Aset Keuangan Syariah Masih di Bawah 10%
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, pangsa pasar total aset keuangan syariah pada September 2017 masih di bawah 10% dari keseluruhan aset keuangan Indonesia, yaitu sebesar 8,09% atau USD79,75 miliar.
Angka tersebut jauh tertinggal dengan kondisi keuangan syariah dunia di mana pada 2015 mencapai USD2 triliun dan 2021 ditargetkan mencapai USD3,5 triliun.
Advisor Senior OJK Edi Setiadi mengatakan, industri keuangan syariah Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Dia mencontohkan, jika ibarat kondisi jalan raya di Jakarta, transportasi umum, kendaraan atau bis yang tersedia sudah banyak dan mencukupi. Namun yang mau naik masih belum banyak.
"Akhirnya bis saling berebut penumpang yang jumlahnya masih terbatas, sehingga penumpang yang kualitasnya kurang baik juga ada yang terangkut. Dan itu membuat lembaga keuangan syariah menjadi rentan terhadap external shocks," kata Edi di Jakarta, Minggu (26/11/2017).
Untuk memperbaiki kondisi ini, maka jumlah penumpang yang berkualitas harus ditambah dengan memperbesar customer based dari lembaga keuangan syariah, untuk menciptakan demand yang lebih besar lagi.
Menurutnya, hal tersebut perlu menjadi perhatian seluruh pelaku sektor jasa keuangan syariah, mengingat adanya peningkatan jumlah penduduk middle class income Indonesia, yang terutama didominasi penduduk Muslim.
"Hal ini dipercaya akan menciptakan permintaan potensial terhadap produk dan jasa keuangan syariah pada sektor halal, terlebih lagi jaminan produk halal merupakan tanggung jawab pemerintah," ujar Edi.
Karena itu, diperlukan terobosan dan inovasi baru dalam menjaring minat masyarakat untuk mengakses industri jasa keuangan syariah secara lebih luas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun model bisnis yang mengolaborasikan potensi sektor keuangan, sektor riil, serta sektor relijius/sosial secara timbal balik saling mendukung.
Edi mengungkapkan, membangun sinergi menjadi penting untuk keuangan dan ekonomi syariah dapat tumbuh secara bersama-sama dan lebih cepat lagi. "Kolaborasi ketiga sektor ini telah diinisiasi OJK dengan model bisnis LKM Syariah yang telah diresmikan Presiden RI Joko Widodo di Cirebon Oktober lalu," imbuh dia.
Karena itu, diperlukan integrasi antara sektor riil, keuangan dan religius serta sosial sehingga ketiga sektor tersebut dapat tumbuh secara bersama-sama. Melalui program LKM Syariah ini, OJK berharap dapat menjadi basis pengembangan perekonomian syariah jangka menengah panjang yang berkesinambungan serta dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kepala Departemen Perbankan Syariah Ahmad Soekro Tratmono menambahkan, untuk mengembangkan keuangan syariah di Indonesia yang perlu dilakukan, pertama, OJK akan menjaga stabilitas sistem keuangan termasuk mengatur serta mengawasi implementasi prinsip-prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah sebagai landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Kedua, mendorong Sektor Jasa Keuangan (SJK) Syariah berkontribusi lebih besar dalam mendukung percepatan ekonomi nasional khususnya dalam pembiayaan sektor prioritas pemerintah (infrastruktur, ketahanan pangan, maritim).
"Ketiga, mendukung upaya peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakatan serta mengatasi ketimpangan dalam pembangunan nasional," imbuh dia.
OJK mencatat, inklusi perbankan Syariah mencapai 9,6% dengan literasi syariah baru 6,63%. Sedangkan literasi pasar Modal Syariah sebesar 0,02% dengan inklusi sekitar 0,01%.
Adapun literasi asuransi Syariah sebesar 2,51% dengan inklusi syariah sebesar 1,92%. Literasi pegadaian syariah sebesar 1,63% dengan inklusi sebesar 0,71% dan literasi pembiayaan Syariah sekitar 0,19% dengan inklusi sebesar 0,24%.
