapnya? Silakan baca Majalah SINDO Weekly Edisi 36/VI/2017 yang terbit Senin (6/11/2017).
(amm)