Aset BPR Syariah Triwulan III Tembus Rp1,69 Triliun
A
A
A
SURABAYA - Perkembangan industri perbankan syariah di Jawa Timur (Jatim) tidak lepas dari perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah. Total aset BPR Syariah di seluruh Jatim pada akhir triwulan III/2017 tercatat sebesar Rp1,69 triliun. Jumlah itu setara dengan 6,37% dari total aset perbankan syariah di Jatim.
Hal itu disampaikan Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Regional (KR) 4 Jawa Timur (Jatim) Heru Cahyono dalam Evaluasi Kinerja BPR Syariah Se-Jatim disalah satu hotel di Surabaya, Senin (13/11/2017).
Dalam kegiatan evaluasi kinerja ini, OJK memaparkan perkembangan kinerja BPR Syariah selama semester II tahun 2017, serta isu-isu terkini yang terkait dengan aspek regulasi maupun dinamika industri perbankan syariah.
"Struktur DPK (dana pihak ketiga) yang dihimpun BPR Syariah di Jatim relatif efisien, dengan komposisi dana mahal dalam bentuk deposito mencapai sebesar 53,86%," tuturnya.
Jumlah tersebut, lanjut dia, lebih kecil dibanding pangsa deposito pada BPR Konvensional di Jatim yang mencapai 68,66%. Selanjutnya, pembiayaan yang disalurkan BPR Syariah sebagian merupakan pembiayaan produktif dengan pangsa mencapai 52,61%.
Selain itu, BPR Syariah harus lebih meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan. Risiko kredit BPR Syariah cenderung meningkat pada triwulan III/2017 dengan rasio Non Performing Financing (NPF) sebesar 10,00%. "Jumlah itu lebih tinggi dibanding rasio NPL BPR Konvensional yang sebesar 8,04%," imbuh Heru.
Mengacu pada Peraturan OJK Nomor 66/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR Syariah, BPR Syariah dengan modal inti kurang dari Rp3 miliar wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 miliar paling lambat pada 31 Desember 2020 dan Rp6 miliar paling lambat pada 31 Desember 2025.
Sementara bagi BPR Syariah dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp3 miliar, namun kurang dari Rp6 miliar wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6 miliar paling lambat pada 31 Desember 2020.
Di Jatim, terdapat 19 BPR Syariah yang harus meningkatkan modal inti minimumnya menjadi sebesar Rp6 miliar sampai akhir 2020 maupun 2025. OJK meminta agar BPR Syariah dapat menyusun rencana tindak (action plan) peningkatan modal inti dengan memperhitungkan proyeksi pertumbuhan laba dan penambahan modal disetor oleh pemegang saham, maupun melalui upaya merger, konsolidasi dan akuisisi.
"Dari 19 BPR Syariah itu, ada 11 dengan modal inti kurang dari Rp3 miliar, delapan dengan modal inti lebih dari Rp3 miliar namun kurang dari Rp6 miliar dan 10 dengan modal inti lebih besar dari Rp6 miliar," tutur Heru.
Sementara, Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) Jatim Taufik Saleh menambahkan, pihaknya meyakini perbankan syariah masih memiliki kesempatan untuk tumbuh dengan baik apalagi di Jatim yang memiliki 6.003 pesantren dan 965.646 santri, serta 9 bank umum syariah, 89 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), dua modal ventura syariah, Pegadaian Syariah dan dua leasing syariah.
"Ini merupakan potensi yang bisa digerakkan dalam mendukung pergerakan ekonomi syariah," katanya.
Hal itu disampaikan Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Regional (KR) 4 Jawa Timur (Jatim) Heru Cahyono dalam Evaluasi Kinerja BPR Syariah Se-Jatim disalah satu hotel di Surabaya, Senin (13/11/2017).
Dalam kegiatan evaluasi kinerja ini, OJK memaparkan perkembangan kinerja BPR Syariah selama semester II tahun 2017, serta isu-isu terkini yang terkait dengan aspek regulasi maupun dinamika industri perbankan syariah.
"Struktur DPK (dana pihak ketiga) yang dihimpun BPR Syariah di Jatim relatif efisien, dengan komposisi dana mahal dalam bentuk deposito mencapai sebesar 53,86%," tuturnya.
Jumlah tersebut, lanjut dia, lebih kecil dibanding pangsa deposito pada BPR Konvensional di Jatim yang mencapai 68,66%. Selanjutnya, pembiayaan yang disalurkan BPR Syariah sebagian merupakan pembiayaan produktif dengan pangsa mencapai 52,61%.
Selain itu, BPR Syariah harus lebih meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan. Risiko kredit BPR Syariah cenderung meningkat pada triwulan III/2017 dengan rasio Non Performing Financing (NPF) sebesar 10,00%. "Jumlah itu lebih tinggi dibanding rasio NPL BPR Konvensional yang sebesar 8,04%," imbuh Heru.
Mengacu pada Peraturan OJK Nomor 66/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR Syariah, BPR Syariah dengan modal inti kurang dari Rp3 miliar wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 miliar paling lambat pada 31 Desember 2020 dan Rp6 miliar paling lambat pada 31 Desember 2025.
Sementara bagi BPR Syariah dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp3 miliar, namun kurang dari Rp6 miliar wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6 miliar paling lambat pada 31 Desember 2020.
Di Jatim, terdapat 19 BPR Syariah yang harus meningkatkan modal inti minimumnya menjadi sebesar Rp6 miliar sampai akhir 2020 maupun 2025. OJK meminta agar BPR Syariah dapat menyusun rencana tindak (action plan) peningkatan modal inti dengan memperhitungkan proyeksi pertumbuhan laba dan penambahan modal disetor oleh pemegang saham, maupun melalui upaya merger, konsolidasi dan akuisisi.
"Dari 19 BPR Syariah itu, ada 11 dengan modal inti kurang dari Rp3 miliar, delapan dengan modal inti lebih dari Rp3 miliar namun kurang dari Rp6 miliar dan 10 dengan modal inti lebih besar dari Rp6 miliar," tutur Heru.
Sementara, Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) Jatim Taufik Saleh menambahkan, pihaknya meyakini perbankan syariah masih memiliki kesempatan untuk tumbuh dengan baik apalagi di Jatim yang memiliki 6.003 pesantren dan 965.646 santri, serta 9 bank umum syariah, 89 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), dua modal ventura syariah, Pegadaian Syariah dan dua leasing syariah.
"Ini merupakan potensi yang bisa digerakkan dalam mendukung pergerakan ekonomi syariah," katanya.
(izz)