Meski pertumbuhan keuangan syariah Indonesia tercatat cukup tinggi, namun belum didukung dengan tingkat literasi dan keuangan syariah yang cukup memadai.
Angka tersebut jauh tertinggal dengan kondisi keuangan syariah dunia di mana pada 2015 mencapai USD2 triliun dan 2021 ditargetkan mencapai USD3,5 triliun.
Advisor Senior OJK Edi Setiadi mengatakan, industri keuangan syariah Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Dia mencontohkan, jika ibarat kondisi jalan raya di Jakarta, transportasi umum, kendaraan atau bis yang tersedia sudah banyak dan mencukupi. Namun yang mau naik masih belum banyak.
"Akhirnya bis saling berebut penumpang yang jumlahnya masih terbatas, sehingga penumpang yang kualitasnya kurang baik juga ada yang terangkut. Dan itu membuat lembaga keuangan syariah menjadi rentan terhadap external shocks," kata Edi di Jakarta, Minggu (26/11/2017).
Untuk memperbaiki kondisi ini, maka jumlah penumpang yang berkualitas harus ditambah dengan memperbesar customer based dari lembaga keuangan syariah, untuk menciptakan demand yang lebih besar lagi.
Menurutnya, hal tersebut perlu menjadi perhatian seluruh pelaku sektor jasa keuangan syariah, mengingat adanya peningkatan jumlah penduduk middle class income Indonesia, yang terutama didominasi penduduk Muslim.
"Hal ini dipercaya akan menciptakan permintaan potensial terhadap produk dan jasa keuangan syariah pada sektor halal, terlebih lagi jaminan produk halal merupakan tanggung jawab pemerintah," ujar Edi.
Karena itu, diperlukan terobosan dan inovasi baru dalam menjaring minat masyarakat untuk mengakses industri jasa keuangan syariah secara lebih luas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun model bisnis yang mengolaborasikan potensi sektor keuangan, sektor riil, serta sektor relijius/sosial secara timbal balik saling mendukung.
Edi mengungkapkan, membangun sinergi menjadi penting untuk keuangan dan ekonomi syariah dapat tumbuh secara bersama-sama dan lebih cepat lagi. "Kolaborasi ketiga sektor ini telah diinisiasi OJK dengan model bisnis LKM Syariah yang telah diresmikan Presiden RI Joko Widodo di Cirebon Oktober lalu," imbuh dia.
Karena itu, diperlukan integrasi antara sektor riil, keuangan dan religius serta sosial sehingga ketiga sektor tersebut dapat tumbuh secara bersama-sama. Melalui program LKM Syariah ini, OJK berharap dapat menjadi basis pengembangan perekonomian syariah jangka menengah panjang yang berkesinambungan serta dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kepala Departemen Perbankan Syariah Ahmad Soekro Tratmono menambahkan, untuk mengembangkan keuangan syariah di Indonesia yang perlu dilakukan, pertama, OJK akan menjaga stabilitas sistem keuangan termasuk mengatur serta mengawasi implementasi prinsip-prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah sebagai landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Kedua, mendorong Sektor Jasa Keuangan (SJK) Syariah berkontribusi lebih besar dalam mendukung percepatan ekonomi nasional khususnya dalam pembiayaan sektor prioritas pemerintah (infrastruktur, ketahanan pangan, maritim).
"Ketiga, mendukung upaya peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakatan serta mengatasi ketimpangan dalam pembangunan nasional," imbuh dia.
OJK mencatat, inklusi perbankan Syariah mencapai 9,6% dengan literasi syariah baru 6,63%. Sedangkan literasi pasar Modal Syariah sebesar 0,02% dengan inklusi sekitar 0,01%.
Adapun literasi asuransi Syariah sebesar 2,51% dengan inklusi syariah sebesar 1,92%. Literasi pegadaian syariah sebesar 1,63% dengan inklusi sebesar 0,71% dan literasi pembiayaan Syariah sekitar 0,19% dengan inklusi sebesar 0,24%.
Meski pertumbuhan keuangan syariah Indonesia tercatat cukup tinggi, namun belum didukung dengan tingkat literasi dan keuangan syariah yang cukup memadai.
(izz)