DPR: Holding Migas Tidak Sinkron dengan Konsep BUK RUU Migas
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR, Harry Poernomo menegaskan, wacana pembentukan holding migas oleh Menteri BUMN dengan memasukkan PT PGN sebagai anak perusahaan PT Pertamina, sama sekali tidak sinkron dengan rancangan revisi UU Migas yang ada di DPR.
"Kami melihat tidak selaras dengan wacana di Komisi VII, kalau PGN dimasukkan ke Pertamina, pasti ada gesekan. Ini nanti terjadi gejolak, makanya rekan kami Komisi VI selaku mitra BUMN juga telah mengingatkan pemerintah," kata Harry di Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Dia mengakui, memang ada wacana pembentukan lembaga sejenis holding yang nantinya berbadan khusus atau Badan Usaha Khusus (BUK). BUK ini dirancang untuk menaungi semua badan usaha yang bergiat di sektor migas, tidak terkecuali PGN dan Pertamina.
"Kami itu inginnya menata secara holistik mengenai kelembagaan dalam UU Migas, terutama posisi SKK Migas dan terkait juga dengan Pertamina serta PGN. Nah yang kami pikirkan bukan menjadikan BUMN eksisting sebagai induk holding, kami ingin ada lembaga baru yang dibentuk, terserah apa namanya, dia bersifat khusus yang membawahi Pertamina, PGN, SKK, dan BPH," imbuh dia.
Adapun pokok pikiran ini muncul dilatar belakangi oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir beberapa pasal dalam UU Migas No 22 Tahun 2001, yang berbuntut pada pembubaran BP Migas. Sejak itu, dibentuk lembaga sementara/ad hoc (SKK Migas) yang menjalankan tugas dan fungsi BP Migas sembari DPR merevisi UU yang telah dianulir oleh MK tersebut.
Permasalahannya, dalam mandat MK bahwa kuasa usaha harus diberikan kepada badan usaha, dan SKK Migas tidak dapat berdiri sendiri seperti saat ini karena ia bukan merupakan badan usaha.
"Kuasa pertambangan itu tetap di negara, cadangan tidak bisa kuasanya diberikan kepada siapapun. Tapi kuasa usaha diberi kepada BUMN, nah SKK Migas bukan BUMN. Ini yang jadi perdebatan karena tidak mungkin dikembalikan seperti dulu kuasanya pada Pertamina dan SKK Migas masuk ke Pertamina. Lalu PGN juga holding masuk ke Pertamina, ini pasti terjadi gesekan dan tidak produktif," ujar Harry.
Harry yakin pembentukan BUK menjadi jalan tengah untuk mengakomodir karakter dan budaya perusahaan. "Masing-masing budaya perusahaan berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Kalau permainan Liga Inggris tidak bisa dipaksakan di Indonesia karena orang dan staminanya berbeda. Jadi harus diakomodir. Nah begitupun penataan BUMN ini," tuturnya.
Dia menambahkan, tatkala terbentuk BUK yang menaungi sektor migas, kewenangan kepala SKK Migas akan sedikit berkurang karena penandatanganan kontrak akan dilakukan oleh Dirut BUK.
"Jangan pula SKK Migas bicara (kami kan SK Presiden, kok di bawah BUK) nah repot kalau itu. Faktanya sekarang, walau SK Presiden tapi laporannya Ke Menteri! Apa bedanya? Jadi nanti yang tandatangan bukan Pertamina, tapi anak usahanya dengan Dirut BUK, pemilihan direksi BUK lewat DPR," pungkas dia.
"Kami melihat tidak selaras dengan wacana di Komisi VII, kalau PGN dimasukkan ke Pertamina, pasti ada gesekan. Ini nanti terjadi gejolak, makanya rekan kami Komisi VI selaku mitra BUMN juga telah mengingatkan pemerintah," kata Harry di Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Dia mengakui, memang ada wacana pembentukan lembaga sejenis holding yang nantinya berbadan khusus atau Badan Usaha Khusus (BUK). BUK ini dirancang untuk menaungi semua badan usaha yang bergiat di sektor migas, tidak terkecuali PGN dan Pertamina.
"Kami itu inginnya menata secara holistik mengenai kelembagaan dalam UU Migas, terutama posisi SKK Migas dan terkait juga dengan Pertamina serta PGN. Nah yang kami pikirkan bukan menjadikan BUMN eksisting sebagai induk holding, kami ingin ada lembaga baru yang dibentuk, terserah apa namanya, dia bersifat khusus yang membawahi Pertamina, PGN, SKK, dan BPH," imbuh dia.
Adapun pokok pikiran ini muncul dilatar belakangi oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir beberapa pasal dalam UU Migas No 22 Tahun 2001, yang berbuntut pada pembubaran BP Migas. Sejak itu, dibentuk lembaga sementara/ad hoc (SKK Migas) yang menjalankan tugas dan fungsi BP Migas sembari DPR merevisi UU yang telah dianulir oleh MK tersebut.
Permasalahannya, dalam mandat MK bahwa kuasa usaha harus diberikan kepada badan usaha, dan SKK Migas tidak dapat berdiri sendiri seperti saat ini karena ia bukan merupakan badan usaha.
"Kuasa pertambangan itu tetap di negara, cadangan tidak bisa kuasanya diberikan kepada siapapun. Tapi kuasa usaha diberi kepada BUMN, nah SKK Migas bukan BUMN. Ini yang jadi perdebatan karena tidak mungkin dikembalikan seperti dulu kuasanya pada Pertamina dan SKK Migas masuk ke Pertamina. Lalu PGN juga holding masuk ke Pertamina, ini pasti terjadi gesekan dan tidak produktif," ujar Harry.
Harry yakin pembentukan BUK menjadi jalan tengah untuk mengakomodir karakter dan budaya perusahaan. "Masing-masing budaya perusahaan berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Kalau permainan Liga Inggris tidak bisa dipaksakan di Indonesia karena orang dan staminanya berbeda. Jadi harus diakomodir. Nah begitupun penataan BUMN ini," tuturnya.
Dia menambahkan, tatkala terbentuk BUK yang menaungi sektor migas, kewenangan kepala SKK Migas akan sedikit berkurang karena penandatanganan kontrak akan dilakukan oleh Dirut BUK.
"Jangan pula SKK Migas bicara (kami kan SK Presiden, kok di bawah BUK) nah repot kalau itu. Faktanya sekarang, walau SK Presiden tapi laporannya Ke Menteri! Apa bedanya? Jadi nanti yang tandatangan bukan Pertamina, tapi anak usahanya dengan Dirut BUK, pemilihan direksi BUK lewat DPR," pungkas dia.
(ven)