Selalu Menjadi Pendengar yang Baik, Tak Boleh Berhenti Belajar

Selasa, 28 November 2017 - 17:30 WIB
Selalu Menjadi Pendengar...
Selalu Menjadi Pendengar yang Baik, Tak Boleh Berhenti Belajar
A A A
PADA 1 November 2015, David Taylor resmi menjabat CEO P&G. Dia menjadi pemimpin tertinggi perusahaan yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari terbesar di dunia. Padahal, dia memiliki latar belakang dari teknik listrik.

Selama memimpin P&G, Taylor mampu mentransformasi perusahaan itu menjadi institusi bisnis yang tumbuh cepat dan menguntungkan. Dia juga selalu memegang teguh komitmen terhadap strategi yang telah dicanangkannya untuk mencapai target. Selain itu, Taylor juga memimpin karyawan P&G untuk terus memicu pertumbuhan dan menciptakan nilai bagi pemegang saham.

Dalam kepemimpinan Taylor, dia selalu berpegang teguh pada prinsip yang sangat dipercayanya. Salah satu hal yang dipegangnya hingga kini adalah mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan belajar. "Mendengarkan dengan sesungguhnya dan jangan menunggu untuk bicara," ucap Taylor, saat memberikan kuliah umum di depan mahasiswa Universitas Duke di Amerika Serikat (AS).

Dengan mendengarkan dan belajar mampu menolong Taylor menciptakan percakapan yang menerima perbedaan pendapat dan penolakan. "Saya datang untuk mengapresiasi pertemuan di mana kita saling berbeda pendapat dengan saling menghormati," ucapnya.

Terus, siapa orang yang pantas untuk paling didengarkan? Menurut Taylor, orang itu adalah pihak yang paling dekat dengan permasalahan konsumen. Kekuatan yang dimiliki pemimpin perusahaan berkelas dunia seperti P&G adalah menerima pembelajaran dari berbagai orang yang memiliki pemahaman tentang konsumen dan pasar. Seorang eksekutif bukan mengandalkan posisi yang tertulis di dalam kartu bisnis.

"Hal paling impresif dari sisi kartu bisnis adalah keterbukaan untuk belajar dari semua orang dari seluruh dunia dan menciptakan lingkungan di mana ide besar bisa muncul dan memiliki kesempatan berkembang," ungkapnya.

Sebagai seorang pemimpin, Taylor juga menegaskan dirinya tak pernah berhenti untuk belajar. Dia tak malu mendengarkan ceramah singkat dari manajer brand yang baru lulus MBA. "Salah satu hal terbaik adalah selalu belajar bisnis. Itu menjadi pelajaran yang menakjubkan. Di dalam belajar, kita harus mendengarkan dan mempelajari sesuatu," ungkapnya.

Taylor mampu mencapai karier tertinggi itu karena dia memiliki passion. Meskipun dia memang berlatar belakang teknis, dia menemukan passion di bidang bisnis dan manajemen. Passion itu ditemukan saat dia berpikir tentang hal tersebut di saat waktu senggang.

Dia juga membaca banyak buku bisnis dan ikut program mentoring seperti Big Brothers Big Sisters. Kemampuan penyelesaian masalah yang didapatkan selama bekerja di bidang teknik juga membantu Taylor dalam hal mengarahkan dan mengembangkan karyawannya. "Saya percaya bahwa passion itu dimulai dengan refleksi diri. Saya berpikir tentang apa yang akan saya lakukan ketika saya memiliki waktu luang," ujarnya, dilansir Australia Institute of Business.

Taylor lahir di Charlotte, North Carolina, AS. Dia lulus kuliah dari Universitas Duke pada 1980 dengan gelar sarjana listrik. Selepas lulus, dia bergabung dengan Procter & Gamble sebagai manajer produk. Selama satu dekade pertama kariernya di Product Supply P&G, dia mengelola produksi dan operasi sejumlah pabrik di Mehoopany, Pennsylvania. Pengalaman itu memberikan pemahaman tentang manufaktur, logistik, teknik, dan jaringan pemasokan.

Pada awal 1990-an, Taylor dipindah ke departemen manajemen brand. Tugas pertamanya adalah mengelola Pampers, salah satu brand terbesar P&G. Semenjak itu, dia memimpin banyak peranan dalam bisnis P&G, seperti Baby Care, Hair Care, Family Care, dan Home Care.

Dia juga bertanggung jawab mengembangkan bisnis ke Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia. Dia memang berpengalaman dalam memimpin berbagai divisi P&G dalam tataran global. Dia juga memimpin ekspansi P&G di China selama empat tahun. Taylor juga pernah memimpin berbagai divisi di P&G. "Taylor memindahkan P&G ke arah yang tepat, meskipun dinilai lambat oleh para investor," komentar The Economist.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7259 seconds (0.1#10.140)